JAKARTASATU– Setiap anak bangsa berhak menerima pendidikan yang sebagaimana mestinya atau yang layak. Tidak ada yang boleh menelantarkan anak-anak seperti yang diamanatkan oleh UU RI.

Namun, tampaknya hal demikian tidak mudah untuk direalisasikan secara merata, mengingat belum pernah di satu rezim pun anak-anak Indonesia bebas dari buta huruf secara merata (keseluruhan). Ada saja satu, dua, tiga, bahkan lebih dari itu.

Melihat kenyataan itu, pemerintah tampaknya juga tak tinggal diam. Melalui para pekerja di salah satu institusi/badan milik pemerintah, mereka berhasil menjadi jalam keluar untuk membantu anak-anak yang berpotensi—putus sekolah.

Instansi ini sudah begitu akrab di telinga, mata, dan lainnya dari kita. Ialah PLN.

PLN, melalui beberapa pekerjanya menginisiasi untuk anak-anak agar diberikan hak sama sebagaimana yang lainnya. PLN, melalui pekerjanya yang begitu memiliki kepedulian yang tinggi, kemudian dibangunlah beberapa lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan ini pun dapat dinikmati secara gratis: bagi anak-anak tak mampu. “Sekolah kami di sini, SMK Informasi Utama 100 persen gratis,” demikian aku Kepala Sekolah, Suherman, Rabu (22/5/2019), di tempat, Depok, Jawa Barat.

Suherman menceritakan, gratisnya sekolah untuk anak-anak tidak mampu ini dibiayai oleh pekerja-pekerja PLN melalui yayasan, yakni Yayasan Baitul Mal (YBM). YBM-lah kata dia yang membiayai semua anak-anak agar dapat sekolah. YBM penanggungjawabnya.

Dana YBM sendiri dari zakat para pekerja, 2,5 persen, yang dipotong dengan rela dan “diharuskan” demi kelangsungan dan perbantuan anak-anak yang ingin sekolah (lagi). Dana-dana dari warga PLN, menurut Deputi YBM Salman Alfarisi cukup membiayai anak-anak sekolah atau menempuh pendidikan.

Kata dia, malah di bawah naungan YBM, tidak hanya ada SMK Informasi Utama saja, melainkan ada selain itu, yakni sebuah pesantren, yang jarak tempatnya dari sekolah tidaklah jauh.

Pesantren ini kata Salman, secara konsep pendidikan, tidak jauh orientasinya dengan SMK I, keduanya sama-sama fokus ke bidang teknologi dan atau IT. Di pesantren ditambah dengan jurusan programmer.

Untuk kedua lembaga pendidikan di bawah YBM ini kebetulan dan sementara hanya menerima calon siswa/murid muslim. Adapun selain itu, pernah didapat ada yang mendaftar dari non muslim, namun belum disetujui di pleno.

Sedikit profil lengkap dua lembaga pendidikan di bawah YBM PLN yang diterima redaksi:

SMK Informatika Utama

Tercipta dari cikal bakal dimulai dengan berdirinya Sekolah Menengah Pertama (SMP) Utama yang telah berdiri lebih dahulu sejak Juli 2003. Atas dasar keperihatinan pada tingginya angka putus sekolah yang dialami oleh keluarga duafa serta supaya benang merah proses pendidikan yang ditanamkan di SMP Utama tidak putus, maka PT PLN (Persero) P3B dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) PT PLN P3B serta Yasmin dan Yayasan Lazuardi Hayati memutuskan untuk mendirikan SMK Informatika Utama sebagai kelanjutan dari SMP Utama. Dengan masa studi 3 tahun semua siswa dibebaskan dari seluruh biaya pendidikan.

PeTIK (Pesantren Teknlogi Informasi dan Komunikasi

Pesantren Teknologi Informasi dan Komunikasi (PeTIK) bermula dari keberadaan Yayasan Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh PLN (Yayasan LAZIS PLN), Sekarang berubah nama menjadi Yayasan Baitul Maal PLN (YBM PLN). Dengan ridho Allah SWT. PeTIK bebas biaya (untuk dhuafa) didirikan tanggal 22 November 2010. Pesantren ini dibawah naungan YBM PLN.

Awalnya proses belajar dan mengajar menempati Ruko dibilangan Cinere, Kota Depok, kemudian pada bulan Februari 2011 menempati tanah seluas 725 meter persegi di mana luas bangunannya 155 m2 yang berlokasi di : Jalan Mandor Basar Nomor 54, RT. 01/001, Rangkepanjaya, Pancoran Mas, Depok 16435, Jawa Barat. (Belakang Masjid Dian Al-Mahri (Masjid Kubah Emas), Depok). Koordinat (-6.386680,106.777305).

PeTIK menganut sistem belajar dan bermukim. PeTIK didirikan dengan maksud untuk menjawab berbagai fenomena sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, di mana tidak sedikit masyarakat yang kurang mampu kesulitan mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (perguruan tinggi). Hal ini disebabkan, antara lain, mahalnya biaya pendidikan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok harian untuk bertahan hidup yang juga tinggi (makan dan minum).

RI