JAKARTASATU.COM– Jarred Evard, 27 tahun, pemain bola, berusaha kabur dari Karantina, di mana dia menjadi penghuni bersama 199 orang warga Amerika yang baru diangkut dari Wuhan, China. Sayang, dia dicegat oleh militer yang bertugas mengamankan daerah itu. Karantina itu terletak di the March Air Reserve Base, Riverside County, California, sebuah pangkalan militer Amerika. Para warga eks Wuhan ini harus mendekam sedikitnya 2 Minggu di sana, sampai CDC (the centers for disease control and prevention) menyatakan mereka bisa keluar dari sana.

Di Australia, isu yang sama, ratusan orang Australia eks Wuhan ini di karantina di Christmas Island. Mereka juga akan mendekam di sana sedikitnya dua minggu. Pemerintah Australia mengirimkan tim kesehatan militer dan tim lainnya untuk terbang ke pulau itu. Tidak ada manusia di pulau itu, kecuali 4 warga asing yang ditahan karena masalah imigrasi.

Dari segi jarak, Christmas Island ini bahkan lebih dekat ke Ibu Kota kita, Jakarta dari pada Ibu Kota Australia.

Berbeda dengan di kedua negera di atas, Indonesia membawa warga kita “eks Wuhan” ke Kabupaten Natuna. Hari ini, 2/2/2020, warga Indonesia tersebut sudah sampai di Batam dan langsung dibawa lagi ke Natuna. Menteri kesehatan menjelaskan bahwa pilihan Natuna sebagai tempat karantina adalah karena tempat itu memiliki fasilitas rumah sakit militer dan pangkalan bersama militer kita.

Berbedanya adalah pemerintah daerah Natuna, yang diwakili wakil bupati, Ngesti Yuni Suprapti dan warga menolak kehadiran WNI eks Wuhan itu. Ngesti mengatakan rakyat Natuna ketakutan dan sangat gelisah dengan kedatangan warga eks Wuhan itu. Menurutnya, pemilihan tempat Natuna adalah keputusan sepihak dan terkesan memaksakan kehendak dari pemerintah pusat.

Warga juga berdemonstrasi. Mereka berdemonstrasi di jalanan dan DPRD Natuna. Menurut mereka Karantina itu dekat dengan pusat aktifitas masyarakat. Logika masyarakat Natuna atas pernyataan Menkes bahwa seluruh 238 warga eks Wuhan itu sudah dinyatakan sehat oleh pemerintah RRC, sebaiknya dipulangkan aja langsung ke kediaman mereka.

Keresahan dan Tantangan Otonomi Daerah

Dalam melihat kasus pemulangan WNI eks Wuhan kita melihat bagaimana pemilihan lokasi karantina mendapat tantangan pemerintah daerah.

Sejatinya, dalam kasus emergensi, pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk memutuskan apa pun di wilayah kita, termasuk persiapan perang.

Namun, dalam kasus Virus Corona ini, rakyat mengetahui bahwa Pemerintah Pusat selalu mengatakan semua ‘okey okey’ saja. Padahal rakyat melalui dunia maya telah membahas situasi ketakutan dan kegelisahan sejak awal Januari. WHO China sendiri mengetahui kasus pertama pada 31 Desember 2019. Sejak itu laporan kejadian sudah melanda belasan ribu jiwa, mencakup 30 an negara dan menyebabkan kematian ratusan jiwa, termasuk hari ini di Filipina.

Jika saja pemerintah pusat mengatakan bahwa soal virus corona ini tidak oke-oke saja, maka rakyat Indonesia akan melihat otoritas pemerintah pusat benar-benar bisa dipercaya. Karena sejalan dengan semua berita di berbagai dunia bahwa situasi terkait virus corono merupakan “A Global Emergency”. Pemulangan warga Indonesia di Wuhan pun bisa dilakukan sebelum China menutup bandara Wuhan.

