JAKARTASATU.COM — Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024.
Erick akan melanjutkan kepemimpinan Rini M. Soemarno, yang sejatinya meninggalkan banyak sekali permasalahan yang harus segera diatasi di Kementerian BUMN.
Kinerja Erick patut ditunggu, demi menepis semua keraguan publik terutama di kalangan BUMN akan kemampuannya mengelola ratusan perusahan plat merah tersebut.
Ketiadaan Wakil Menteri (Wamen) di Kementerian BUMN yang membawahi ratusan BUMN serta ribuan anak dan cucu perusahaannya, juga menjadi masalah tersendiri. Sebaiknya, berbagai persoalan di Kementerian BUMN tidak hanya di handle oleh seorang Menteri.
Dengan banyaknya pelaku bisnis yang harus dikelola Kementerian BUMN, maka opsi untuk mengangkat Wamen bisa menjadi solusi untuk membantu Menteri BUMN terutama yang berasal dari internal BUMN. Hal ini juga akan membantu Erick untuk memahami seluk beluk BUMN secara lebih mendetail.
Namun, jika beberapa masalah besar di bawah ini bisa diatasi oleh Erick dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin, posisi Menteri BUMN yang diberikan kepada Erick, merupakan pilihan yang sangat tepat.
Lalu, apa saja pekerjaan besar dari sekelumit masalah di tubuh BUMN yang kini menanti sentuhan Erick Thohir? Berikut ulasan Aspek.id sebagaimana dirangkum dari berbagai sumber.
1. PLN
Gangguan transmisi milik PLN yang menyebabkan pemadaman listrik hampir 30 jam di sebagian Pulau Jawa termasuk di DKI Jakarta, terjadi pada Minggu (4/8/2019) lalu. Hal ini memperburuk citra PLN serta BUMN tentunya.
Apalagi, pemadaman listrik di seluruh wilayah Indonesia juga menjadi warisan turun temurun perusahaan ini dari masa ke masa. Terlebih, PLN saat ini telah dipimpin oleh tiga orang Plt Dirut, bukan pejabat definitif sehingga kenyataan tersebut dinilai sebagai salah satu faktor betapa sulitnya memajukan PLN.
Saat ini publik juga bertanya-tanya tentang komitmen dan keseriusan Kementerian BUMN dalam menangani PLN, apalagi persoalan listik merupakan persoalan seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, meski berhasil mencetak laba sebesar Rp 7,35 triliun pada semester pertama di tahun 2019 namun PLN terus saja menerima suntikan modal dari pemerintah. Penyertaan Modal Negara (PMN) APBN 2020, PLN mendapatkan dana paling besar, yakni Rp 17,73 triliun. Polesan laporan keuangan juga menghantui perusahaan setrum negara ini.
2. Krakatau Steel
Perusahaan baja ini terus mengalami kerugian menahun akibat tak mampu bersaing dengan baja impor. Selain itu juga berkembang isu yang menyebutkan bahwa Krakatau Steel berencana melakukan pemangkasan tenaga kerja.
Meski baru saja beroperasi blast furnace baru, namun ternyata desain yang dipakai sudah tidak tepat dan waktu pembangunan molor dengan biaya membengkak sehingga malah menjadi beban tambahan setelah pabrik kerjasamanya dengan Posco Korea ternyata terus merugi.
3. Garuda Indonesia
Masalah laporan keuangan maskapai penerbangan nasional tahun buku 2018 berawal dari penolakan dua komisarisnya untuk menandatangani laporan tersebut.
Kontroversi itu selanjutnya berakhir dengan sanksi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) terhadap Garuda Indonesia.
Setelah diharuskan membayar denda, saham GIAA tampil mengenaskan, tumbang dan mendarat di jajaran top loser pada perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Meski saat ini saham Garuda sudah kembali naik lagi pada posisi seharusnya sesuai kinerja keuangan 2019, namun bagaimanapun juga kejadian tersebut tentu merusak citra Garuda di mata keuangan internasional.
Harga tiket yang melambung tinggi juga menjadi sorotan publik terhadap Garuda. Selain itu, kasus rangkap jabatan yang menyeret nama CEO Garuda dan konflik dengan Sriwijaya Air juga semakin membuat nama maskapai ini jadi bahan perbincangan.
4. Jiwasraya
BUMN sektor keuangan ini masih terus menghadapi masalah keuangan karena perusahaan tak mampu membayar premi hingga Rp 802 miliar.
Tunggakan premi itu berasal dari produk saving plan yang dikeluarkan perusahaan pada 2013. Sayangnya ada permasalahan dari penempatan dana produk tersebut di portofolio investasi.
Manajemen juga mengakui salah satu penyebab masalah macetnya pembayaran premi produk asuransi tersebut adalah penurunan nilai portofolio sebesar 75%. Sementara sekitar 80% dari dana itu ditempatkan di pasar saham dan reksadana.
5. Indofarma
PT Indofarma Tbk (INAF) juga terus mengalami kerugian dalam beberapa tahun terakhir. Kementerian BUMN saat ini sedang menyiapkan induk usaha atau holding BUMN Farmasi. PT Bio Farma dipersiapkan sebagai induk usaha yang akan membawahi PT Indofarma, PT Kimia Farma dan PT Pharos.
