by Tarmidzi Yusuf
Hari ini Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke 74 tahun. Ibarat manusia, 74 tahun umur yang sudah rentah dan sakit-sakitan. Sementara kondisi Indonesia hari ini dengan utang Pemerintah tembus Rp4.570 Triliun per Juni 2019. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat per akhir Juni 2019 mencapai Rp4.570,17 triliun, naik 8,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp4.227,78 triliun.
Besarnya beban utang Indonesia tentu membuat ketergantungan Indonesia dengan negara asing telah mengganggu kemerdekaan secara utuh. Namanya kita punya utang, ada rasa “sungkan” dengan negara kreditur. Sedikit banyak akan ada intervensi terhadap kebijakan pemerintah.
Bukan hoax dan bukan pula rasis, tapi ini kenyataan yang harus kita ketahui. Ekonomi Indonesia 90% dikuasai oleh WNI keturunan cina. Sementara populasi WNI keturunan cina berdasarkan data Sensus penduduk 2010, jumlah warga keturunan cina di Indonesia mencapai 2,83 juta jiwa atau sekitar 1,2 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 236,73 juta jiwa. Artinya, populasi penduduk 1,2% menguasai 90% ekonomi Indonesia.
Bidang politik, selama 74 tahun Indonesia merdeka, pribumi belum bisa secara utuh mewarnai perpolitikan Indonesia. Keberpihakan negara baik secara politik maupun ekonomi mengalami ketimpangan. Pribumi dianggap sebagai “ancaman” bagi etnis lain dan harus menjaga “toleransi” dengan etnis keturunan cina. Sementara etnis keturunan cina mendapat perlakuan “istimewa”. Pribumi dianggap warga “kelas dua”, dan banyak mengalah. Tak sebanding dengan perjuangan para Pribumi merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda, Inggris dan Jepang.
Lahirnya UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. Diikuti oleh Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Istilah pribumipun kini telah dilarang. Menggunakan istilah pribumi dianggap melanggar UU. Padahal, 95% penduduk Indonesia adalah Pribumi. Populasi 95% penduduk pribumi kalah bargaining baik secara politik maupun ekonomi dibandingkan 5% dari penduduk bukan Pribumi.
Saatnya Pribumi bangkit. Saatnya keberpihakan negara kepada Pribumi karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Pribumi. Jangan malu memperjuangkan keberpihakan Pribumi. Bukan rasis. Bukan pula anti keragaman. Tapi keberpihakan secara adil sebagai tuan di negaranya sendiri.
Bandung, 16 Dzulhijjah 1440/17 Agustus 2019