JAKARTASATU.COM – Belakangan ini kita dihebohkan media sosial dengan kemunculan kerajaan atau keraton baru di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Mereka membuat tatanan kehidupan sendiri, seolah-olah berada di luar koridor Negara Kesatuan Repblik Indonesia (NKRI).
Penomena seperti ini jangan dilihat secara parsial, misalnya hanya dari sisi kriminal dalam hal penipuan. Namun beberapa paktor mengiringi seseorang atau sekelompok orang mendirikan dan menjadi pengikut Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire. Paling sedikit ada 4 paktor penyebab, diantaranya; Pemahaman sejarah masa lalu yang melenceng, Post Power Syndrome, permasalahan ekonomi, dan kekecewaan.
Pemahaman sejarah masa lalu yang melenceng karena data-data ontentik tentang sejarah raja-raja yang dianggap sekelompok orang nenek monyangnya sangat minim. Mereka lebih banyak mengenal sejarah masa lalu nenek moyang dan kerajaannya dari cerita lisan (katanya-katanya) dan mitos.
Cara berpikir logis dan mitos di kehidupan masyarakat Indonesia terkadang dicampur aduk, sehingga sulit membedakan antara dongen dan sejarah. Bahkan minimnya ilmu pengetahun, mitos mengeser hal-hal yang dianggap logis. Cerita lisan (dengeng) dan mitos diyakini sebagai kebenaran sesungguhnya.
Melihat para pengikut Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire secara kejiwanan bisa dibilang dihinggapi penyakit mental yang disebut Post power syndrome. Seseorang yang menganggap dirinya raja atau ratu atau bagian dari kelompok tersebut tenggelam dan hidup di dalam bayang-bayang kehebatan, keberhasilan masa lalu dirinya atau nenek moyang yang dibanggakannya sehingga cenderung sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang.
Mereka seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Biasanya terjadi pada kebanyakan orang pada usia tua, rasa takut kehilangan jabatan yang pernah melekat dalam dirinya, kurang mendapat perhatian lebih lagi atau hilangnya perasaan atas pengakuan diri, Kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan pernah dimilikinya, dan beberapa persolan lain tentang gangguan mental.
Maka tidak heran jika para pengikut Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire dari kalangan kaum muda belia terbilang sangat sedikit dan nyaris tidak terlihat. Mereka yang terjaring pada umumnya sudah pensiun dari pekerjaannya atau orang yang dalam kedaan mapan tapi tidak memiliki kesempatan untuk menunjukan eksistensi dirinya yang sangat ingin dapat pengakuan.
Persoalan berikutnya adalah kondisi ekonomi di Indonesia pasca repormasi sampai sekarang dirasakan tidak beranjak lebih maju. Kalaupun ada kemajuan dampaknya tidak merata dan tidak dapat dirasakan semua golongan masyarakat.
Keterpurukan ekonom yang tidak kunjung meningkatkan strata kehidupan mendorang sesorang atau sekelompok orang mencari jalan yang dianggap lebih mudah, diantaranya dengan mengelabui (menipu) orang lain. Lebih dari itu adalah menghimpun orang-orang yang merasa senasib untuk mempencayai bahwa dewa penolong, selain Tuhan yang diyakininya akan datang menyelematkan kehidupan duniawinya.
Orang-orang yang terus menerus dibayangi dan merasakan keterpurukan ekonomi sering ditemukan dengan kondisi kjiwaannya labil, bahkan lemah. Kondisi seperti ini sangat mudah dimanfatkan oleh orang-orang yang ingin menyebar luaskan idiologinya, yakni dengan melakukan brainwashing (cuci otak).
Salah satu media brainwashing adalah memberi pemahaman-pemahaman sesat, lewas kisah-kisah, dongeng dan mitos yang sejak awalnya secara samar-samar sudah menjadi bagian hidupnya. Sehingga ketika diceritakan ulang dengan terstruktur dan masif, mereka yang terjerat secara sadar dan tidak sadar membenarkan dan menyakininya.
Terakhir adalah adanya rasa kecewa. Terutama kecewa terhadap pemimpin atau pemangku kebijakan, kerena negara dinilai tidak mempuh menyelesaikan segala permasalah yang terjadi, terutama masalah sosial, masalah politik kebijakan dan masalah kesejahteraan rakyat.
Ketika ditelisik dari perkataan-perkataan Raja Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire dalam rekaman video yang viral, inti yang disampaikan mereka adalah pesoalan keuangan, ketersedian anggaran untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang benar-benar sejahtera. Dengan kata lain, mereka mengisaratkan bahwa pemerintah yang sah sekarang dianggap tidak bisa menyelesaikan persolan tersebut dan mereka mencari solusi sendiri dengan meyakini akan datang juru selamat yang mampu mensejehterakan rakyat.
Maka, selain segera meluruskan orang-orang yang dianggap sesat. Pemerintah harus intropeksi diri dan merealisasikan dengan sungguh-sungguh cita-cata bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehudapan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Jika keadilan sosial dan kesejahteran tidak dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia, jangan heran negara tercinta ini senantiasa dibayang-banyanggi sekelompok masyarakat yang ingin keluar dari wadah besar NKRI. Mereka mencari jalan sendiri dalam mewujudkan mimpinya.*l HERMANA HMT