JAKARTASATU.COM — Katanya Jiwasraya selama 10 tahun (2008-2018) baik-baik saja. Tapi ada yang bilang ini kasus lama sudah puluhan tahun. Apa?

Biar tak jadi soal panjang ini ada data penghimpunan sejumlah tokoh yang kami rampai. Mungkin ini rampai Jiwasraya yang secuil, masih banyak yang harus diolah.

Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko memang mengungkap juga beberapa titik kekeliruan yang secara berlapis menyebabkan Jiwasraya gagal-bayar polis nasabah bukan sekadar belasan namun bahkan puluhan triliun Rupiah itu. Inilah kekeliura awal yang terkuak.

Tokoh Kelirumologi  Jaya Suprana menulis Prahara Jiwasraya Isinya sejumlah kekeliruan ada 5.  Kekeliruan pertama adalah product mispricing terkait produk JS Saving Plan sebagai sebuah produk asuransi berbalut investasi yang ditawarkan lewat bank. Guaranted return atau imbal hasil yang diberikan sebesar 9 hingga 13 persen dan dapat dicairkan setiap tahun.

Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan yield obligasi. Akibatnya, Jiwasraya terus terhantam risiko pasar. Kekeliruan kedua adalah reckless investment activities atau kegiatan investasi nekad sambil ngawur yang diinvestasikan di LQ45 dari 22,4 persen asset finansial senilai Rp 5,7 triliun.

LQ45 adalah indeks pasar saham di Bursa Efek Indonesia yang terdiri dari 45 perusahaan yang dianggap memenuhi kriteria tertentu.

Kekeliruan ketiga adalah window dressing yang agresif demi menampilkan fatamorgana trading profitability. Modusnya, saham overprice dibeli oleh Jiwasraya kemudian dijual pada harga negosiasi.

Hal ini dibuktikan dengan aset investasi Jiwasraya yang dimasukkan pada saham dan reksa dana saham yang underlying asset-nya sama dengan portofolio saham langsung.

Kekeliruan ke empat adalah adanya tekanan likuiditas dari produk JS Saving Plan. Lambat laun publik mulai tidak percaya dengan produk tersebut dan mengakibatkan penjualan produk Jiwasraya terus menurun.

Sebagai kekeliruan kelima adalah tidak adanya backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban bayar sehingga akhirnya menyebabkan gagal bayar. Kekeliruan ke enam paling parah akibat sudah berupa bukan indikasi namun fakta Jiwasraya sudah terlanjur terbukti gagal bayar polis nasabah.

Baca: https://jakartasatu.com/2020/01/09/prahara-jiwasraya1/

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna/IST

JAKARTASATU.COM  juga mencatat ada kerugian Jiwasraya sekitar Rp10,4 trilun dari transaksi saham dan reksadana yang mereka lakukan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Seperti yang diumumkan Ketua BPK Agung Firman Sampurna (8/1), berdasarkan Hasil Pemeriksaan Investigasi Pendahuluan BPK terhadap Jiwasraya, ditemukan adanya investasi yang tidak sesuai ketentuan, antara lain investasi di saham perusahaan dengan kualitas rendah. Sementara ada 4 (empat) temuan kesalahan Jiwasraya yang dikumpulkan BPK sebagai berikut:

1.)  Pembelian saham oleh Jiwasraya tak disertai analisis pembelian dan penjualan dengan cara pro forma, serta berdasarkan data valid dan objektif.

2.) Ada aktivitas jual beli dalam waktu yang berdekatan dengan tujuan untuk menghindari pencatatan unrealized gross.

3.) Ada praktik jual beli dengan negosiasi agar Jiwasraya dapat memperoleh harga tertentu.

4.) Jiwasraya juga berinvestasi di saham dengan harga tidak wajar dan tidak likuid, dengan menyembunyikan saham-saham tak wajar itu di beberapa reksadana dengan underlying saham.

“Indikasi kerugian sementara akibat transaksi (saham) diperkirakan sekitar Rp 4 triliun. Lalu, indikasi kerugian sementara akibat penurunan nilai saham pada reksa dana ini diperkirakan sekitar Rp 6,4 triliun,” rinci Agung (8/1/20).

Adapun untuk menghitung jumlah kerugian negara seperti yang diminta oleh Kejagung beberapa waktu lalu (30/12), Agung mengaku BPK memerlukan waktu sekitar dua bulan untuk menyelesaikan perhitungan tersebut. Dengan begitu, nilai pasti hitung-hitungan untuk kerugian yang diderita negara, baru bisa diketahui secara pasti pada akhir Februari 2020, jika BPK memulai hitungannya pada akhir 2019 kemarin.

Baca: https://jakartasatu.com/2020/01/09/inilah-empat-kesalahan-utama-investasi-saham-jiwasraya-berdasar-temuan-bpk/

Cover Annual Report Jiwasraya tahun 2016 yang mengangkat tema: Memperkuat Dalam Melayani Negeri: Memposisikan Untuk Pertumbuhan Masa Depan/IST

Dalam Catatat data yang kami himpun karena setiap perusahaan harus segera menyelesaikan laporan keuangan 2019 yang telah dilalui. Namun boro-boro menyiapkan laporan keuangan tahun 2019 tersebut, ternyata perusahaan Asuransi Jiwasraya hingga saat ini belum menyerahkan laporan keuangannya untuk tahun 2018. Ada apa, kok telat sekali?

Sebagai perusahaan pelat merah apalagi yang sudah go public/terbuka (persero), maka sudah seharusnya Jiwasraya menyerahkan laporan tahunannya (annual report) kepada OJK yang didalamnya termasuk laporan keuangan dan laporan audit dari auditor independen yang tersumpah.

Untung ataupun rugi seharusnya mekanisme penyerahan laporan keuangan tidak bisa tidak dilakukan. Dan itu tentunya menjadi tanggung jawab manajemen yang aktif atau tengah menjabat untuk menyelesaikannya dibawah pengawasan pemerintah atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebagai perusahaan milik pemerintah (BUMN), seharusnya laporan keuangan tersebut tidak hanya diserahkan kepada OJK dan lembaga terkait semata tetapi juga harus dipublikasikan kepada media publik yang telah ditentukan persyaratannya.

Di situs resminya pun Jiwasraya tidak mempublikasikan laporan keuangan terbaru yaitu laporan keuangan tahun 2018. Yang terpublikasikan hingga saat ini terupdate hanyalah laporan keuangan tahun 2017. Bahkan lebih parah lagi untuk laporan tahunan (annual report) yang terakhir dipublikasikan adalah AR tahun 2016 yang tentunya terasa sangat basi.

Lalu apa kerja manajemen aktif yang bertugas mengelola Jiwasraya di tahun-tahun terakhir ini? Kenapa Dirut Jiwasraya Hexana Tri Sasongko tidak bisa dengan tegas menjelaskan hal ini? Padahal nyata-nyata saat ini dirinya telah dijamin dilindungi oleh Menteri BUMN Erick Thohir karena dianggap telah berani membuka aib yang tersembunyi di Jiwasraya.

Ketika dikonfirmasi wartawan mengenai keterlambatan laporan keuangan tersebut, Hexana malah dengan gagap balik bertanya, “Info dari mana? Cek saja. Belum bisa komentar tentang ini (keterlambatan penyampaian laporan keuangan tahun 2018) sekarang. Nanti hubungi lagi ya,” katanya singkat.

Terus bagaimana dengan ketegasan pengawasan dan tindakan yang seharusnya bisa dilakukan oleh OJK. Kasus ini menunjukkan pengawasan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang nampak kurang terutama dalam menindaklanjuti kelalaian Jiwasraya yang tidak melampirkan laporan keuangan tahun 2018.

Konon kabarnya pada Oktober 2019 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat mengancam bakal memberikan sanksi kepada manajemen yang belum juga menyampaikan laporan keuangan. Apakah itu tidak terlalu terlambat? Terus apa sanksi nyata yang bisa diberikan OJK untuk Jiwasraya sekarang? Apakah sanksi denda seperti biasa yang notabene justru akan menambah beban kebangkrutan Jiwasraya?

Pandangan lain soal kekeliruan datang dari mantan petinggi BUMN yang suka lantang dan kritis Said Didu bahkan melihat Tiga Opsi Penyebab Jiwasraya Bangkrut: Sakit Jiwa, Tsunami Ekonomi, atau Dirampok. Nah gawat!

Said Didu/IST

Dalam Kasus gagal bayar Jiwasraya yang menelan kerugian hingga 13,7 triliun Said Didu mengaku heran dengan apa yang menimpa perusahaan asuransi milik negara tersebut. Pasalnya kenapa Jiwasraya yang 10 tahun mampu menorehkan untung tiba-tiba terjun bebas.

Menurut Said, hanya ada tiga hipotesa yang bisa menyebabkan sebuah perusahaan yang sedang untung, tiba-tiba anjlok.

Pertama bisa dikarenakan pimpinannya jadi gila. Kedua ada tsunami ekonomi, dan ketiga ada perampokan.

Hipotesa tersebut diuraikan Said Didu dalam sebuah video berjudul “MSD Ungkap Modus Perampokan di Jiwasraya” Senin (23/12).

Memang menurut Said  di tahun 2005, Jiwasraya memang pernah mengalami kerugian sebesar Rp 6 triliun. Namun kerugian itu jelas disebabkan oleh dampak dari krisis 1998. Sehingga perusahaan itu segera bangkit dan mencatatkan laba di tahun 2009.

Bukan sekedar bangkit, bahkan bisa menjadi asuransi terbaik bukan hanya di Indonesia. Pada tahun 2015, 2016, mampu mengukir keuntungan 2 T.

Pada tahun 2017, Jiwasraya sempat mencatat untuk Rp 2,3 triliun sebelum akhirnya dikoreksi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi Rp 400 miliar.

Namun kenapa 2018, tiba-tiba terjadi kerugian puluhan triliun?

Said tidak mengerti lantaran di tahun itu tidak ada gejolak ekonomi yang besar. Di satu sisi, Direksi Jiwasraya juga tidak menjadi gila buktinya di tahun yang sama ada direktur yang diangkat menjabat ke Kantor Staf Presiden (KSP) oleh Moeldoko.

Yang menonjol di Indonesia di tahun 2018 tersebut hanyalah persiapan Pilpres 2019, karena itulah Said Didu cenderung mengamini pendapat pengamat politik Muslim Arbi bahwa dana Jiwasraya mengalir ke timses Pilpres atau kasarnya dirampok untuk Pilpres 2019. Nah loh….. |TIM JAKSAT, WAW, AME, HER