Erick Thohir menteri BUMN/ist

PT Asuransi Jiwasraya adalah Badan Usaha Milik Negara kesandung menjual produk Saving Plan BUMN asuransi. Diketahui bahwa Jiwaraya sebelumnya gagal membayar klaim produk Saving Plan. Produk ini disalurkan melalui saluran distribusi bancassurance dengan sejumlah bank mitra, antara lain BRI, BTN, PT Bank ANZ Indonesia, PT Bank QNB Indonesia Tbk, PT Bank KEB Hana, PT Bank Victoria Tbk, dan PT Bank Standard Chartered Indonesia. Berdasarkan dokumen RDP Jiwasraya sebelumnya, Jiwasraya melakukan kesalahan dalam pembentukan harga produk tersebut dan lalai dalam berinvestasi. Produk ini ditawarkan dengan imbal hasil  pasti sebesar 9% hingga 13% sejak 2013 hingga 2018, dengan periode pencairan setiap tahun.

Dokumen itu juga menyebut, terdapat 17.393 polis Saving Plan yang jatuh tempo pada 1 Oktober 2018 hingga 30 September 2019. Nilai portofolio itu mencapai Rp 17,12 triliun, mencakup utang pokok sebesar Rp 16,07 triliun dan bunga Rp 1,05 triliun. Dari jumlah tersebut sebanyak 5.914 polis senilai Rp 5,88 triliun sudah diperpanjang, sedangkan sisanya 11.489 polis senilai Rp 9,87 triliun tidak di perpanjang. Jiwasraya juga memiliki portofolio jatuh tempo pada Oktober hingga Desember 2019 sebanyak 377 polis senilai Rp 380 miliar, demikian dilansir Katadata.

Korban-korban yang berjatuhan akibat kasus gagal bayar polis asuransi Jiwasraya terus berjatuhan. Konon jika tak tertangani dengan baik, kasus ini bisa menggoyang industri asuransi Indonesia dan menjadi catatan buruk bagi pemerintahan Jokowi. Pasalnya kasus ini bisa menjadi kasus gagal bayar polis terbesar dalam sejarah di Indonesia.
Bahkan korbannya tak hanya warga Indonesia semata.

Terkuak dari hasil Rapat Dengar Pendapat yang digelar secara tertutup di Komisi XI DPR pada (7/11) pekan lalu, bobroknya kondisi keuangan asuransi pelat merah ini. Bukan main, seluruh indikator keuangan perusahaan berwarna merah.

Jika jumlah aset Jiwasraya pada kurtal III/2019 hanya Rp25,6 triliun, sementara utangnya Rp49,6 triliun. Itu artinya, total ekuitas atau selisih aset dan kewajiban Jiwasraya minus 23,92 triliun. Jadi bisnis perusahaan ini tak bisa lagi menopang kerugian yang menyentuh angka Rp13,74 triliun per September 2019 lalu. Sebab semua premi yang dikumpulkan Jiwasaraya tergerus habis-habisan untuk pembayaran bunga jatuh tempo serta pokok polis nasabah yang tidak melakukan rollover.

Salah satu korban dari warga negara asing yang mencuat saat ini adalah yang menimpa Presiden Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Korea Selatan di Indonesia yang sekaligus bos atau VP Samsung Indonesia, Lee Kang Hyun.

Telah menjadi nasabah Jiwasraya sejak 2017, Lee mengeluh dananya macet di sana hingga mencapai Rp 8,2 Miliar.

“Semuanya total Rp 16 miliar. Yang Rp 8 miliar sudah dicairkan, nah yang Rp 8,2 miliar masih di Jiwasraya,” ujar Lee sebelum melakukan audiensi dengan Komisi VI, (4/12/2019) kemarin.

Bahkan menurut Lee, jika ditotal dana dirinya beserta 473 warga negara Korea Selatan lainnya yang juga menjadi korban dari kasus ini mencapai Rp 502 miliar.

Lee mengisahkan, awalnya dirinya dan warga negara Korea Selatan lainnya, ditawari oleh pihak KEB Hana Bank produk bancassurance Jiwasraya sebagai produk deposito.

Menurut Lee, awalnya mereka mengaku tak khawatir ketika Jiwasraya mengungkapkan gagal bayar polis pada 6 Oktober 2018 lalu. Pasalnyamereka merasa mungkin gagal bayar tersebut akan segera dibayarkan karena Jiwasraya merupakan perusahaan pelat merah.

Tak disangka hingga satu tahun berlalu ternyata pembayaran polis dan pokok Jiwasraya masih belum ada kabar beritanya. Bahkan, Lee mengaku telah mengunjungi Kementerian BUMN maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanpa hasil yang jelas.

Belum beres kasus Jiwasraya kini muncul kasus Garuda. Dimana terbongkarnya paket onderdil Harley Davidson dan sepeda Prompton ilegal yang dibawa bersama kedatangan pesawat Airbus baru milik Garuda, kini ini  berbuntut panjang.

Erick Thohir  telah menyatakan akan mencopot direksi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk jika terbukti menyelundupkan komponen Harley Davidson bekas dan sepeda Brompton tersebut. Erick juga mengingatkan, agar direksi mundur sebelum ketahuan.

“Yang lebih baik sebelum ketahuan mengundurkan diri, kita kaya samurai Jepang juga,” kata Erick di Pacific Place, Jakarta Selatan, Rabu (4/12/2019).

Meski enggan berkomentar lebih jauh terkait masuknya barang-barang tersebut, ia terus menunggu proses penyelidikan yang dilakukan Bea dan Cukai.

“Kita lihat proses daripada yang sekarang ini, ya kita tunggu saja, saya rasa Bu Sri Mulyani sudah menginstruksikan Kepala Bea Cukai melihat transparan mungkin dan beliau akan turun langsung,” jelas Erick.

Dugaan atas keterlibatan salah seorang direksi Garuda ini menguak, pasalnya memang ada salah satu direksi di dalam Airbus yang datang bersama paket yang disinyalir ilegal tersebut.

“Di dalam (pesawat) ada. Ada pokoknya direksi yang hadir,” ungkap Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia M Ikhsan Rosan di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (3/12/2019) kemarin.

Namun, terkait kepemilikan onderdil Harley Davidson dan sepeda Brompton yang ada, Ikhsan membantah jika itu semua milik bos-bos Garuda.

“Bukan direksi (yang punya barang). Dia itu petugas yang memang menjemput pesawat dari sana. Jadi dia petugas yang on-board di dalam pesawat,” akunya.

Inilah yang mungkin membuat pusing Erick Thohir yang kini menjadi orang nomor 1 di BUMN. Kita tahu juga bahwa belum lama ini Erick sudah menempatkan Basuki jadi Komisaris Utama Pertamina atas saran Presiden. Sepak terjang Erick ini seperti lagi asyik-asyik dan makin bermunculan.

Semoga saja tidak ada karyawan yang dikorbankan untuk keselamatan bos atau sebaliknya bos yang dirugikan oleh ulah karyawannya. Jika hal ini dibiarkan dan pemerintah diam tidak turun tangan dengan benar, kasus Jiwasraya ini bisa menjadi duri bagi Menteri BUMN Erick Tohir dan mencoreng citra Erick yang katanya paling hebat dalam sejumlah penanganan pesta olah raga. Dan bahkan pemerintahan Jokowi pun bisa jadi terbawa, sebab kenapa begitru banyak muncul sejumlah kasus. Apalagi melibatkan warga asing yang jadi korba untuk kasus Jiwasraya. Nah, lantas bagaimana kita lihat saja!

-AENDRA MEDITA