By Asyari Usman

Kabarnya, saat ini sedang diproses pembuatan pasal-pasal tentang penghinaan presiden. Pasal-pasal itu telah dicantumkan ke dalam RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Sudah disepakati oleh DPR. Tinggal ketuk palu.

Kalau sudah diketuk, para terdakwa penghina bisa masuk penjara empat setengah tahun.

Presiden mungkin puas bisa memenjarakan orang yang menghina dia. Tapi salah kaprah. Kalau pasal penghinaan presiden disahkan. Rugilah rakyat. Rugi besar. Kenapa?

Karena beberapa hal. Pertama, seorang presiden pada dasarnya adalah orang yang hina. Dia mengemis kepada rakyat minta dipilih menjadi presiden. Sering pula dia terpaksa membeli suara. Hina sekali, bukan?

Kedua, presiden itu pejabat publik. Dia pasti sudah tahu risiko yang akan dihadapi. Presiden itu dipilih bukan untuk dipuji-puji. Dia didudukkan untuk dikritik. Dikritik tajam. Saking tajamnya terkadang tak beda dengan penghinaan.

Sebetulnya presiden tidak perlu tersinggung, atau merasa terhina. Sebab, dia sudah dimuliakan secara konstitusional. Dia menjadi kepala negara, dia menjadi panglima tertinggi, dan dia dibekali kekuasaan yang besar.

Dengan kekuasaannya itu, presiden dimuliakan di mana-mana. Dia juga banyak dipuji dan ditakuti. Para jenderal bintang empat selalu merunduk di depan dia. Singkatnya, kemuliaan yang paling masif untuk manusia, ada pada presiden.

Karena itu, sangat wajar kalau kemuliaan presiden itu diimbangi dengan penghinaan. Tentunya penghinaan yang memiliki dasar yang masuk akal. Supaya dia tidak menjadi angkuh. Tidak sombong.

Kalau si presiden memang hebat, visioner, adil, taat, tidak korupsi, maka hampir pasti tidak ada alasan untuk menghina dia. Tapi, kalau sebaliknya si presiden sok pintar, sok kuasa, tidak memihak rakyat, dan kerjanya menggadaikan kedaulatan negara, maka sangat wajarlah dia dihina baik disengaja apalagi tak disengaja. Karena dia memang hina.

Ketiga, presiden itu perlu dihina agar Indonesia ini bisa memiliki kepala negara yang tangguh, jujur, dan berkemampuan. Sehingga, di masa-masa selanjutnya otomatis akan muncul tokoh yang mendekati kesempurnaan. Yang tak mampu pasti tak berani muncul.

Keempat, presiden yang mulia itu tidak pernah merasa hina. Sebagai contoh, Gubernur DKI Anies Baswedan tidak pernah merasa tersinggung atau terhina di tengah hujan penghinaan terhadap dirinya. Anies malah merasa terhormat ketika dia dihina. Karena dia yakin dirinya tidak hina dan apa yang dia kerjakan sebagai gubernur juga tidak hina. Dia tidak punya beban keterhinaan.

Nah, orang seperti Anies ini, kalau dia menjadi presiden, tidak akan menuntut pembuatan pasal penghinaan presiden. Karena bagi dia, penghinaan akan dijadikan peluang untuk menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Anies tidak perlu dibantu dengan pasal-pasal penghinaan untuk meraih kemuliaan.

Karena itu, salah besar kalau kita berasumsi bahwa kemuliaan seorang presiden bisa diciptakan dengan pembuatan pasal-pasal penghinaan. Sangat keliru dan sangat feodalistik jika Anda berpendapat bahwa seorang presiden akan mengukir kemuliaan dengan memenjarakan para penghinanya.

Jadi, demi Indonesia yang lebih baik, yang harus dilarang adalah memuja-muji presiden. Bukan menghinanya.

Bukti sejarah menunjukkan bahwa rata-rata presiden terjerembab dalam kehinaan karena puja-puji. Sebaliknya, seorang presiden yang pantas dimuliakan akan tetap mulia meskipun dia setiap hari dia dihina-hina.***

5 September 2019