Sidang-di-MK

Oleh Acep Iwan Saidi

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua pengaduan yang diajukan pemohon (Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi). Menarik mencermati putusan ini secara semiotik, khususnya terkait bagaimana MK mengidentifikasi bukti yang diajukan pemohon, yang kemudian menjadi dasar seluruh keputusannya. Berikut identifikasi hal tersebut.

1. Putusan Denotatif-Legisign

Merupakan putusan yang dasarnya bukti-bukti tidak lengkap, tidak relevan, dan bukti yang tidak diserahkan pemohon kepada MK. Pada bukti yang tidak lengkap dan tidak relevan ini tampak bahwa bantahan dari pihak termohon dan pihak terkait cenderung menjadi dasar dominan keputusan MK. Contoh bukti jenis ini adalah video rekaman yang tidak disertai penjelasan lengkap dan akurat mengenainya. Sedangkan pada bukti yang tidak diserahkan ke MK, putusan penolakan bersifat definitif, yakni “dikecualikan”.

Secara semiotik, putusan tersebut bersifat denotatif atau harafiah. Logika ketidaklengkapan dan ketidakdiserahkannya bukti ke MK sangat mudah dipahami dan diterima publik. Bagaimana bisa sebuah pengaduan diterima jika bukti tidak lengkap dan apalagi tidak diserahkan. Dalam perspektif semiotika Peirce, putusan ini masuk ke dalam kategori legisign, yakni berterima validitasnya.

Putusan ini juga memiliki dampak semiotik kepada pemohon. Publik bisa jadi bertanya mengapa pemohon tidak menyerahkan bukti secara lengkap atau mengapa malah tidak menyerahkan bukti untuk dalil yang diajukannya. Di sini muncul ambiguitas pesan atau melahirkan pesan konotatif. Misalnya, pemohon memang tidak memiliki bukti, pemohon tidak cermat, pemohon tidak siap, pemohon tidak memiliki tim yang solid untuk mengklarifikasi bukti, atau bahkan bisa berkonotasi bahwa pemohon hanya berasumsi.

2. Putusan Konotatif-Sinsign

Merupakan putusan yang tidak mengelaborasi bukti yang diajukan pemohon secara memadai. Dalam kategori ini, hakim hanya menyampaikan, kurang-lebih, misalnya, “setelah mencermati bukti yang ditandai (penomoran)…, MK mempertimbangkan atau memutuskan bahwa pengajuan pemohon tidak bisa diterima atau tidak memenuhi syarat secara hukum…”

Atas putusan tersebut publik tentu hanya bisa meraba-raba dan mencocokkan imajinasinya tentang bukti dengan keputusan hakim sebab publik tidak mengetahui seperti apa buktinya. Keputusan ini bernuansa kontatif dan dalam taksonomi semiotika Peircian dapat terkategori sebagai sinsign, yakni putusan sebagai tanda yang melahirkan ketegangan pada publik, terutama, tentu saja, publik pendukung pihak pemohon.

3. Putusan Konotatif-deduktif (dicent/dicisign)

Merupakan putusan yang dapat melahirkan perdebatan, baik di kalangan publik maupun di lingkungan hukum itu sendiri. Dalam konteks ini, putusan MK cenderung didasarkan pada penjelasan “teoretik-deduktif” dus “relasi dan pertentangan” dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan terkait dalil yang diajukan pemohon. Dua contoh untuk putusan ini adalah tentang kasus administrasi pencalonan KH Makruf Amin sebagai cawapres terkait dengan persoalan BUMN dan tentang dana kampanye calon Presiden Jokowi. Dalam putusan tentang Makruf Amin keterangan saksi ahli dalam persidangan (fakta induktif) bahkan diabaikan.

