OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Sidang paripurna DPRD DKI untuk memilih wakil gubernur gagal. Rumornya, transaksi panggung belakang tak mencapai kata sepakat. PKS tak bersedia menyiapkan logistik dan biaya komunikasi.
DPRD lama pensiun, DPRD baru dilantik. Belum juga ada paripurna untuk memilih wagub. Nasib dua calon PKS, yaitu Ahmad Saekhu dan Agung Yulianto jadi tak menentu. Ada sejumlah partai yang kabarnya menolak wagub dari PKS. Termasuk Gerindra?
Semula Gerindra menyerahkan jatah Wagub kepada PKS. Namun sekarang, nampaknya ada tanda-tanda perubahan. Terkatung-katungnya nasib dua calon dari PKS menggoda Gerindra untuk berpikir ulang. Kalau calon PKS tak jelas ujungnya, kenapa tidak dari Gerindra saja? Begitulah kira-kira jalan pikiran Gerindra. Alih-alih membantu PKS agar calonnya lolos jadi Wagub DKI, Gerindra kabarnya justru menyiapkan calon lain.
Nama-nama yang akan diusulkan Gerindra sempat bocor. Info yang beredar ada empat orang. Ada dari unsur kader partai, birokrat dan pengusaha. Nama-nama itupun kabarnya sudah pernah diajukan dan dibawa ke pimpinan PKS. Rumor yang beredar bahwa diantara mereka ada yang bersedia membayar PKS dengan harga tinggi. Wow. PKS dengan tegas menolak. Begitulah desas desus yang beredar. PKS tak mau ada transaksional soal Wagub DKI.
Sudah diserahin ke PKS, kenapa sibuk mengusulkan calon? Bawa uang lagi. Begitulah kira-kira yang membuat PKS kesel. “Emang kami partai apaan?” Hehe mirip seperti si bujang bicara: “emang gue cowok apaan?”
Tweet Mardani Ali Sera yang menyinggung ucapan Sandiaga Uno membuka banyak pertanyaan dari publik. Ada apa dengan Sandiaga Uno Pak Mardani?
Tapi sebaliknya, jika sampai PKS terindikasi mau bertransaksi dan menerima dana “sogokan” dari para calon wagub, maka kelar! PKS akan dibully dan jadi obyek cacian publik. Pilihan oposisi dan upaya menjauhkan partai dari berbagai “sogokan” selama ini seketika akan lenyap disapu badai.
Apakah PKS bisa melewati ujian ini? Mestinya bisa! Track record kepengurusan PKS di bawah Sohibul Iman sebagai presiden dan Habib Salim Al-Jufri sebagai ketua Dewan Suro ini dikenal mampu membawa partai dakwah ini clear and clean. Bebas korupsi dan jauh dari gratifikasi.
PKS sadar, bahwa pilkada DKI adalah hasil jerih payah dari keringat umat. Dari keringat para relawan. Tak patut untuk dirupiahkan dengan uang.
kesadaran inilah yang membuat sejumlah kader PKS heran, mengapa selalu ada pihak-pihak yang terus mendorong PKS untuk menjual belikan posisi wagub DKI? Mengapa harus melibatkan transaksi keuangan untuk memilih calon wakil gubernur?
Dilihat dari etika politik, mestinya Gerindra, khususnya Prabowo konsisten. PKS dukung Prabowo-Sandi di pilpres 2019, maka jatah Wagub DKI untuk PKS. Adil dan Proporsional. Deal! Itulah yang konon katanya sudah jadi ikatan perjanjian antara Gerindra dengan PKS. Benarkah? Kalau benar, kenapa harus dikocok ulang?
Sebab, calon PKS gak diterima partai lain. Oh ya? Bantu PKS dong bagaimana supaya diterima. Begitu desak kader PKS. Kalau kader PKS tetap gak diterima, solusi idealnya PKS cari calon alternatif. Dan Adhyaksa Dault, mantan Menpora itu sempat muncul namanya. Apakah Gerindra menerima? Ini yang sedang ditunggu beritanya oleh publik.
Memberi otoritas kepada PKS untuk menentukan siapa yang akan menjadi wagub adalah wajar mengingat PKS telah mengalah dari Gerindra di Pilgub Jabar, Jateng dan pilpres 2019.
Secara moral, gak penting siapa yang akan jadi Wagub DKI mendampingi Anies Rasyid Baswedan untuk tiga tahun kedepan. Asal punya integritas, kapasitas dan bisa kerja bareng dengan gubernur.
Yang tak kalah untuk diperhatikan, setiap elit partai harus pegang komitmen. Ini menyangkut kapasitas moral. Publik figur itu teladan bagi rakyat. Mesti memberi contoh yang baik. Ucapannya harus bisa dipegang. Tokoh seperti ini yang dibutuhkan rakyat. Bukan mencla mencle. Pagi kedelai sore tahu. Payah!
Karena itu, jangan pernah jual belikan keringat rakyat dalam pemilihan wagub DKI. Itu penghianatan yang menyakitkan hati dan mengganggu pikiran rakyat. Rakyat memilih gubernur dan wagub saat itu karena faktor idealisme. Karena ingin ada perubahan di Jakarta. Jakarta yang lebih ramah. Jakarta yang maju kotanya dan bahagia warganya, sebagaimana yang diikhtiarkan Anies, tokoh yang diberi julukan “Gubernur Indonesia”. Malah ada juga yang memanggil “Gubbener”.
Pemilihan wagub DKI mesti steril dari segala bentuk transaksional dan pragmatisme finansial. Ini tidak saja marwah gubernur dan kota Jakarta yang dipertaruhkan, tapi juga nama baik pimpinan dan elektabilitas partai.
Apapun situasinya, wagub DKI mesti segera terisi agar rakyat mendapat pelayanan yang semestinya. Kekosongan kursi wagub itu bagian dari bentuk kezaliman nyata terhadap rakyat. Jangan diulur-ulur supaya warga Jakarta mendapat pelayanan yang lebih maksimal.
Jakarta, 9/11/2019