OLEH Tony RosyidPengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

KPU sudah umumkan hasil pemilu. Tengah malam tanggal 20 Mei. Lebih cepat dari waktu yang direncanakan yaitu 22 Mei. Rakyat gak kaget. Kenapa? Pertama, sudah hal biasa KPU melakukan sesuatu yang tak lazim di mata rakyat. Kedua, rakyat sudah tahu hasilnya. Selama KPU yang hitung, hasilnya sudah bisa diprediksi.

01 menang. Tepatnya dimenangkan. Kok dimenangkan? Disinilah problem krusialnya. Rakyat, terutama para pendukung Prabowo-Sandi menganggap KPU tak netral. Menjadi bagian dari Paslon Jokowi-Ma’ruf. KPU dianggap ikut bertanggung jawab atas kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif. Dianggap juga bertanggung jawab atas meninggalnya sekitar 700 lebih petugas pemilu karena faktor kelalaian.

Soal Kecurangan, tepatnya “kesalahan prosedural” Bawaslu telah mengkonfirmasi laporan dan temuannya. Sayangnya, hanya soal Situng yang diputuskan. Itupun tak ada sanksi kepada KPU, kecuali hanya diminta Situng dihentikan. KPU tak patuh dan tak menghentikan Situngnya.

Lelah dengan proses hukum yang tak memberi harapan keadilan, membuat kubu Prabowo-Sandi terpaksa memilih jalur politik, kendati tetap menjalani proses hukum. Sekedar untuk memberi ruang yang lebih leluasa bagi ikhtiar politik.

Ada tiga faktor yang membuat kubu Prabowo-Sandi cenderung menempuh jalur politik massa dan turun ke jalan. Pertama, adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Diduga melibatkan sejumlah institusi keuasaan. Kedua, KPU dan lembaga-lembaga hukum terkait pemilu diduga kuat tidak netral. Ketiga, data kemenangan yang dimiliki oleh Paslon Prabowo-Sandi meyakinkan.

Kenapa tak lapor ke MK? Tetap lapor! Tapi bukan disitu fokusnya. Kubu Prabowo-Sandi tahu betapa berbelitnya proses di MK. Belum tentu juga MK punya keadilan sesuai harapan 02. Pesimis!

Data C1 lebih dari 50 persen yang dimiliki oleh BPN Prabowo-Sandi tak akan cukup bagi MK untuk meneliti dan menghitung ulang dalam waktu tujuh hari yang disiapkan. Mustahil dapat diselesaikan. Belum lagi apatisme yang menghantui oposisi terkait lembaga hukum. Entah berapa kali laporan ke lembaga hukum, tak ada tindak lanjut. Sementara banyak tokoh dari kubu oposisi yang ditangkap setelah dilaporkan. Apa hubungannya dengan MK? Ini hanya soal kemungkinan keberpihakan dan adanya intervensi. Trauma!

Satu-satunya pilihan: tolak pemilu curang. Itulah keputusan bulat kubu Prabowo-Sandi yang didukung oleh seluruh partai koalisi (kecuali Demokrat) dan para pendukungnya. Langkah politis, yaitu turun ke jalan dan menekan KPU untuk mendiskualifikasi Paslon 01 akhirnya jadi pilihan. Dan hari ini (21/5) massa dari berbagai daerah sudah mulai tumpah di depan Bawaslu. Kabarnya, besok (22/5) gelombang massa yang turun akan lebih besar lagi junlahnya. Kita lihat sebesar apa. Yang penting: damai!

Langkah politik bukan berarti kontra dan melanggar hukum. Hak menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kedaulatan rakyat itu konstitusional dan dijamin undang-undang. Semestinya diberi ruang yang seluas-luasnya selama tak melanggar hukum. Dalam konteks ini, penguasa, terutama pimpinan tertinggi dari aparat negara mesti arif.

