by: Imam Wahyudi (iW)

Proyek pembangunan infrastruktur jalan tol Cisumdawu, sejatinya baru akan rampung tahun 2021 — sesuai kontrak pengerjaan. Sebaliknya obyek utama pembangunan Bandara Kertajati, justru sudah lebih dulu rampung dan diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 Mei 2018 lalu. Tapi operasionalnya tak sertamerta bisa dilakukan, termasuk sebelumnya ditargetkan penerbangan komersial mulai 08 Juni 2018. karena lintasan Cisumdawu yang diandalkan sebagai infrastruktur pendukung tak kunjung rampung.

Sudah setahun, Bandara Kertajati belum juga siap dioperasionalkan. Akibat “zero” ketersediaan transportasi publik dan kendala jarak tempuh, berdampak “membley” okupensi. Tepat setahun pula, dicoba lagi dengan menggelar 56 penerbangan reguler dalam 13 rute domestik. Transportasi ke dan dari terminal bandara disediakan gratis.

Kondisi tak lazim itu, kiranya tak bisa berlama-lama. Banyak pihak terkait jadi gerah dibuatnya.
Pemerintah pusat cq. KemenPUPR turun tangan. Kabar terakhir, penyelesaian pembangunan tol Cisumdawu bakal dikebut dengan target rampung akhir 2020. Masa tunggu 1,5 tahun, tampaknya bukan waktu yang pendek untuk aktivitas dan peran bandara komersial. Apa hendak dikata, itulah adanya..?!

Daripadanya, posisi keberadaan jalan tol Cisumdawu menjadi amat strategis dalam fungsi koneksivitas obyek. Pada saat dioperasionalkan nanti, jarak tempuh Bandung-Kertajati sepanjang 68 km bisa ditempuh hanya sekira 45 menit. Ideal, rasanya. Minat pengguna jasa penerbangan dimungkinkan meningkat, karena terbuka pilihan rasional dibanding harus mengakses bandara lain di Jakarta. Pun membuka peran (bisnis) transportasi publik pada umumnya.

Seperti diketahui jarak jalan raya Bandung-Dawuan mencapai 105 km, dengan sejumlah kelokan di ruas Tanjungsari-Sumedang dan Nyalindung. Kelak, tol Cisumdawu yang memiliki dua “tunnel” (terowongan) kembar — akan memangkas jarak hampir separuhnya — plus “bebas hambatan”. Pembangunan Cisumdawu dengan investasi dana Rp 8,41 Triliun dan biaya konstruksi senilai Rp 5,58 Triliun itu, terdiri dari enam seksi. Rentangnya 61,5 km, meliputi Cileunyi-Tanjungsari (12 km), Tanjungsari-Sumedang (17,51 km), Sumedang-Cimalaka (3,73 km), Cimalaka-Legok (6,96 km), Legok-Ujungjaya (16,35 km) dan Ujungjaya-Kertajati (4 km).

Proses pembangunan yang sudah berlangsung selama hampir tujuh tahun terakhir, sejak peletakan batu pertama di Rancakalong, Desa Citali, Kec. Pamulihan, Kab. Sumedang pada 29 November 2012 ini — ternyata masih meninggalkan masalah. Bahkan cenderung berlarut-larut. Utamanya soal pembebasan lahan dan pembayaran kompensasi warga pemilik semula. Meliputi eks lahan di ruas 4 hingga 6. Anggaran pembebasan lahan mencapai Rp 4,8 Triliun. Pembangunan secara keseluruhan baru mencapai 63%. Masalah lahan, di antaranya sebagian milik Perum Perhutani, yang dimungkinkan sinerji dengan Kemenhut&LH.

Bersamaan itu dalam hal “ganti rugi” masih ada “dititipkan” ke Pengadilan Negeri Sumedang yang beracara tentang itu. Sangat mungkin, di satu sisi — pembangunan harus berlanjut — di sisi lain masih menyisakan masalah, hingga diperkarakan secara hukum. Belum diperoleh konfirmasi jumlah dana yang “dititipkan” itu. Namun diprakirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Kiranya perlu perhatian Gubernur Jabar berikut Bupati Sumedang terhadap masalah di atas. Lebih dari itu, sepatutnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mau dan mampu mengendus aroma tak sedap rasa korupsi. Jangan-jangan sudah bergerak?! Ya, kita tak ingin lagi mendengar kasus serupa berulang, yang dialami banyak warga eks pemilik lahan proyek raksasa Waduk Jatigede Sumedang. Berpuluh tahun kemudian menjadi tak berdaya dalam jeritan tangis dan derita panjang. Mereka tak seharusnya menjadi “korban” pembangunan dan keserakahan. Pun hakikatnya, mereka adalah para pahlawan (sejati) pembangunan yang merelakan seluas lahan miliknya dipersembahkan kepada negara — bagi kemajuan kawasan dan peradaban. (bersambung).