by: Imam Wahyudi (iW)

Pembangunan jalan tol Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan) merupakan prasyarat utama bagi kelangsungan operasional Bandara Kertajati. Setidaknya dilakukan scr simultan hingga rampung dlm waktu bersamaan.

Narasi di atas pernah penulis sampaikan dlm kapasitas sbg anggota DPRD Jabar periode 2004-2009 di rapat komisi-D yg membidangi infrastruktur, bersama mitra dinas terkait — termasuk Bappeda Jabar. Bahkan, sy mendorong Dinas Perhubungan sbg “leading sector”nya. Dimaklumi, mengingat proyek besar dg berbagai garapan awal — mulai perencanaan, penelitian berupa studi kelaikan, detail desain, pembebasan lahan hingga pengerjaan fondasi dst — menjadikan “pacorog kokod” (silang garapan) di antara dinas terkait. Tentu saja, periodisasi jabatan dewan sdh berakhir di penghujung 2009 dan praktis sy tdk lagi terlibat pembahasan ikhwal itu.

Sy ingin mengulang, bahwa pembangunan infrastruktur pendukung idealnya didahulukan –sebelum proyek utama. Dengan begitu, saat proyek utama rampung — dlm posisi “ready for use”, siap pakai, siap operasional. Koneksivitas pun terjamin.

Tak kecuali Bandara Kertajati, warga Jabar sudah lebih dulu punya kebanggaan atas Kawasan Pendidikan Tinggi yang luas dan asri di perbukitan Jatinangor, sisi barat Kab. Sumedang dan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) di kawasan Gedebage, sisi timur Kota Bandung. Kedua yang terakhir, mengingatkan kita akan minusnya sinkronisasi dengan infrastruktur pendukung yang kebutuhannya “dibelakangkan”. Kita hanya bisa membayangkan adanya hamparan “boulevard” (jalan sangat lebar dan luas -pen) yang lazim menjadi latar depan sebuah kawasan pendidikan tinggi.

Itu tak tampak ada alias tak terjadi. “Boulevard” yang mestinya jadi dayatarik Kawasan PT di Jatinangor, dengan perguruan tinggi ternama — di antaranya IPDN, IKOPIN, Unwin, ITB dan Unpad. Kawasan itu kadung berkembang bak “ada gula, ada semut” alias semrawut — berbaur jalan lintas antarkota dan antarprovinsi. Berikutnya, Stadion GBLA yang berdiri megah tanpa aksesibilitas memadai dan setara obyek. Akses harus melewati permukiman penduduk, yang tak nyaman. Sangat mungkin, problem akut pemerintah daerah: keterbatasan anggaran. Ayam dulu atau telur dulu..? Argumen lain, semata prioritas pembangunan. Maklum!

***

Kembali ke infrastruktur pendukung untuk Bandara Kertajati. Komisi-D DPRD Jabar (2094-2008) yang dipimpin “duet” Ir. H. Adi Gunawan dan H. Dadang Naser (kini Bupati Bandung) bersepakat, bahwa pembangunan jalan tol Cisumdawu sebagai prasyarat utama bagi pembangunan Bandara Kertajati.

Dalam perkembangannya, Bappeda Jabar melakukan “update” — bahwa sudah dilakukan presentasi kepada tiga calon investor. “Progress” kala itu, tidak cukup “visible”. Jangkauan “break event point” (BEP) atau “titik impas” sangat panjang (lama). Praktis terhambat, terkesan “tak laik jual.” Cukup alasan dan bisa dimaklumi, mengingat kawasan yang akan dilintasi Cisundawu — secara “traffic load” masih bersifat “everage”.

Belum masuk kategori “over loaded”. Tak cukup padat, dan tak cukup menjajikan secara ekonomi investasi. Itu pula sebab, jauh sebelumnya muncul wacana pembangunan bandara dimaksud di daerah Karawang yang tengah dikembangkan sebagai kawasan industri (kini kian tampak). Sebaliknya rencana penetapan lokasi bandara di Kertajati tidak cukup referensi secara ekonomi. Arahan dari pemerintah pusat cq. kemenhub itu tampaknya tidak sesuai dengan minat dan harapan pemangku kepentingan di Jabar.

Akhirnya, setelah tapak dalam rentang (lama) 15 tahun — Bandara Kertajati hadir sebagai “icon” baru Jawa Barat. Meski pengoperasian masih terkendala, rasanya tetap menjanjikan kemajuan di masa depan.

Kendala itu, maknanya — tak lain soal jarak tempuh cukup jauh dan ketersediaan transportasi publik yang bersifat permanen. Upaya “shuttle bus” menjadi pilihan “uji coba” sebulan ke depan. Lagi, lantaran jalan tol Cisumdawu belum berfungsi. Kabar terakhir, bakal dikebut — itu pun target rampung pada akhir 2020 — lebih cepat dari kontrak garapan 2021. Artinya pula, masih cukup panjang masa penantian atau 1,5 tahun lagi. Duh!

Merealisasikan garapan dua proyek raksasa yang sarat modal investasi secara simultan, terbukti tak mudah. Jauh dari espektasi publik dan pemangku kepentingan. Pengalokasian anggaran jadi dilema lain, kecuali pinjaman luarnegeri yang pada gilirannya gelap pula untuk pengembalian dan bunganya.

Kedua proyek itu, seperti yang lumrah terjadi — pun harus lebih dulu melewati rintangan, berupa pembebasan lahan. Tak sedikit oknum birokrat di setiap jenjang pemerintahan, tergiur ikut “bermain kotor”. Tak kecuali oknum anggota dewan dan perseorangan, dengan atasnama pemangku kepentingan. Mereka umumnya menjadi spekulan atas tanah warga yang kemudian menjual kepada panitia pembebasan lahan (pemerintah -pen). Tentu, dengan harga yang sudah melebihkan keuntungan (tak jarang fantastis). Ribuan warga yang terusir kerap dibuat terbelalak mata dalam tatapan kosong: penyesalan yang tak mudah dikoreksi. Pada sepasi inilah, seseorang memberi komentar dalam seri pertama serba-serbi: “Audit tuh…Pasti ada korupsinya”. Namanya juga “serba-serbi”. (bersambung).