by M Rizal Fadillah

by M Rizal Fadillah

Kerusuhan Papua yang dipicu persekusi ormas dan aparat ke asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang disebabkan bendera merah putih yang dibuang dengan tiang yang dipatahkan. Balasannya di beberapa daerah di Papua dalam kerusuhan itu bendera merah putih pun dibakar. Dari sakit berujung menyakitkan. Gubernur Papua menyesalkan Gubernur Jatim tidak mengerahkan Banser untuk menjaga asrama mahasiswa dari serbuan. Nada sinis bermunculan pada “pasukan swasta” yang dibawah ormas latar belakang Gubernur Khofifah.

Coba merenung sedikit, mengapa bendera merah putih dikoyak koyak seperti “sinyal” terkoyak koyaknya Indonesia. Bendera adalah simbol. Presiden Jokowi hanya berpidato soal maaf memaafkan. Seperti lebaran saja kata netizen. Nasionalismenya tidak tergugah. Sayangnya secara artifisial “pembelaan merah putih” ditampilkan lewat kebencian pada “bendera tauhid” simbol Islam. Bendera Nabi yang secara serampangan selalu dikaitkan dengan HTI. Ini kezaliman. Soal Enzo saja telah berujung pada pemerosotan martabat seorang Professor. Menyoal “bendera tauhid” tersebut.

Bendera dibakar itu menyakitkan. Rakyat Papua membakar bendera merah putih tentu menyakitkan bangsa Indonesia. Nah dulu di Garut ada oknum Banser yang membakar bendera tauhid. Umat Islam merasa sangat sakit. Tapi Negara melalui pengadilan tidak peduli, menganggap ini persoalan “ecek ecek” hingga sang pembakar hanya dihukum 10 hari dan denda dua ribu rupiah. Terlalu sekali. 
Sekarang kita merasakan betapa sakitnya bendera merah putih dibakar oleh rakyat Indonesia sendiri.

Kembali pada rendahnya rasa nasionalisme sebagai krisis yang menimpa kepemimpinan bangsa. Rasanya kini tak ada program sistematis untuk penanaman idealisme tersebut. Badan Pembina Ideologi Pancasila hanya gonjang ganjing pada soal gaji ratusan juta saja. Tidak pada kerja dan kinerja yang memang nyaris tak ada. Presiden dan jajarannya memberi contoh terbalik. Kedaulatan negara malah dipertaruhkan. Begitu erat hubungan dengan RRC baik melalui investasi maupun hutang luar negeri, telah memerosotkan nasionalisme tersebut. Aset negara yang tergadai atau terjual adalah bukti kebanggaan pada produk sendiri melemah. BUMN bukan membanggakan hasil, tapi disuruh jadi pedagang. Jual jual jual. Disi si lain impor impor impor. Rezim pedagang.

Pragmatisme memerosotkan Nasionalisme. Di kawasan industri ada jalan berbahasa mandarin. Lagu kebangsaan dimandarinkan. Yuan diwacanakan jadi nilai tukar perdagangan. Nama nama WNI keturunan dibolehkan pakai nama Cina kembali. Pecinan berdiri dimana mana. Sementara keturunan tidak suka disebut Bangsa Indonesia cukup dengan Warga Negara Indonesia. Program Komunis Cina adalah mengikat kaum diaspora. Dana RRC diterima dengan sukacita. Lalu bagaimana nasionalisme bisa dibangun ? Cinta NKRI dan Merah Putih lebih sebagai slogan ketimbang jiwa.
Penguasa harus mengubah kebijakan salah dan berbahaya seperti ini. Jika hendak dipercaya.

Jangan terus benturkan merah putih dengan tauhid. Jiwa tauhid akan membela merah putih. Jangan benturkan negara dengan agama. Tak ada untung pada benturan seperti ini. Rezim mesti mewaspadai bisikan adu domba yang merusak persatuan. Soal bendera tauhid tak perlu dipersoalkan. Ada gerakan diam-diam yang tak ada bendera tapi menghancurkan yaitu sekularis, kapitalis dan komunis. 
Kita harus bersatu mengalahkannya. Menghancurkannya !

*) Pemerhati Politik

21 Agustus 2019