JAKARTASATU.COM – Seminar Terbatas Global Future Institute (GFI) 30 April 2019 menarik. Tajuk Seminar” Mengantisipasi Meningkatnya Perlombaan Senjata Konvensional dan Proliferasi Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Perspektif Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif).

Acara berlangsung di Wisma Daria, Kebayoran Baru, Jakarta-Selatan. Beberapa poin penting yang mengemuka dalam eminar Terbatas GFI

Adalah para narasumber dan peserta aktif bersepakat bahwa berakhirnya Perjanjian Intermediate Range Nuclear Forces(INF) atau Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah sejak awal Februari lalu, berpotensi untuk semakin meningkatkan perlombaan senjata nuklir di kawasan Asia Timur maupun Asia Tenggara, yang mana Indonesia termasuk di dalamnnya.

Sebagaimana disampaikan salah satu narasumber, menggambarkan dalam INF Treaty yang ditandatangani oleh Ronald Reagan dan Gorbachev pada 1987, telah berhasil melarang pengembangan ujicoba dan pemilikikan ground-lounched (rudal balistik dan jelajah) baik yang bermuatan nuklir maupun konvensional pada 1987.

Bukan itu saja. Dalam perjanjian INF pada 1987 itu, kedua negara dilarang mengembangkan rudal berhulu ledak nuklir yang bisa menempuh jarak 500 sampai 5500 km. Semangat nonproliferasi senjata nuklir di balik perjanjian INF tersebut pada perkembangannya berhasil mengondisikan berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.

Para narasumber dan peserta aktif juga bersepakat bahwa dengan berakhirnya Perjanjian INF 2019 saat ini, perlombaan senjata nuklir, khususnya rudal di Asia Timur akan semakin meningkat, menyusul semakin memanasnya pergolakan di Semenanjung Korea.

Bukan saja akibat ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara menyusul diujicobakannya Rudal Balistik Antarbenua oleh Presiden Korea Utara Kim Jong-un. Selain itu situasi semakin genting di Asia Timur ketika Cina maupun Korea Utara sama-sama berkeinginan untuk berada pada posisi yang menguntungkan dan menciptakan perimbangan kekuatan dalam kualitas persenjataan strategisnya, dalam berhadapan dengan Amerika Serikat maupun sekutu-sekutunya.

Maka dari itu, beberapa narasumber maupun peserta aktif mendesak para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI, untuk mencermati dan mewaspadai terbentuknya Konsep Indopasifik dan persekutuan empat negara (QUAD) yang terdiri AS, Australia, Jepang dan India. Sebab bisa dipastikan ini merupakan sebuah aliansi strategis untuk membendung pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik.

Potensi meningkatnya perlombaan senjata nuklir di Asia Timur dan Asia Tenggara, ditandai oleh tiga kejadian penting. Penempatan dan Pemasangan Terminal Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan, yang oleh para pakar studi strategi-keamanan merupakan upaya AS untuk mendeteksi aktivitas operasi militer Cina di daerah perbatasannya dengan Korea Utara. Sehingga akan memicu Cina untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif. Kedua, AS dengan dalih untuk latihan militer bersama dengan negara-negara sekutunya, telah mengirim pesawat pembom B-52 dan B52H, yang bermuatan senjata nuklir, ke atas perairan Laut Cina Selatan, di kawasan Asia Tenggara.

Ketiga, semakin agresifnya AS mendukung dan memfasilitasi negara-negara Asia yang termasuk sekutu strategisnya, peningkatan dan pengembangan senjata nuklirnya. Seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan.

Pada saat yang sama, dirilisnya the US National Security Document pada akhir 2016 lalu, yang mana pemerintahan Presiden Donald Trump menetapkan Cina, Rusia, Iran dan Korea Utara sebagai musuh utama dalam persaingan global saat ini, kiranya juga harus menjadi fokus perhatian Indonesia dan negara-negara di kawasa Asia Tenggara (ASEAN).