Langkah ini kemudian diikuti oleh pendukung Prabowo-Sandi di seluruh Indonesia untuk hadir dan melakukan demo besar-besaran di Bawaslu dan kemungkinan juga di KPU Pusat pada hari ini dan puncaknya besok tanggal 22 Mei. Aksi ini dikenal dengan Aksi Kedaulatan Rakyat 225.

Kabarnya Aksi Kedaulatan Rakyat 225 akan dihadiri sekitar 1 juta massa dari berbagai wilayah. Berkaca pada Aksi 411 dan 212, jumlah itu masuk akal. Lagi-lagi akan dibuktikan besok, atau hari-hari berikutnya.

Bukannya peserta aksi dari daerah telah disweeping dan dihadang sama aparat? Banyak yang gak bisa berangkat karena dicegat aparat? Ini yang jadi pertanyaan publik. Pasal dan aturan mana yang rakyat langgar terkait Aksi Kedaulatan Rakyat 225 ini? Tidakkah ini bagian dari hak menyuarakan pendapat yang dijamin undang-undang? Rakyat berharap tidak ada abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) oleh pihak-pihak tertentu. Sekali lagi, selama tidak ada aturan yang dilanggar.

Mirip Aksi 212, upaya menggembosi dan menghadang aksi masif dilakukan oleh pihak penguasa. Faktanya, justru penghadangan itu menumbuhkan spirit rakyat untuk hadir dan membuktikan soliditasnya. Tujuh juta manusia hadir di monas. Apakah situasi 212 itu akan mirip dengan situasi 225 sekarang? Kita lihat nanti.

Rakyat berharap, semoga Aksi Kedaulatan Rakyat 225 ini damai seperti aksi-aksi sebelumnya. Kedua belah pihak, baik aparat maupun peserta aksi, tak saling terpancing dan terprovokasi. Apalagi di bulan Ramadhan, damai itu lebih terasa menyejukkan.

Banyak yang bertanya: sampai kapan Aksi Kedaulatan Rakyat 225 ini digelar? Komjen pol (purn) Sofyan Jacob menjawab: sampai lebaran. Kabar dari sejumlah tokoh Aksi Kedaulatan Rakyat 225, aksi akan berakhir jika tuntutan mendiskualifikasi Paslon 01 dipenuhi. Lama dong? Sepertinya begitu.

Kita bisa bayangkan jika Jl. Soedirman, Thamrin, Kuningan, Menteng dan bahkan Gatot Soebroto sesak oleh massa selama berhari-hari, ini akan berdampak tidak saja secara sosial, tapi juga ekonomi. Ekonomi Jakarta bisa lumpuh total. Apalagi neraca perdagangan Indonesia saat ini sedang terjun bebas dan terburuk sepanjang sejarah di Indonesia. Disamping dolar yang terus mengintimidasi dan melemahkan rupiah.

Inilah situasi yang membuat kepanikan banyak pihak, terutama penguasa. Jika salah reaksi dan ada respon yang keliru terhadap Aksi Kedaulatan Rakyat 225, bisa fatal. Ini yang tidak kita inginkan bersama.

Perlu sikap arif penguasa terhadap situasi sosial, ekonomi dan politik yang memburuk akhir-akhir ini. Dan yang pasti, semua ini tak bisa diselesaikan dengan tindakan represif. Tak ada gunanya adu kuat sesama anak bangsa. Apalagi menggunakan peluru atau anjing pelacak. Harus mengedepankan dialog dan sikap-sikap kompromis. Bukan pendekatan yang justru memancing kekisruhan.

Tidak boleh ada ancaman, apalagi peluru nyasar. Karena ini justru akan memicu konflik horisontal. Ini juga akan menimbulkan gejolak sosial di berbagai daerah, terutama di wilayah dimana Prabowo-Sandi mendapat dukungan mayoritas (menang telak), seperti Aceh, Sumbar, Sumsel, Sulsel, NTB, Jabar, dll.

Ketika gelombang massa membesar dan berpengaruh terhadap situasi sosial dan ekonomi negeri ini, maka kedua belah pihak segera bertemu untuk cari solusi. Adakan negosiasi. Jangan terlambat!