Oleh: Imam Wahyudi *)

Pihak PLN (persero) menyiapkan dana kompensasi senilai Rp 865 milyar. Sebutlah serupa ganti rugi atas tragedi pemadaman massal (“black out”) listrik selama lebih 12 jam tempo hari. Belum jelas, apakah dalam kondisi darurat (emergency) atau akibat “force majeure”.

Pihak YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) sudah wanti-wanti soal itu. Kompensasi mestinya bersifat otomatis. Adalah kewajiban yang diatur Undang-undang. Pun dengan formulasinya dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 27 tahun 2017 tentang Mutu Pelayananan & Biaya yang Terikat dengan Penyaluran Tenaga Listrik.

Pernyataan pemberian kompensasi itu terkesan sebuah kebijakan yang “menyenangkan”. Menekan amarah korban “black out”. Padahal, tentu saja — lebih merupakan melaksanakan kewajiban. PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen. Alih-alih bersifat otomatis (bukan kebijakan -pen), pernyataan tentang kompensasi masih ditambah embel-embel dengan pemotongan gaji karyawan yang berjumlah 40.000 orang. Koq, begitu? Pernyataan tambahan itu terkesan ngawur alias “asal bunyi” alias “asbun”.

Direksi Pt PLN mengatakan, pihaknya tak memiliki sumber dana untuk membayar kompensasi — selain memotong gaji karyawan. “PLN tak bisa menggunakan dana PMN (penyertaan modal nasional) 2019 senilai Rp 6,5 Trilyun yang hanya untuk investasi dan biaya operasional.” Pernyataan yang sangat bias. Di satu sisi, kompensasi bersifat otomatis dan kewajiban sesuai aturan untuk itu. Di sisi lain, pihak PLN tidak punya sumber dana untuk membayar kompensasi. Ironis!

Serikat Pekerja pt PLN (Persero) tak ayal menolak. Pernyataan yang “selain memotong gaji karyawan” menunjukkan tidak dilakukan koordinasi (urun rembug -pen) dengan pihak karyawan. Itu dia, pernyataan “asbun” tadi. Menolak pemotongan gaji dan bonus karyawan untuk pembayaran kompensasi secara “tanggung renteng”. Melanggar Undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah no. 78/2015 tentang Pengupahan. “Ada perlindungan upah,” kata Ketum SP pt PLN. Pertanyaan kita, koq bisa muncul pernyataan Direksi PLN tentang kompensasi seperti itu. Sementara hal-ikhwal tentang itu sudah jelas adanya. Atau mungkin sang direksi tak pernah tahu, bahkan faham?! Lagi-lagi, ironis.

Hal lain yang tak kurang menarik, bahwa kompensasi tidak serupa pemahaman awam. Dana kompensasi Rp 865 milyar tidak sertamerta dibagikan atau dibayarkan kepada pelanggan. Sejumlah itu akan dipotong atau dikurangkan dari jumlah tagihan listrik pada bulan berikutnya (baca: September 2019) dan penambahan pada pembelian “token” bagi pelanggan prabayar.

Jadi, tidaklah pas pernyataan “siap menyediakan dana kompensasi”. Bahkan dengan angka Rp 865 milyar. Nilai kompensasi dan rencana pangkas gaji karyawan menjadi serba “seolah-olah” bijak. Padahal yang sangat mungkin terjadi, pihak PLN tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun alias “no cash out”. Sejumlah dana (kompensasi) Rp 865 milyar tadi lebih berupa pengurangan pendapatan PLN pada bulan September nanti. Bukan kompensasi yang harus disiapkan dan selanjutnya dibayarkan.

Akhirnya, narasi kesiapan penyediaan dana kompensasi “black out” dengan kebijakan potong gaji karyawan ditambah pihak PLN tidak punya sumber dana untuk itu — dapat diklasifikasikan sebagai “pembodohan publik”. Bahkan sebuah kebohongan. Nyata!***

*) wartawan senior di bandung