Sebuah Renungan, Kang Sukma*)

Assalamu’alaikum semoga hidup kita penuh keberkahan

Bismillah…

Fenoma Akhir Zaman
(Tulisan untuk Renungan buat diri sendiri)

Tahun 1993 saya tidak menyangka akan berkenalan dengan dunia politik, padahal saya kuliah di kesenian jurusan Teater. Para Mahasiswa saat itu resah dengan ke-pemimpin-an Soeharto, selalu mereka menghujat presiden.

Cuma saya yang tidak menghujat dan tidak peduli presiden-nya seperti apa. Dalam sebuah perkumpulan forum mahasiswa saya nyeleneh bicara

“Ngapain mesti mikirin dan menghujat Soeharto, toh kita kuliah atas biaya orang tua kita sendiri, usaha sendiri”. Ungkapan saya tiba – tiba di jawab oleh Ketua Perhimpunan Mahasiswa “Kamu betul biaya dan usaha kita dari orang tua dan kita sendiri, tapi ada yang kamu lupa hidup kita ada yang ngatur dan ada aturannya, pertama Allah yang kedua Presiden & Parlemen, kamu sekarang-kan dapat bea siswa itu dari mana?

Kalau kamu tidak butuh Presiden dan aturan Negara. Hiduplah di hutan. Semua apa yang kita lakukan tidak bisa lepas dari aturan Allah dan Manusia,” ungkapnya. Saya hanya terdiam dan merenung.

Tahun 1994 saya hijrah ke Jakarta, dan bekerja sebagai Wartawan pada salah satu majalah Islam. Awal tahun 1996 saya baru sadar yang punya majalah dan para nara sumbernya yang dianggap oleh saya kaum intelektual dan cerdas serta memperjuangan hak-hak islam, ternyata adalah para tokoh syiah dan islam liberal.

Saya merasa tertipu atas kecerdasan mereka. Sejak saat itu saya selalu cek and ricek/investigasi/dll. Jika ada isyu apapun yang menyinggung tokoh yang cerdas dan islam sebagai perisai saya tidak mau tertipu 2 kali oleh kebodohan saya dan terhipnotis oleh kecerdasan mereka.

Tahun 1996 adalah masa dimana saya jadi korban sejarah yang di kenal dengan Pristiwa Sabtu Kelabu, kasus 27 Juli. Saya tidak menyangka kalau hampir 150 meter saya di hajar habis – habisan oleh para oknum aparat.

Walau saya sudah menyebutkan wartawan, tetap saja sepatu Lars, senapan dan kepalan tangan mendarat di setiap tubuh saya. Hampir seminggu saya dirawat di RS Cikini, dan di beritakan wartawan sebagai saksi 27 Juli meninggal dunia.

“Semoga Allah memanjangkan umur saya,” itulah doa saya dalam hati saat mendengar berita itu.

Setelah pulih. Saya menikah dan bekerja kembali di majalah yang di dalamnya ada tokoh tadi. Saat mulai bekerja, saya berdo’a dan punya 3 permintaan sama Allah.

Pertama, semoga majalah dimana saat itu saya bekerja, semoga di tutup dan bangkrut jika di dalamya memakai kedok islam sebagai perjuangan dan Kedua, saya ingin pindah ke Bandung. Ketiga, saya ingin punya rumah di kampung. Allah mendengar do’a-do’a saya (semuanya Allah qabulkan, Alhamdulillah)

Oktober November tahun 2000 setelah Soeharto lengser, majalah dimana saya bekerja tutup/bangkrut alhamdulillah.

Tahun 2001 saya pindah ke Bandung dan tak lama beli rumah di Kampung Purwakarta bersama ayahku.

Sejak pindah ke Bandung saya mencoba menjauhi dunia politik. Karena saya mengganggap dunia politik tidak pas buat saya. Mereka semua merasa paling benar, selalu ada hujatan dan fitnah

Tahun 2001 sd 2018 saya Jalani /Nikmati / dan Syukuri kehidupan saya yang jauh dari dunia Politik.

Tahun 2019 saya harus berbaur kembali dengan perhelatan politik. Alasan saya bukan karena saya suka pada salah satu calon presiden 02. Saya terpanggil karena 2 alasan

  1. Zaman rezim saat ini Islam/para ulama sudah mulai di obok2 kembali, apalagi Nabi Muhammad sudah di rendahkan.
  2. Saya melihat orang-orang di Zaman saya bekerja di majalah, sebagai pemilik dan sebagian nara sumber itu muncul kembali

Para pembaca khususnya umat muslim sebagai ahli Syurga.

Tulisan saya hanya sebagai renungan buat saya pribadi.

Saya menghargai intelektual dan kecerdasan kawan-kawan.

Saya hanya ingin berbagi sedikit pengalaman.

Yuk kita kembalikan semuanya kepada Sang Pemilik Kebenaran

Yuk kita jangan tertipu oleh kecerdasan siapapun, jika tidak punya pengalaman langsung, tetaplah berpikir positif biar tidak jadi fitnah

Saya melakukan ini karena panggilan akal sehat dan nurani saya serta pengalaman saya langsung sebagai jurnalis

Yuk kita peduli pada para calon pemimpin kita. Ada shalat istikharah jika kita bimbang

Semoga Allah memberi pemimpin yang amanah bukan pemimpin yang penuh dusta.

Yuk kita Do’akan mereka, (pernahkah kita secara pribadi mendoakan dan berdoa untuk para calon pemimpin kita? Saat malam tiba?) alhamdulillah kalau sudah

Yuk jadikan perbedaan itu sesuatu yang indah dan menambah wawasan kita.

Yang terpenting bagi saya sekarang ini adalah:

Bagaimana menyelamatkan anak2 dan keluarga kita, dan memilih pemimpin atas ijtima para ulama.

Janganlah berpikir kebelakang dengan segala keburukan.

Janganlah berpikir kedepan yang belum pasti datang.

Berbuatlah yang terbaik detik ini, hari ini buat diri sendiri. Keluarga dan Calon Pemimpin Bangsa ini

Dipenghujung renungan saya

Jangan menganggap rendah para ulama dengan mengatas namakan so artis/selebritis sesungguhnya para ulama punya alasan dan peran kuat dalam membangun kemerdekaan Republik ini

Saya menggangap
INILAH FENOMENA AKHIR ZAMAN

*Kang Sukma mantan wartawan foto Majalah sejarah dan korban sejarah 27 Juli 1996