Aspek lain yang mengemuka dalam forum seminar terbatas tersebut, yaitu adanya campur-tangan kepentingan bisnis yang ditengarai akan semakin memainkan pengaruh besar dalam memicu meningkatnya perlombaan senjata nuklir di berbagai kawasan, tak terkecuali di Asia Tenggara.

Dalam konteks inilah, Laksamana Muda Robert Mangindaan, dari Lemhanas, merasa perlu mengingatkan bahwa politik luar negeri AS lewat Indo Pacific merupakan manuver membangun aliansi keamanan. Tapi secara tersirat adalah membendung kekuatan Tiongkok dengan Belt and Road Initiatives-nya (BRI).

Lebih lanjut Laksamana Muda Mangindaan menginformasikan, bahwa AS dalam upaya membangun kekuatan senjata nuklirnya pada tingkatan maksimum, telah mengeluarkan anggaran pertahanan sebesar 5,2 triliun dolar AS. Untuk memodernisasi tiga perangkat: peluncur, pengendali dan hulu ledak.

Menyadari kenyataan tersebut, para narasumber maupun peserta aktif sampai pada sebuah pandangan bahwa dengan berakhirnya Perjanjian INF menyusul pembatalan sepihak oleh Presiden Donald Trump pada awal Februari lalu, nampaknya AS bermaksud untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif, serta bermaksud untuk mengondisikan kembali perlombaan senjata nuklir seperti di era Perang Dingin. Sehingga tidak menghargai sama sekali negara-negara lain baik di kawasan Asia Pasifik maupun di kawasan Eropa yang notabene sebagian besar merupakan negara-negara sekutu AS.

Selain itu, narasumber dari Lemhanas Laksamana Muda Mangindaan juga menyinggung satu isu yang cukup menarik. Betapa besarnya campurtangan kepentingan bisnis the Military Industry Complex (Kompleks Industri Militer) dalam menentukan arah kebijakan strategis pertahanan dari negara-negara adikuasa yang saling bertarung dalam Perang Dingin (1950-1989).

Menurut Mangindaan, di baliknya menajamnya perlombaan senjata nuklir sejak era Perang Dingin, korporasi-korporasi industri pertahanan strategis telah mengendalikan rejim persenjataan baik konvensional maupun nuklir. Jadi pada kenyataannya bisa dibilang, konsensus mulai dari NPT, SALT hingga INF hanya semata manuver bisnis Negara-negara maju atau adikuasa.

Pandangan dan analisis Laksamana Mangindaan, semakin diperkuat oleh beberapa kajian Global Future Institute sebelumnya. Misalnya, Michel Chossudovsky dalam bukunya bertajuk Toward a World War III Scenario; The Danger of Nuclear War, menggambarkan adanya kepentingan-kepentingan korporasi yang sangat kuat di balik program pengembangan energi nuklir maupun persenjataan nuklir. Bahkan keduanya saling tumpang-tindih satu sama lain.

Beberapa produsen senjata AS mendapatkan tender kontrak pengadaan berbagai persenjataan strategis miliaran dolar AS dari Kementerian Pertahanan (Pentagon).

Dengan demikian, program peningkatan dan pengembangan nuklir AS di luar skema perjanjian INF nampaknya juga bertautan dengan beberpaa kontraktor pertahanan. Terkait dengan hal tersebut, nampaknya beberapa pejabat tinggi yang merupakan pemain kunci di era kepresidenan George W Bush yang kerap disebut kaum Neokonservatif, saat ini juga memainkan peran yang cukup penting dan strategis di balik keputusan Presiden Donald Trump menarik diri dari perjanjian INF pada 1987.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada 2001 lalu, berdasarkan tinjauan posisi nuklir Pentagon atau Pentagon’s 2001 Nuclear Posture Review-NPR, merencanakan apa yang kemudian disebut ‘rencana darurat” untuk “penggunaan serangan pertama” secara ofensif dengan menggunakan senjata nuklir, bukan hanya terhadap negara-negara yang disebut oleh George W Bush sebagai the evil forces/poros kejahatan (Iran dan Korea Utara), melainkan juga terhadap Rusia dan Cina.

