JAKARTASATU.COM – Ngomong-ngomong soal banjir di Jakarta. Jangan melupakan sejarahnya atau JAS MERAH. Sejarah apa? Sejarah KATULAMPA.
Proyek pembangunan bendungan ini dimulai pada 16 April 1911 dan selesai pada awal Oktober 1912, sebelum akhirnya diresmikan penggunaannya pada 11 Oktober 1912. Total biaya yang dikeluarkan 80.000 gulden.
Bendungan yang juga hasil karya Ir. Hendrik van Breen ini memiliki panjang total 74 m, dengan 5 inlaatsluis (pintu untuk mengalirkan arus ke kawasan di bawah), 3 spuisluis (pintu untuk menahan air, jika volume air berlebihan dan mengancam kawasan bawah), dengan lebar masing-masing pintu 4 m.
Disebutkan, selain untuk pengendalian banjir bendungan ini juga memiliki fungsi sampingan sebagai sistem irigasi. Berkat bendungan ini sebanyak 10.000 bouw sawah (orang Jawa menyebutnya bau, 1 bouw ekuivalen dengan 0,7 hektar) dapat diairi melalui Oosterslokkan (Kali Baru).
Kanal Oosterslokkan ini sebelumnya telah dibangun pada abad ke-18 atas prakarsa Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Saluran air ini mengalir dari sini melintasi Weltevreden (Menteng).
Sebelumnya kanal ini dimaksudkan untuk lalu lintas pelayaran ke pedalaman (ke arah Bogor). Bukan hanya Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, tetapi juga Gubernur Jenderal Daendels telah mempunyai rencana untuk menggali kanal untuk pelayaran ke pedalaman.
Namun untuk itu diperlukan banyak sekali schutsluizen (konstruksi kanal yang memungkinkan kapal bisa naik ke kawasan lebih tinggi, dengan cara membendung air sampai kapal terangkat setingkat demi setingkat, dan sebaliknya).
Betapa penting Bendungan Katulampa ini bisa dilihat dari siapa yang meresmikan. Tak tanggung-tanggung, Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg, didampingi para pejabat penting masa itu. Mereka antara lain Kepala Insinyur Negara Roos, Ir. Van Dissel, Ir. Hendrik van Breen, pengawas Leuwiliang dan Bogor, anggota dewan Ebbink, adminsitrator D. Veenstra (Ciluar), Mulder (Kedung Halang), Valette (Pondok Gede), Sol (Ciomas), Residen Batavia, Asisten Residen (setingkat wedana) Bogor, dan para patih Bogor, Batavia dan Meester Cornelis (sekarang Jatinegara).
Peresmian bendungan tersebut dimeriahkan dengan gamelan dan tari-tarian, serta upacara selamatan dengan kepala kerbau.
Bendung Katulampa mulai dioperasikan pada tahun 1911, akan tetapi, pembangunannya sudah dimulai sejak 1889, sejak banjir besar melanda Jakarta pada 1872.
Banjir saat itu dikabarkan membuat daerah elit Harmoni ikut terendam air luapan Sungai Ciliwung. Dari Katulampa, sebagian air Ciliwung dialirkan lewat pintu air ke Kali Baru Timur, saluran irigasi yang dibangun pada waktu yang sama.
Dari Bogor bagian timur, sungai buatan itu mengalir ke Jakarta, di sepanjang sisi Jalan raya Bogor, melalui Cimanggis, Depok, Cilangkap, sebelum bermuara di daerah Kali Besar, Tanjung Priok, Batavia. Air Kali Baru Timur dulu dipakai untuk mengairi sawah yang banyak terdapat di daerah antara Bogor dan Jakarta.
” Het was hoogst noodig dat deze permanente dam tot stand kwam, nu kan Weltevreden geregeld spuiwater krijgen en de kans op groote overstroomingen te Batavia is vrijwel uitgesloten. Adalah sangat perlu bendungan permanen ini direalisasikan, kini Weltevreden (Menteng) bisa secara teratur memperoleh pengairan dan peluang banjir besar di Batavia nyaris tertutup,” (Bataviaasch Nieuwsblad, 12 Oktober 1912).
Sampai tahun 1990, areal persawahan di Bogor dan Jakarta masih banyak, yakni 2.414 hektare. Namun kini sawah hampir habis. Hanya Bogor dan Cibinong yang masih memiliki 72 hektar sawah, sementara Jakarta sama sekali habis.
Sehingga fungsi irigasi Bendung Katulampa bisa dikatakan sudah berakhir akibat punahnya areal persawahan di Bogor dan Jakarta.
Menurutku, Anies pun harus jas merah untuk urusan banjir ini. Akar penyebab banjir bukan sekadar tehnologi pencegahan banjir. Tapi ada aspek sosial budaya dari geopolitik Jakarta yang dihancurkan. Seturut masuk derasnya arus globalisasi dan modernisasi. Dan banjir hanyalah dampaknya.
Mohon maaf, di sinilah Anies kurang perhatian pada aspek sosbud dari geopolitik Jakarta. Terlalu fokus pada spesialisasi dirinya sebagai pakar public policy.***
(Dari FB Hendrajit : Terimakasih banyak kepada mbak Gemala Hatta untuk paparan bahan pustaka kesejarahan Batavia yang menarik ini).