Shaori Ito / foto gettyimages

Pengadilan Jepang menghukum seorang wartawan TV terkenal dan berpengaruh di Jepang untuk membayar ganti rugi 3,3 juta yen (sekitar Rp421 juta) kepada wartawati yang menuduh telah memperkosanya.

Shiori Ito menuduh sang wartawan Noriyuki Yamaguchi telah memerkosanya di tahun 2015 saat ia sedang tidak sadarkan diri.

Pihak kejaksaan menyatakan tak cukup bukti untuk menjadikan kasus ini kasus kriminal, maka Shiori Ito menggugat secara perdata.

Shiori Ito selama ini menjadi simbol bagi gerakan #MeToo di Jepang di mana perempuan jarang sekali melaporkan pelecehan dan serangan seksual.

“Saya sangat bahagia,” kata Shiori Ito, 30 tahun, seraya memegang poster bertuliskan “kemenangan” sesudah putusan diumumkan.

Namun dalam jumpa pers beberapa jam kemudian, Yamaguchi menyatakan akan naik banding, dan ia membantah tuduhan melakukan pemerkosaan.

Menurut Shaori Ito, Yamaguchi, 53 tahun, – yang punya hubungan dekat dengan Perdana Menteri Shinzo Abe – mengundangnya makan malam untuk mendiskusikan kesempatan kerja di suatu malam di tahun 2015.

Ito merasa ia diberi obat bius dan, dan menyatakan, saat terbangun ia berada “di dalam kamar hotel, dan Yamaguchi berada di atasnya”.

Ito sedang magang di kantor berita Reuters ketika pemerkosaan yang dituduhkan itu terjadi.

Ketika itu Yamaguchi adalah kepada biro Washington untuk Tokyo Broadcasting System, sebuah firma media besar di Jepang.

Penyelidikan sempat dilakukan, tetapi kemudian ditutup oleh polisi dengan alasan bukti yang tak mencukupi.

Ito menyatakan polisi memaksanya untuk memeragakan ulang tuduhan perkosaan dengan menggunakan boneka sebesar manusia, sementara polisi-polisi pria mengamati.

Menurut survei yang dilakukan pemerintah Jepang di tahun 2017, hanya 4% dari korban pemerkosaan di Jepang melaporkan kasusnya ke kepolisian.

Pengakuan Shiori Ito

Sebagai bagian dari penyelidikan, aku diminta datang ke kantor polisi yang ada di samping hotel tempat peristiwa terjadi.

Ketika datang, aku ditemani sahabatku untuk dapat dukungan moral. Lalu aku dibawa di sebuah gimnasium di lantai atas kantor polisi, dan kuminta sahabatku menemani.

Polisi menolak. Aku dibawa ke gim, dan mereka menyuruhku berbaring di kasur. Kemudian sebuah manekin sebesar manusia asli dibawa, dan tiga polisi pria menindihkan manekin itu ke atas tubuhku. Lalu mereka bertanya soal-soal yang sangat intim sembari mengambil foto.

Kata mereka, itu bagian sangat penting dari proses penyelidikan.

Pada saat itulah aku harus mengubah pikiranku, dari saksi-pelapor menjadi jurnalis.

Satu-satunya cara untukku agar bisa meneruskan proses adalah mengurung perasaanku.

Aku harus memperlakukan proses ini bagaikan sedang mengerjakan liputan: Aku jadi jurnalis yang sedang mencari kebenaran: acuh dan tidak memihak.

Sampai kini, aku masih melihatnya seperti itu.

Ito kemudian mengajukan gugatan perdata kepada Yamaguchi meminta ganti kerugian sebesar 11 juta yen (sekitar Rp1,4 milyar).

Yamaguchi membantah tuduhan ini dan menyatakan hubungan seks yang terjadi berdasarkan suka sama suka. Ia mengajukan gugatan balik menuntut ganti rugi sebesar 130 juta yen (Rp16,6 milyar) tetapi gugatan ini ditolak oleh pengadilan.

Ia kini harus membayar ganti rugi kepada Shiori Ito, tetapi ia akan tetap bersih dari tuduhan melakukan perbuatan kriminal.

Di bawah undang-undang pemerkosaan di Jepang, jaksa harus menyediakan bukti adanya kekerasan atau intimidasi dalam kasus pemerkosaan. Atau mereka juga harus membuktikan bahwa korban “tak mampu melawan”.

Perkosaan di Jepang

Pemerkosaan masih dianggap sebagai tabu oleh masyarakat Jepang.

Korban pemerkosaan kerap disembunyikan. Kata “pemerkosaan” sering diperhalus dengan istilah “dikelabui” (ketika korbannya anak-anak), atau “dilanggar” saat kasus pemerkosaan diberitakan.

Pemerkosaan adalah sesuatu yang tak tampak di permukaan di masyarakat Jepang.

Tahun 2015 ketika Ito melaporkan kasusnya, hanya ada satu orang petugas di pusat krisis pemerkosaan di Tokyo, yang buka 24 jam untuk kota dengan penduduk 13 juta orang.

Sebelum 2018, undang-undang mereka terkait perkosaan sudah berusia 110 tahun, dan baru saja diubah.

Dahulu hukuman untuk pemerkosaan adalah tiga tahun penjara, lebih rendah ketimbang hukuman untuk perampokan. UU yang baru kini menjatuhkan hukuman lima tahun penjara untuk pemerkosa.

Usia minimum yang dianggap mampu untuk memberikan persetujuan terhadap hubungan seks di Jepang adalah 13 tahun.

Di dunia media di Jepang, ketimpangan gender sangat jelas. Tidak ada satu pun perempuan di dewan redaksi jaringan stasiun TV yang berkantor di Tokyo.

Ini tercermin dalam fakta bahwa Jepang menempati peringkat 114 dalam angka kesetaraan gender global yang dikeluarkan oleh World Economic Forum di tahun 2017. |BBC/ATA