Berdasarkan hal tersebut, kekhawatiran negara-negara berkembang di Asia Pasifik maupun negara-negara sekutu AS di Eropa Barat terhadap batalnya perjanjian INF, harus juga dikaitkan dengan adanya Pentagon’s 2001 Nuclear Posture Review-NPR tadi.

Profesor Chossudovsky juga menginformasikan dalam bukunya bahwa pada 6 Agustus 2003, saat peringatan Hiroshima, yang merupakan hari peringatan dijatuhkannya bom atom pertama di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, ternyata ada sebuah rapat rahasia dan bersifat tertutup di Markas Besar Komando Strategis di Markas Angkatan Udara Offcut di Nebraska.

Rapat ini dikabarkan dihadiri oleh para eksekutif di bidang industri nuklir maupun kompleks industri militer. Lebih dari 150 orang kontraktor militer, ilmuwan dari laboratorium senjata, dan pejabat pemerintah lainnya berkumpul dan rapat di Markas Besar Koando Strategis AS di Omaha, Nebraska itu.

Rapat tertutup tersebut membahas upaya untuk mengatur dan merencanakan kemungkinan terjadinya “perang nuklir berskala maksimum,” dan menggagas diproduksinya generasi baru senjata nuklir. Yang kemudian disebut nuklir mini dan penghancur bunker penembus tanah yang lebih berguna dipersenjatai dengan hulu ledak nuklir. Demikian bocoran rapat rahasia sebagaimana diinformasikan oleh Prof Chossudovsky.

Sehubungan dengan beberapa simpul penting yang mengemuka dalam seminar terbatas GFI tersebut, maka Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang yang masuk dalam kategori non-nuclear state, kiranya cukup beralasan untuk menaruh kekhawatiran yang cukup besar. Sehingga perlu merumuskan beberapa langkah strategis untuk menangkal peningkatan perlombaan senjata nuklir di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara (ASEAN).

Beberapa Rekomendasi Dari Hasil Seminar

Para narasumber, Dr Kusnanto Anggoro, Pakar Hubungan Internasional dan Program Studi Strategi-Keamanan, Universitas Indonesia. Marsekal Pertama Adityawarman, Direktur Analisa Strategis, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI. Laksamana Muda Robert Mangindaan, dari Deputi I Kajian Strategis, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Nurachman Oerip, Diplomat Senior Kementerian luar Negeri. Muhammad Anthoni, Wartawan Senior Kantor Berita Antara.

Peserta Aktif: Dr Besar Winarto, dari Asosiasi Nuklir Indonesia. Kolonel Soni. Soni Iskandar, alumni Universitas Pertahanan. Rudiwan Bahar, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Aksi Bela Negara-RI, Muhammad Kusairi, Konsultan Perminyakan, Nur Ridwan, Ketua Umum Lembaga Bina Bangun Bangsa. Dr Zulkifli, dari Universitas Airlangga, Surabaya.

Beberapa perwakilan dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Beberapa perwakilan dari Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) Universitas Nasional. Beberapa perwakilan Mahasiswa dari Universitas Pertahanan dan Universitas Islam Negeri (UIN). Serta beberapa perwakilan dari Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI).

Menyikapi beberapa simpul pemikiran dan pandangan tersebut di atas, maka saatnya Indonesia untuk kembali memainkan peran aktif dalam perdamaian dunia. Khususnya dalam memprakarsai kembali perundingan-perundingan berskala multilateral dalam kerangka perlucutan senjata (Disarmament) dan pemeliharaan perdamaian (Peace Keeping).

Untuk itu, gagasan dan usulan dari Marsekal Pertama Adityawarwan dari Kementerian Pertahanan RI, patut kita jadikan titik-tolak pengembangan lebih lanjut. Yaitu mendorong negara-negara non-nuklir untuk menegakkan Non Proliferation Treaty (NPT). Menekan negara-negara nuklir menghormati NPT dan kembali ke meja perundingan.