Dari pengalaman ketidakpercayaan rakyat Natuna dan pemda di sana atas penenempatan warga kita eks Wuhan, pelajaran yang dapat diambil adalah agar pemerintah pusat berhati-hati dalam menentukan sesuatu yang mengganggu eksistensi daerah. Sebagaimana konstitusi kita, khususnya pasal 18 UUD45, otonomi daerah dan desentralisasi sudah diakui keberadaannya. Pemerintah pusat hanya bisa mengambil alih otoritas pemerintah daerah jika situasi masalah dinyatakan dahulu emergensi.

Tantangan “CDC” Kita

Apa itu CDC? Di negara-negara maju CDC adalah lembaga khusus untuk mengontrol dan mencegah penyebaran penyakit bersifat wabah. Kemampuan kita mencegah, mengendalikan dan menemukan vaccine atas penyakit terlihat lebih buruk dibanding masa pemerintahan SBY dalam mengendalikan isu flu burung. Setidaknya sensitifitas SBY dalam menunjukkan bahayanya penyebaran virus itu. Institusi pencegahan dan pengendalian itu ada di bawah kementerian kesehatan, setingkat direktoral jenderal.

Setelah Jokowi memastikan 13 airport menggunakan Thermal Scanner dan semua aman-aman saja, dalam konteks mencegah dan mengetahui pelancong yang datang ke Indonesia. Prof. Amin Subandrio, Institut Eijkman, malah memastikan Indonesia belum punya kemampuan cepat dalam mendeteksi pelancong pembawa virus. Sebab, kata Amin, “Reagent” yang dibutuhkan untuk mendeteksi lebih cepat masih sedang diimpor.

Di Indonesia, pernyataan Prof. Amin Subandrio itu tidak tampak sejalan dengan direktorat jenderal pencegahan penyakit menular. Entah kenapa institusi kita tersebut terkesan lambat.

Di Amerika, CDC bukan saja mempunyai otoritas tunggal mencegah dan mengontrol penyakit menular, bahkan CDC dapat menaikkan tingkat “travel warning” bagi pelancong ke daerah epidemik maupun yang datang dari sana. Mungkin ke depan bisa jadi direktorat jenderal pencegahan penyakit menular bisa mempunyai otoritas yang lebih tinggi. Sehingga respon cepat atas kasus2 seperti “outbreak” virus corona ini dapat diatasi dengan baik.

Penutup

Kesenangan rezim Jokowi atas infrastruktur cenderung melupakan banyak persoalan yang harus ditangani. Bangsa kita tidak menyadari satu dari 7 orang peneliti nuklir di CDC Atlanta Amerika adalah orang Indonesia, Dr. Supriyadi Saidi. Satu pembuat vaccine adalah orang Malaysia, Dr. Zaibi, sahabat dekat Supriyadi.

Jika saja pemerintah Indonesia mempunyai database keahlian warganya di berbagai penjuru dunia, mungkin jaringan ahli untuk bertanya bagaimana menghadapi virus corona dapat dilakukan dengan tepat. Tentu saja tanpa memgurangi respek kita pada para ahli yang ada di Indonesia.

Namun, CDC Amerika, misalnya, mempunyai keahlian dalam pengorganisasian mengatasi wabah penyakit menular. Kemampuan ini tidak gampang dimiliki oleh negara berkembang. Mempunyai akses pada orang-orang kita di CDC USA, misalnya, bisa memberitahu apakah situasi ‘oke oke’ saja atau tidak. Dapat membantu koneksi pada vendor peralatan deteksi penyakit yang canggih (reagent, dll).

Jika ke depan pencegahan penyebaran virus dan penyakit menular dijadikan sebuah agenda besar, maka pemerintah harus menjadikan direktorat jenderal pencegahan dna pengendalian penyakit, khususnya yang bersifat lintas negara, harus mempunyai otoritas lebih tinggi dari saat ini. Sehingga, otoritas yang dimilikinya dapat menunjukkan kedaruratan suatu isu penularan penyakit, dan akhirnya diikuti dengan kepercayaan semua warga. Dengan itu maka pelajaran dari buruknya penanganan isu virus corona ini bisa ke depannya hal yang serupa lebih baik diatasi.

*Dr. syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle