Beberapa organisasi buruh menolak skema upah per-jam/IST

JAKARTASATU.COM – Ternyata kalangan buruh menolak skema upah perjam. Pasalnya menurut mereka skema upah per bulan menjadi per jam menimbulkan pertentangan konstitusi, baik UUD 1945 maupun UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal pengupahan.

“Dengan ditetapkannya (skema upah per jam) itu, sudah dipastikan Indonesia tidak lagi memiliki upah minimum sebagai jaring pengamanan kepastian upah,” ujar Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) utusan dari KSPI, Iswan Abdullah, di Jakarta, Sabtu (28/12).

Menurut Iswan, perubahan skema upah tersebut sebelumnya tidak pernah dibicarakan dalam rapat Dewan Pengupahan Nasional. Jadi jika benar diberlakukan, maka dikhawatirkan akan berimplikasi tidak ada lagi upah minimum yang menjadi pegangan kaum buruh.

Keberadaan skema upah baru tersebut akan membuat keberadaan UMP terkikis dan perlahan akan menghilang. Perusahaan dikhawatirkan akan bersikap semena-mena atas upah yang diberikan pada pekerja. Kemudian akan terdampak pada masyarakat miskin absolut.

“Terjadinya masyarakat miskin absolut karena dipastikan UMP tidak ada lagi. Padahal, filosofinya sebagai jaring pengamanan,” ujarnya.

Bahkan adanya jaminan sosial yang diberlakukan berkat adanya standar UMP, dipastikan akan ditiadakan. Pasalnya pengusaha merasa tidak lagi memiliki tanggung jawab atas pembayaran jaminan sosial lagi.

“Kalau ini (upah per jam) berlaku, maka jaminan sosial akan hilang beban perusahaan untuk membayar itu. Karena standarnya UMP,” ujar Iswan khawatir.

Selanjutnya akan ada defisit jaminan sosial yang berlaku di Indonesia. Seperti BPJS Kesehatan. “Defisit BPJS Kesehatan karena pengusaha tidak mendaftarkan pegawainya,” tutup Iswan.

Hal yang sama juga dikemukakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Serikat buruh yang dipimpin Said secara tegas menolak perubahan sistem pengupahan yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law cipta lapangan kerja tersebut.

Secara rinci Said membeberkan alasannya sebagai berikut: Pertama, menurutnya prinsip upah minimum (UMP/UMK) adalah safety net atau jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin. Hal Itu yang terkandung dalam konvensi ILO dan UU No 13/2003. Melalui pengupahan per jam menurutnya bisa berdampak pada nilai pengupahan, sehingga ada kemungkinan upah yang didapat di bawah nilai minimum.

“Jadi kalau sistem upah per jam, boleh jadi buruh menerima upah dalam sebulan di bawah nilai upah minimum akibat pengusaha membayar upah sesuai dengan jumlah jam dimana buruh bekerja,” tulisnya dalam rilis yang dikirimkan, Jumat (27/12/2019).

Menurutnya, jika sistem upah per jam ini diterapkan, maka pengusaha bisa seenaknya dan secara sepihak bisa menentukan jumlah jam bekerja buruh.

“Kalau bekerja dibayar sesuai jumlah jam, bisa saja buruh tidak dikasih jam kerja. Sehingga dia tidak dibayar. Akibatnya total pendapatan yang didapat dalam sebulan upahnya di bawah upah minimum,” tambah Said.

Dampak lain dari sistem upah per jam menurutnya tidak adanya perlindungan untuk buruh bisa hidup minimum. “Kalau begitu, buat apa ada investasi bila menyengsarakan buruh?” tanyanya.

Kedua, penerapan sistem ini akan berdampak pada diskriminasi pekerja perempuan yang tengah haid. Upah mereka akan terpotong selama cuti haid, padahal selama ini upah mereka tidak pernah terpotong. Tidak hanya pekerja perempuan, pekerja yang sakit, cuti melahirkan, menjalankan ibadah haji, dan kegiatan lainnya akan terpotong upahnya. “Jelas ini akan merugikan buruh,” tegas Said.

Pasalnya, selain supply dan demand tenaga kerja di Indonesia gapnya masih tinggi. Angka penganggurannya juga masih tinggi. Apalagi jika dibandingkan dengan negara maju yang upahnya sudah per jam. Dampaknya akan membuat daya tawar aburuh kepada pengusaha menjadi rendah.

“Bisa saja pengusaha mengatakan, hanya ingin mempekerjakan buruhnya selama dua jam per hari dengan sistem upah per jam tersebut,” sebutnya.

Apalagi jika melihat kenyataan pendidikan buruh Indonesia yang masih terbilang rendah. Di mana 70% di antaranya adalah lulusan SMP ke bawah. Itu berarti banyak/mayoritas unskill workers, yang dengan sistem upah per jam bisa dipastikan mereka akan absolut miskin.

Melihat fakta tersebut maka menurut Said menjadi tugas pemerintah untuk mengupgrade dahulu agar pendidikan buruh di angkatan kerja menjadi 80% SMA ke atas. Selain itu juga lapangan kerja yang melimpah. Setelah semua tercapai baru bisa bicara mengenai upah kerja per jam.

“Intinya buruh menolak sistim upah per jam yang absolut memiskinkan kaum buruh. KSPI juga menolak seluruh isi omnibus law cluster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Sebab sejauh ini UU No 13/2003 sudah cukup memberikan keseimbangan kepentingan buruh dan pengusaha,” pungkas Said menegaskan.|WAW-JAKSAT