Pendekatan Kepada negara-negara yang tergabung dalam NATO yang tidak setuju dengan kebijakan Presiden Donald Trump. Serta Membangun kerangka kerjasama dengan negara-negara non-nuklir untuk mengingatkan negara-negara nuklir terhadap kemungkinan dampak buruk bagi pengembangan nuklir yang tidak bertanggungjawab di masa depan.

Selain daripada itu, di forum negara-negara ASEAN sudah ada dua perangkat untuk mengembangkan lebih lanjut gagasan sebagaimana disampaikan Marsekal Pertama Adityawarman. Yaitu ZOFPAN. Zone of Peace, Freedom and Neutrality, Kawasan Damai, Bebas dan Netral. Yang merupakan tekad dan pernyataan sikap negara-negara yang tergabung dalam kawasan Asia Tenggara untuk menciptakan kawasan yang damai, bebas dan netral, dari semua campurtangan asing maupun sebagai sasaran perebutan wilayah pengaruh dari negara-negara adikuasa manapun.

Secara lebih spesifik lagi, ASEAN sudah mempunyai Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty (SEANWFZ). Yang mana negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sepakat mengadopsoi rencana aksi SEANWFZ untuk mempercepat pembentukan kawasan bebas nuklir di Asia Tenggara.

Namun demikian, Laksamana Muda Robert Mangindaan mengingatkan, bahwa kedua perangkat yang sudah dimiliki ASEAN itu tidak akan bisa berhasil dan efektif untuk mencapai tujuan tersebut, jika Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, tidak memainkan peran kepemimpinan.

Kata kuncinya adalah Indonesia harus memainkan peran kepemimpinan di ASEAN. Sebab kohesifitas atau kekompakan ASEAN sebagai entitas politik regional saat ini masih dipertanyakan. Maka dari itu, menarik ketika beberapa peserta aktif maupun beberapa narasumber seminar, menegaskan betapa pentingnya Indonesia saat ini memiliki pemimpin yang kuat, tapi juga visioner dan imajinatif. Dalam menjabarkan politik luar negeri RI bebas-aktif sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman.

Maka itu, atas saran dan tawaran dari Global Future Institute, berbagai komponen strategis bangsa, khususnya pemangku kepentingan/stakeholders kebijakan luar negeri RI, untuk menyerap dan mempelajari kembali success story para bapak bangsa kita dahulu, ketika memprakarsai Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955, dan Gerakan Negara-Negara Nonblok Beograd 1961.

Sehingga mengilhami dan menginspirasi lahirnya gagasan-gagasan strategis terbentukya forum-forum internasional yang diprakarsai negara-negara berkembang yang masuk kategori non nuclear state/negara-negara nonnuklir, untuk mendesak dan memaksa negara-negara adikuasa dan negara-negara maju, untuk menghentikan perlombaan senjata nuklir di Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. Demi terciptanya perdamaian dunia.

Selain itu, gagasan untuk membuka kembali perundingan-perundingan strategis yang didasari gagasan ke erah perlucutan senjata nuklir ala INF, merupakan suatu keharusan untuk mengikutsertakan juga Rusia dan Cina maupun negara-negara Asia yang masuk kategori nuclear state seperti Iran, Korea Utara, India, dan Pakistan. Atas dasar gagasan untuk menciptakan perimbangan kekuatan antar negara-negara.

Menyadari kenyataan semakin mengkhawatirkannya stabilitas dan keamanan regional baik di Asia Timur maupun Asia Tenggara akibat meningkatnya perlombaan senjata nuklir menyusul berakhirnya Perjanjian Nuklir Jarak Menengah (INF) pada Februari lalu, Muhammad Anthoni, wartawan senior Kantor Berita Antara, mewakili perspektif Media, mendesak berbagai pelaku media di Indonesia, harus semakin melek, peka dan waspada, dalam merespons dan membaca tren global dan perkembangan internasional yang semakin dinamis dewasa ini. |RED/JAKS