Oleh: Irwan, S
Sejak lama, saya mengamati persoalan antara PT Garuda Indonesia (BUMN) dengan Sriwijaya Air. Yang terdengar saat itu adalah bahwa Sriwijaya berhutang kepada Garuda Indonesia, yang muncul akibat biaya maintenance serta berbagai keperluan operasionalisasi.
Hutang yang berkisar di angka 2,1 triliun ini terbilang teramat besar.
Saat itu, sepengetahuan saya, Garuda memiliki beberapa opsi dikarenakan Sriwijaya tidak sanggup menyelesaikan beban bayarnya. Opsi tersebut adalah mempailitkan Sriwijaya Air yang berimplikasi kepada pemberhentian ribuan karyawan Sriwijaya, yang secara langsung dapat diasumsikan sebagai kemunculan ribuan pengangguran baru.
Opsi kedua adalah menyelamatkan Sriwijaya dengan melakukan pembenahan manajerial dalam tubuh Sriwijaya. Kemudian, Garuda memutuskan langkah kedua yang diambil. Hal ini senafas dengan ‘perintah’ Meneg BUMN Rini Soemarno, agar Garuda segera mengambil langkah taktis dalam persoalan Sriwijaya.
Untuk mengeksekusi lengkah tersebut, Garuda, atas kesepakatan dengan Sriwijaya, melakukan perombakan struktur manajemen dalam tubuh Sriwijaya. Garuda menempatkan tiga petingginya sebagai jajaran manajemen Sriwijaya. Untuk itu, sebagai konsekuensi logis juga mengcover beberapa biaya terkait operasionalisasi Sriwijaya sebagai upaya recovery.
Tetapi yang terjadi beberapa bulan kemudian adalah bahwa Sriwijaya secara sepihak memberhentikan ketiga personil Garuda yang duduk dalam struktur manajemen Sriwijaya, dan menggantikannya dengan pihak lain. Tindakan tersebut tentu saja melahirkan reaksi keras dari pihak Garuda. Apalagi, bukan itu saja, Sriwijaya juga mengadukan pihak Garuda, dalam hal ini jajaran direksinya ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dengan tuduhan melakukan praktik monopoli dengan menggunakan cara rangkap jabatan.
Mengingat beberapa perwakilan Garuda dalam manajemen Sriwijaya adalah juga merupakan manajemen Garuda.
Apa yang menjadi catatan penting dari peristiwa tersebut?
Saya melihat setidaknya ada tiga catatan penting yang layak untuk disampaikan kepada publik mengenai permasalahan ini, yaitu :
Pertama, bahwa langkah manajemen Garuda menyelamatkan Sriwijaya Air adalah langkah taktis yang perlu diambil untuk menyelamatkan uang negara dalam perkara piutang terhadap Sriwijaya yang nilainya cukup besar.
Kedua, bahwa langkah manajemen Garuda menyelamatkan Sriwijaya adalah langkah IDEOLOGIS untuk menjaga wajah dan marwah bisnis penerbangan nasional dimata internasional.
Ketiga, bahwa upaya Sriwijaya mengadukan Garuda ke KPPU adalah langkah berlebihan yang tidak memiliki signifikansi. Karena bagaimana sebuah perusahaan penerbangan negara nasional melakukan upaya dan atau praktik monopoli, mengingat Indonesia bukanlah negara sosialis-komunis yang memungkin perusahaan negara menganeksasi perusahaan swasta.
Melakukan tindakan monopoli tentulah bukan langkah yang kondusif bagi sektor bisnis swasta dan investasi. Dalam hal ini, KPPU seharusnya lebih arief dan tidak terlampau genit. Hal lain yang mungkin bisa menjadi catatan adalah bahwa apabila saat itu Sriwijaya dipailitkan kartena hutang yang membengkak, adalah ledakan pengangguran yang pastinya akan mengganggu konsolidasi politik menjelang pilpres.
Tentu hal itu amat biasa dan boleh saja dijadikan pertimbangan politis. Meneg BUMN juga teramat mungkin memberikan perintah itu kepada manajemen Garuda dalam kepentingan politik jangka pendek, tetapi manajemen Garuda telah melakukan tindakan yang menurut saya dapat dibenarkan, setidaknya dari tiga catatan diatas.
Garuda Indonesia adalah perusahaan negara dengan sejarah panjang. Apapun ceritanya, segala upaya untuk melemahkan Garuda harus dilawan. Karena bukan saja dapat membahayakan kepentingan nasional, tetapi juga beresiko dapat menjadi yurisprudensi bagi perusahaan swasta lain untuk ikut bersama melemahkan perusahaan negara.
Negara tidak boleh kalah dengan korporasi swasta bukan?
*Penulis adalah Rakyat Indonesia & Sekjen Rumah Indonesia Merdeka (RIM).