Kenapa tiba-tiba ingin mengali siapa tokoh Pers perjuangan Indonesia. Saya teringat Tirto Adhi Surjo. Semalam ILC yang reborn menjadikan tergali kembali. Sejumlah tokoh pers bicara dan tokoh hukum dan politik bicara. di ILC malam tadi. Tapi saya tak begitu tertarik soal lainnya cuma soal Pers yang agaknya khusus. Asro, Hary Murti, Salim Said dan juga Presiden ILC Karni Ilyas. Adalah kisah selanjutnya. Namun dalam demokrasi kini nampaknya Pers kita diawasi lebih tajam dan dalam. UU Pers memang ada dan kuat, tapi UU yang mengatur jurnalis sebagai karyawan selama ini belum membuat Pers dalam jatidirinya. Pers yang berpihak ada. Independen apakah ada? Mungkin ada juga. Tapi marilah kita nengok sebentar mungkin tulisan tentang Tirto Adhi Surjo ini bisa jadi pemberi jiwa-jiwa lain saat ini.

Tokoh Pers Tirto Adhi Surjo (TAS) adalah sebuah sejarah yang tak lepas dari pers perjuangan. Ia pada tahun 1904 di Gedung yang kini Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) di Jalan Naripan dulu nama gedung itu Villa Evangeline mengukana kantornya berbadan hukum NV Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften “Medan Prijaji”.

Sebuah firma hukum yang dibuat oleh Raden Mas Tirto Adhi Surjo (1878-1918) kemudian TAS dikenal tokoh pers Indonesia yang menerbitkan koran Medan Prijaji. Inilah kisah koran berbahasa melayu yang terbit pertama di Bandung.

Medan Prijaji adalah surat kabar yang terbit pada Januari 1907 hingga Januari 1912. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Surat kabar ini didirikan oleh Tirto Adhi Surjo. Medan Prijaji pun seklaigus menjadi koran pertama yang dikelola pribumi dengan uang dan perusahaan sendiri.

Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, pada Januari 1904 Tirto Adhi Surjo bersama H.M. Arsad dan Oesman mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften. “Medan Prijaji” beralamat di Djalan Naripan, Bandung, yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). N.V. ini dicatat sebagai N.V. pribumi pertama dan sekaligus NV pers pertama dengan modal sebesar f 75.000 yang terdiri atas 3.000 lembar saham.

Dengan dana tersebut terbitlah Medan Prijaji dengan format mingguan yang terbit tiap hari Jum’at. Surat kabar yang berukuran seperti buku atau jurnal mungil (12,5×19,5 cm) tersebut dicetak di percetakan Khong Tjeng BiePancoran, Betawi. Rubrik tetapnya adalah mutasi pegawai, salinan Lembaran Negara dan pasal-pasal hukum, cerita bersambung, iklan, dan surat-surat. Tak sedikit artikel-artikel panjang itu didesain dalam dua kolom, namun sebagian besar dituliskan dalam satu kolom seperti jurnal.

Suara koran ini menjadi kritik pedas bagi pemerintah kolonial dan alamat pengaduan bagi setiap pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan. Oleh karena itu diperlukan usaha mandiri mencetaknya. Maka dengan pengetahuan dan pengalaman niaganya, diwajibkan bagi calon pelanggan untuk terlebih dahulu membayar uang muka berlangganan selama satu kuartal, setengah, atau satu tahun, yang saat ini kita kenal dengan sebutan saham.

Dilobinya beberapa pangrehpraja yang tertarik dengan gagasannya. Jadilah dua orang penyumbang dana besar, yakni Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja dan Sultan Bacan Oesman Sjah. Masing-masing menyumbang f 1.000 dan f 500.

gedung-ypk_604
Gedung YPK di Jalan Naripan Bandung

Ketika pertama kali terbit di Bandung, “Medan Prijaji” mencantumkan moto di bawah nama “Medan Prijaji” sbb: “Ja’ni swara bagai sekalijan Radja2. Bangsawan Asali dan fikiran dan saoedagar2 Anaknegri. Lid2 Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda“.

Delapan asas yang diturunkan Tirto Adhi Surjo di halaman muka edisi perdana, antara lain memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.

Menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, disebut nama-nama para pengelola Medan Prijaji. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur) adalah Tirto Adhi Surjo, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto (ketiganya dari Bandung), R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t (Paduka tuan) J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di ‘s Gravenhage, sebagai redaktur di Belanda. Juga disebut adanya beberapa jurnalis bangsa Tiong Hoa dan pribumi antara lain Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.

Pada tahun 1910 di Betawi, “Medan Prijaji” terbit tiap hari kecuali hari Jumat dan Minggu dan hari raya. Nomor 1 terbit pada 5 Oktober 1910.

Rubrik yang paling digemari adalah surat dan jawaban serta penyuluhan hukum gratis yang disediakan Medan Prijaji kepada rakyat yang berperkara. Usaha inilah yang menjadikan koran ini berkembang. Simpati pun datang melimpah-limpah hingga pada tahun ketiga terbitannya, tepatnya Rebo 5 Oktober 1910, Medan Prijaji berubah menjadi harian dengan 2000 pelanggan yang menurut laporan Rinkes: “untuk harian Eropa di Hindia pun sudah merupakan jumlah bagus, lebih-lebih untuk harian Melayu….”

