by Tarmidzi Yusuf

Menurut Undang-Undang No 10/2016. Pilkada serentak dilakukan pada 2015, 2017, dan 2018. Kemudian akan dilakukan lagi pada 2020 sebagai lanjutan Pilkada 2015, 2022 lanjutan Pilkada 2017, dan 2023 lanjutan Pilkada 2018.

Pada Pilkada 2024, akan diikuti seluruh daerah yang melakukan Pilkada pada 2020, 2022, dan 2023. Konsekuensinya, pemenang Pilkada 2020 hanya akan menjabat selama empat tahun. Sementara untuk Pilkada 2022, dan 2023 akan dipilih pejabat kepala daerah (jika jadi) untuk mengisi kekosongan, sambil menunggu Pilkada 2024.

Hal ini merujuk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas UU nomor 1/2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pilgub DKI Jakarta akan digelar pada 2022. Merujuk pada UU No 10/2016 ada kemungkinan Pilgub DKI Jakarta tahun 2022 ditiadakan. Akan digelar serentak pada tahun 2024 berbarengan dengan Pilpres. Artinya, selama 2 tahun hingga 2024 DKI Jakarta akan dijabat oleh Pejabat Gubernur.

Bila 2022 Pilgub DKI ditiadakan, kecil kemungkinan Anies Baswedan akan ditunjuk sebagai Pejabat Gubernur. Apalagi Anies dianggap berseberangan dengan kelompok politik tertentu dan kepentingan para pengusaha yang merasa dirugikan akibat kebijakan ditutupnya reklamasi dan Alexis.

Disamping itu, Anies Baswedan merupakan calon kuat Presiden 2024 – 2029. Setidaknya dengan tidak digelarnya Pilgub 2022, Anies akan kehilangan “panggung politik” menjelang 2024. Keuntungan bagi lawan politik yang akan bertarung di 2024. Apalagi rumornya, 2 partai besar akan “berduet” di Pilpres 2024.

Prestasi dan kebijakan Anies yang sangat pro rakyat akan “ditenggelamkan” oleh pembenci Anies sebagai bagian dari framing. Jadi Gubernur saja Anies tak henti-hentinya dibully apalagi sudah tidak menjabat Gubernur. Akan dicari “celah” menenggelamkan Anies pada 2022 dan 2024.

Apakah merebaknya isu pemerintah akan mengevaluasi Pilkada ada hubungannya dengan penundaan Pilkada 2022 atau Pilkada kembali ke rezim orde baru. Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih DPRD. Atau hanya Gubernur saja yang dipilih melalui DPRD.

Terlalu besar risiko dan biaya politik bila Pemilu 2024 betul-betul disatukan. KPU belum tentu siap. Kasus 2019 bisa menjadi contoh. Kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif. Tetapi ruang pembuktian “dijegal” sendiri oleh UU Pemilu. Sulit bahkan tidak masuk akal TSM bisa dibuktikan. Apalagi calon bisa didiskualifikasi.

Mungkinkah melaksanakan hajat besar ditengah “tercederainya” pelaksanaan Pemilu serentak 2019, Pileg dan Pilpres. Sedangkan tahun 2024 Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan.

Pada 2019 ratusan nyawa petugas KPPS melayang. Tidak jelas akibat, masalah dan solusinya. Sementara pada tahun 2024 lebih dahsyat lagi. Tiga agenda pemilu disatukan (Pileg, Pilpres dan Pilkada). Mungkinkah korban jiwa lebih banyak lagi. Potensi konflik sosial dan money politic lebih besar. Bangsa akan terpecah belah.

Semoga bukan upaya “menjegal” majunya Anies Baswedan pada 2022 untuk periode kedua. Dan menepis isu penunjukan pejabat gubernur untuk kepentingan orang tertentu di 2024.

Bandung, 21 Rabiul Awwal 1441/19 November 2019