by M Rizal Fadillah

by M Rizal Fadillah

Ini memasuki hari hari menyedihkan bahkan mengerikan. Bagaimana agama Islam yang dianut mayoritas rakyat Indonesia menjadi kehilangan marwah dan wibawanya. Terombang ambing oleh permainan dunia yang harganya murah. Tidak sedang ditekan atau dijajah. Kepentingan segelintir tokoh, ulama, pemimpin yang gila predikat atau mungkin uang. Agar disebut toleran, moderat, atau tidak radikal, meski hakekatnya ini adalah pertunjukan karakter bermental budak (sklaven geist).

Ini bukan keteledoran tetapi kesadaran bahkan propaganda dengan angkuh. Menjilat dan mempublikasikan luas melewati batas sekolah, pesantren atau tembok kebesaran organisasi. Media jadi alat penyiaran dari pertunjukan sensasi atau aksi kebodohan diri. Di peristiwa hari raya umat Kristiani.

Kini bukan lagi tahap perbedaan pendapat tetapi masuk fase euphoria. Bukan diam diam atau dalam komunitas terbatas sang tokoh, kyai, aktivis, anak kyai mendemonstrasikan cara bertoleransi dengan mengucapkan selamat natal. Berharap tepuk tangan dan dipuji sebagai orang berani, hebat, dan melawan arus. Hai umat Islam “gue keren kan”. Si intoleran dan radikal paling nangis menonton. Fikirnya.

Jaman Belanda dulu ketika penjajah beragama kristen berkuasa di negeri ini, petistiwa seperti ini tidak terjadi. Kolonial memberi kesempatan untuk umat Islam berdiri sendiri di atas agamanya. Bahkan kaitan hukum agama atau syari’at pun diberi landasan keberlakuannya. Umat Islam ingin merdeka meskipun mereka tak disuruh mengucapkan natal saat itu. Kini di masa merdeka umat Islam “tunduk sukarela” pada mentalitas yang lebih rendah daripada masa penjajahan.

Lebih menyedihkan di gereja diadakan kolaborasi shalawat nabi dengan haleluya. Ada rebana “islami” mengiringi lagu “merry christmas”. Berpeci koko gabung dengan atribut pendeta. Luar biasa. Rasanya agama ini hancur hancuran. Toleransi adalah sarana jualan akidah dan martabat agama.

Aktivis muslim menjaga gereja seperti yang patriotik tapi sebenarnya melecehkan agama dan umat karena seolah olah umat Islam biasa mengganggu, merusak, atau membakar, bahkan meledakkan gereja. Sungguh prasangka dan fitnah luar biasa. Menyanyi bersama di gereja adalah pelecehan kepada agama dan umat Islam yang membawa nyanyian menjadi ritual. Mengucapkan selamat natal pun dapat menjadi pelecehan pada agama dan umat Islam karena merusak cara nabi berinteraksi.

Di zaman “umaro” Jokowi dan di masa “ulama” KH Ma’ruf Amin Ketua Umum MUI maka semangat toleransi disadari atau tidak telah bergeser menjadi pelecehan agama dan umat Islam.
Menyedihkan dan mengerikan.

*) Pemerhati Politik dan Keagamaan

Bandung, 26 Desember 2019