Ketika pertama kali terbit menjadi harian tetap, mengambil tahun IV karena tahun I, II, dan III masih mingguan yang terbit di Bandung. Di bawah judul surat kabar harian “Medan Prijaji” itu tertulis moto: “Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia“. Di zaman itu, merupakan sebuah keberanian luar biasa mencantumkan moto seperti itu. Medan Prijaji menjadi surat kabar pembentuk pendapat umum, berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada masa itu. Kecaman hebat dan pedas yang pernah dilontarkannya terhadap tindakan-tindakan kontroler.

Medan Prijaji mengambil posisi sebagai corong suara publik. Sebagai aktivis pergerakan, tulisan-tulisan Tirto Adhi Surjo dalam Medan Prijaji tak pernah berbasa-basi, tapi menunjuk muka langsung. Hampir tak ada satu pun kebijakan kolonial yang dirasa memberatkan rakyat yang lolos dari pemberitaan Medan Prijaji. Di seluruh karesidenan Jawa, Medan Prijaji bukan lagi taman, tapi benar-benar medan berkelahi. Di Banten, Rembang, Cilacap, Bandung, diperkarakannya banyak hal.

Salah satu kasus terkenal adalah perkara di Kawedanan Cangkrep Purworejo. Medan Prijaji dengan bahasa terbuka memuat artikel tentang persekongkolan jahat antara Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak beroleh dukungan warga. Sementara kandidat pertama yang didukung, Mas Soerodimedjo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman krakal.

Terbakar oleh amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu Tirto menyebut pejabat tersebut sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan prijaji No 19, 1909. Investigasi atas kasus itu didukung 236 warga Desa Bapangan dan warga ini pula mengirim surat kepada Tirto yang berisi dukungan pasang-badan kalau-kalau Tirto kena denda atas tulisannya.

Tirto Adhi Surjo memang kalah dalam perkara persdelict dengan A Simon itu dan dibuang ke Lampung dua bulan. Tapi dari kasus itu, Medan Prijaji mendapat perhatian pers di Belanda dan Tirto Adhi Surjo berkesempatan berkenalan dengan Anggota Majelis Rendah Belanda Ir HH van Kol dan pemuka politik etik Mr C Th van Deventer sehingga Medan Prijaji dipasarkan hingga di daratan Eropa.

Dari sepak terjang itu Medan Prijaji pun menjadi model pertama dari apa yang kelak disebut sebagai surat kabar pergerakan, mendahului Sarotomo, Soeloeh Indonesia, ataupun Daulat Ra’jat. Yang khas Medan Prijaji terletak pada kegiatannya yang tak berhenti dengan sekadar memberitakan sebuah peristiwa atau kebijakan yang merugikan publik, namun terjun langsung menangani kasus-kasus yang menimpa si kawula. Medan Prijaji, lagi-lagi, menjadi pelopor dari genre jurnalisme, yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan jurnalisme advokasi.

Nomor terakhir terbit 3 Januari 1912 tahun VI. Pada 23 Agustus 1912 Medan Prijaji pun ditutup. Mas Tirto Adhi Surjo juga dituduh menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja). Dua bulan setelah tutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis bahwa Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang. Mas Tirto Adhi Surjo disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).

Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto Adhi Surjo dan proses pendirian Medan Prijaji diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jejak Langkah, buku ke-3 dalam Tetralogi Pulau Buru, yang runutan buku itu adalah Bumi ManusiaAnak Semua BangsaJejak Langkah dan Rumah Kaca.

Koran Medan Prijaji

Koran yang diterbitkan dalam bahasa Malayu tersebut mulai terbit pada tahun 1907. Awalnya koran ini berupa koran mingguan serta disebarkan juga ke luar Bandung. Tiga tahun dari waktu tersebut, Medan Prijaji terbit Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu, kecuali hari Jumat, Minggu, dan hari-hari besar. Tirto Adhi Surjo juga mendirikan Soeoleoh Keadilan dan Putri Hindia (1909). Media masa saat penjajahan kolonial umumnya mengutip berita politik pemerintah dari koran Belanda atau akrab disapa ‘pers putih’, namun tidak dengan media Tirto Adhi Surjo.

Dengan bakatnya dan jaringan yang cukup baik, medianya kala itu mengkritisi dan kebijakan kolonial yang semena-mena. Seperti memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi. Hal itulah yang dianggap bahaya oleh pemerintah Belanda.

Akibatnya, Tirto Adhi Surjo kerap diteror bahkan mendapat hukuman. Pada 1912 Medan Prijaji runtuh.

Catatan gedung YPK selanjutnya masih ada, namun untuk yang ini kita sampai dulu disini dan sekadar mengenang YPK paada zaman Walanda, digunakan untuk Societet (Balai Pertemuan) yang dinamakan Ons Genoegen. Di tempat ini pada zaman Belanda biasa dipakai untuk main bilyar, catur, main kartu, serta ajang menonton hiburan yang biasanya berupa orkes kecil-kecilan. Dan ada catatan terselip bahwa pada tahun 1930-an, para tokoh politik nasional seperti Bung Karno dan kawan-kawan sering mengadakan vergadering (sidang) di gedung ini.  Aendra Medita – dbs/JBS/SN