Putusan yang memilki potensi perdebatan sedemikian, dalam semiotika Barthesian, terkategori sebagai bersifat konotatif. Sebab, bagaimanapun, perdebatan terjadi karena pesan atau makna yang bersifat ambigu. Dalam taksonomi semiotika Peirce, khususnya dalam aspek bagaimana pesan/makna hadir atau ditasirkan penafsir, dasar putusan (interpretasi) hakim belum sampai pada tahap argumentatif, melainkan hanya berada pada tingkat di-cent, yakni interpretasi yang spesifik, tetapi belum tuntas sebab tidak berbasis pada kode sosial yang logik atau yang berterima dalam konvensi dan imajinasi publik.

4. Mitos MK

Keputusan MK bersifat final. Artinya, apapun yang diputuskan MK adalah kebenaran yang harus diterima oleh semua pihak. Secara semiotika, penerimaan atasnya adalah tanda kepatuhan kepada hukum sebagai warga negara yang baik. Ketetapan ini tentu pada mulanya bersifat politik (ditentukan berdasarkan mekanisme undang-undang). Merujuk kepada semiotika saussurian, ketetapan politik ini identik sebagai sebuah nomenklatur yang kemudian menjadi konvensi: pilihan politik yang menjadi kesepakatan bersama. Dari sinilah, merujuk Barthes, lahirnya mitos, sebuah keyakinan yang telah definitif yang awalnya dibangun oleh prinsip konotasi.

Mencermati apa yang terjadi pada persidangan, khususnya pada debat para ahli/Tim Hukum para pihak di MK, khususnya ketika dihadirkan saksi ahli dari Tim 01, Prof. Edward Omar Syarief Hiariej dan Dr. Heru Widodo, tampak bahwa di dalam tubuh MK itu sendiri, secara teoretik, banyak ruang-ruang kosong yang memungkinkan lahirnya keputusan-keputusan deviatif—untuk membedakan dari konotasi. Ini karena, sebagaimana dikemukakan kuasa hukum 02, Luthfi Yazid, dinamika di dalam dunia hukum yang sangat dinamis, kompleks, dan bahkan absurd, terutama jika dikaitkan dengan kejahatan dus penghamkiman atasnya yang terjadi dalam dunia digital. Padahal, kasus yang disidangkan di MK saat ini juga berkelindan dengan dunia digital. Dan pada titik ini, sidang MK tidak banyak memberi pengetahuan kepada publik. Soal sederhana macam situng, misalnya, berhenti pada argumen bahwa situng bukan penentu keputusan suara, melainkan hanya membantu publik untuk transparansi. Ini mencerminkan kemajuan dunia digital telah jauh meninggalkan pengetahuan kita. Pikiran yang berkembang dalam sidang MK masih berada dalam level analog.

Berdasarkan hal itu, mitos tentang MK sebagai pemutus kebenaran final harus terus-menerus juga dibarengi dengan studi yang progresif tentang segala hal yang terkait dengannya. Mitos tentang kebenaran hukum, dengan begitu, harus merupakan mitos yang rasional secara terus-menerus sesuai perkembangan zaman. Jika mitos dibangun atas dasar prinsip konotasi, maka konotasi-konotasi dalam dunia hukum, terkait keputusan atas kasus persidangan, misalnya, harus merupakan konotasi positif, yakni keputusan yang berdasarkan atas interpretasi argumentatif sehingga darinya lahir keputusan yang legisign.

Namun penting dikemukakan bahwa di sisi lain, studi yang progresif atas perkembangan hukum yang dinamis di atas jangan sampai juga melahirkan mitos hukum dus lembaganya sebagai mitos modern yang didefinisikan Barthes, yakni mitos sebagai model pengucapan, kebenaran yang dibangun oleh (hanya) kecanggihan bahasa (retorika). Jika ini terjadi, baranalogi kepada Umberto Eco, segala tanda yang dikontruksi hukum dalam dunia peradilan akan menjadi tidak lebih dari sekedar dusta.

Argo Parahyangan, 28/06/2019