Meskipun holding sudah terbentuk, tanpa transformasi bisnis yang mengedepankan efisiensi produksi, distribusi dan inventori disamping masuk pada bisnis kesehatan baru terutama layanan terpadu klinik (termasuk klinik perawatan) & apotik di komplek perkantoran/plaza, maka permasalahan itu tak bisa diselesaikan.
6. Pertamina
PT Pertamina juga dirundung masalah ketika Blok ONWJ yang dikelolanya mengalami kebocoran gas dan minyak sejak Juli 2019 lalu. Kebocoran tersebut telah mencemarkan Laut Jawa dan pesisir Karawang, Jawa Barat.
Saat ini stok BBM nasional juga sedang dalam kondisi kritis dan tidak ideal, jauh dibawah angka minimal yang dipersyaratkan. Akibatnya, di beberapa daerah terjadi antrian BBM di SPBU serta pasar BBM Industri yang direbut pesaing.
Pertamina juga harus menanggung kerugian akibat kontrak jangka panjang pembelian LNG dari Corpus Cristie (AS) dan Woodside (Australia) dengan harga saat itu dan harus dijual lagi di pasar internasional dengan harga lebih rendah. Pembangunan kilang yang tak kunjung selesai serta laporan keuangan yang dipoles, semakin memberatkan Pertamina.
Teranyar, pipa BBM di samping jalur tol Padalarang KM 130 terbakar pada Selasa (22/10) kemarin. Saat ini penyaluran melalui pipa sementara dihentikan dan Pertamina masih melakukan proses penanggulangan dan investigasi bersama pihak terkait.
7. Bank Mandiri
Bank Mandiri turut mengalami masalah dengan erornya sistem teknologi informasi. Akibatnya saldo ribuan nasabah sempat mengalami perubahan drastis.
Meskipun nasabah mendapatkan kepastian dalam hal jaminan uang simpanannya, namun sebagai salah satu perusahaan besar di bidang perbankan, persoalan security menjadi kewajiban utama yang harus diperhatikan untuk menjamin simpanan nasabah.
8. PTPN
PTPN sudah menjadi holding perkebunan dengan induk holding, PTPN III. Kesalahan manajemen sebelumnya menyebabkan kondisi PTPN banyak yang rugi (hanya 3 dari 14 perusahaan yang untung) serta menanggung hutang besar yang tidak lagi mampu dibayar.
Bahkan, PTPN diketahui sudah mengirimkan surat resmi ke Kejaksaan Agung untuk meminta Legal Opinion atas rencana pembayaran hutang kepada pihak ketiga melalui beberapa opsi baik pengalihan menjadi saham maupun pemindah-tanganan aset. Ditambah lagi penangkapan Dirut PTPN oleh KPK, menjadi beban tambahan bagi PTPN.
9. Korupsi di BUMN
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat tidak henti-hentinya menjaring para ‘pejabat nakal’ di kalangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terlibat praktik rasuah.
Sejumlah petinggi hingga direktur utama sejumlah BUMN silih berganti diciduk oleh KPK. Sebut saja, Direksi Pelindo II, PT PAL, Jasindo, Angkasa Pura II dan masih banyak lagi. Kemudian yang terbaru, Direksi PTPN III, Perum Perindo dan PT Inti juga harus berurusan dengan KPK.
Berbagai Direksi BUMN yang banyak diisi oleh talent dari perbankan nasional (Himbara) serta sebagian dari Telkom, ternyata banyak yang gagal untuk membawa BUMN ke arah yang lebih maju.
Disamping itu, penilaian kinerja oleh Kementerian BUMN yang berbasis pencapaian singkat tanpa melihat aspek sustainability perusahaan, menjadikan banyak Direksi BUMN yang mengambil jalan pintas meski beresiko besar dan panjang, termasuk melakukan financial engineering bahkan bila perlu windows dressing.
Lantas, sanggupkah Erick Thohir membawa perubahan dari segelintir masalah yang sedang membelit BUMN seperti beberapa contoh kasus diatas? Semoga!
Pelindo II
Langkah manajemen Pelindo II yang tidak menyelesaikan program lama dan dibiarkannya hingga saat ini seperti penyelesaian proyek Kalibaru antara PTPP dan Pelindo II yang sudah mundur lebih dari 2 tahun, polemik perpanjangan kerjasama Pelindo II dan Hutchinson dalam pengoperasian terminal JICT dan Koja ya g menghasilkan laporan audit BPK dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp 14.6 T. Apalagi temuan BPK tersebut secara resmi sudah diserahkan ke DPR dan sudah ada Pansusnya.
Pelaksanaan investasi pembangunan pelabuhan baru yang menjadi dasar penerbitan Global Bond sebesar USD 1,5 milyar dollar serta pengembangan fasilitas yang ada yang tidak ditindaklanjuti oleh manajemen. Semua itu terkesan dibiarkan oleh manajemen. Bagaimana membayar hutang global Bond tersebut bila manajemen hanya menempatkan pada investasi portfolio saja sehingga jelas menimbulkan kerugian bunga.
Disamping itu, masalah korupsi di Pelindo 2 dengan tersangka RJ Lino, saat ini sedang dilanjutkan penyidikannya oleh KPK. Bukan tidak mungkin akan meluas kepada hasil temuan BPK terkait hal-hal tersebut diatas. |RED/JKST-NAS