JAKARTASATU.COM – Rabu (11/12/20) malam itu, saya menyaksikan pembukaan Pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat.
Saya tak kenal nama Sanento Yuliman (1941-1992), namun bagi jagat seni namanya sangat penting di Indonesia. Saya sebeanrnya hanya kenal lewat kisah dan cerita tentang Sanento, sejumlah kurator selalu berkisah tentang siapa Sanento Yuliman. Namanya Sanento memang salah satu kritikus yang tidak bisa dipungkiri benar-benar harus dicatat dan diperhitungkan dalam dunia seni dan budaya Indonesia.
Dan malam itu saya membaca, jejak-jejaknya yang menakjubkan. Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992), adalah hasil gawe Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Pameran ini bisa disaksikan sampai 15 Januari 2020. Yuk kita saksikan perjalanan Sanento.
Pembukaan pameran ini diawali pembacaan puisi karya Sanento Yuliman berjudul Laut oleh Rebeca Kezia diiringi musik Sri Hanuraga. Pembacaan puisi karya Sanento menjadi kurang tercerna karena akustik dan soundsystem yang buruk, demikian kata Goenawan Mohammad dalam pembukaannya. Ya memang ruang dan tata suara tak begitu bagus, tapi yang begitulah keadaannya, dan Puisi Laut yang penuh nilai pun tengelam bersama riuhnya para tamu undangan yang saling bicara asyik dengan sesama tama lainnya.
Kurator Pameran Hendro Wiyanto dan Danuh Tyas Pradipta (Putra dari Sanento) telah memilih sejumlah data arsip yang konperhensif, artinya bahwa Sanento dalam ruang lingkup dan isi karya terpetakan dan arsip-arsip 1941-1992 yang akhirnya bicara banyak.
Karya Sanento lebih lengkap sajian yang khusus dalam kotak-kotak kaca tersusun. Bahkan naskah tulisan dan kliping yang disajikan memberikan ruang jelajah saat melihatnya kita makin kuat bahwa Sanento adalah pemikir yang ulung yang kritis, ini terlihat dari jejeak karyanya.
Misalnya ada surat menyurat untuk S. Sudjojono, sejumlah sketsa, mesin ketik sebagai senjata bagi penulis dipamerkan dan jadi saksi yang kuat.
Dalam pameran juga menerbitkan buku trilogi kumpulan kritik seni rupa, Tiga buku itu merupakan rangkaian produksi pengetahuan Seri Wacana Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. “Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa Oei Sian Yok (1956-1961), Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-2019) Bambang Bujono, dan Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992) Sanento Yuliman.
’’Seni membutuhkan sesuatu di luar dirinya sebagai zona refleksi, konfirmasi, dan koneksi dengan dunia yang lebih luas. Di sini, kritik seni diperlukan dan Sanento memiliki semua itu,’’ demikian Danton Sihombing Plt. Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang punya perhelatan ini.
Danton juga menyebut bahwa pentingnya kritik dan pemikiran dalam dunia seni, salah satu pandangan Sanento Yuliman selaku kritikus dan pemikir seni rupa di Indonesia adalah pendapatnya bahwa seni rupa modern di negeri ini merupakan proses transaksi serupa tukar menukar kebudayaan akibat pengaruh Barat di masa kolonial dan kesadaran kaum intelektual dalam mengadopsi tata cara hidup modern.
Goenawan Mohamad yang membuka pameran ini menyebut Sanento sebagai seorang penulis yang memiliki pemikiran filosofis. ’’Saya mengenal Sanento sekitar tahun 68 sepulang dari Eropa dan saat itu saya tahu tulisannya saya di Jakarta dan Sanento di Bandung,’’ katanya diatas panggung saat membuka pameran ini.
“Sanento dalah salah satu orang yang tertarik dengan ide bahwa seni tak harus terkungkung pada batasan-batasan seni tinggi dan berseberangan dengan seni terapan. Ia adalah orang yang percaya pada pentingnya keterampilan mencipta karya dan mempresentasikannya, bukan sekadar ahli dalam konsep,” jelasnya.
Melihat pameran “Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992) itulah sejarah kuat catatan penting milik bangsa ini yang sangat kuat. Jadi tak ada salahnya belajar banyak padamu Sanento dima ilmumu luhur dan kami takjim pada catatanmu yang tak akan dilupakan… | Aendra Medita