Tony Rosyid/IST

OLEH: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

“Doakan saya agar tidak salah dalam setiap mengambil keputusan. Kalau dianggap salah, itu gak masalah,” kata Anies dalam suatu kesempatan. Dianggap salah, nampaknya bukan problem bagi Anies. Sudah biasa! Tinggal tunjukkan data dan fakta yang sesungguhnya, beres! Selama ini begitulah ritmenya. Tetapi, tetap harus hati-hati. Begitu pesan para pendukungnya.

Tidak ramai jagat Indonesia kalau tidak menyoal Anies. Apa saja bisa jadi obyeknya. Pemerhati dan pemantau Anies sangat kreatif. Orang menyebutnya “haters”. Terkini, tapi bukan yang terakhir, soal revitalisasi Monas. Monumen yang dibangun sejak 17 Agustus 1961 ini. Boom! Mendadak ribut. Dua yang disoal. Ijin dan potong pohon.

Revitalisasi Monas harus ijin, begitu menurut pihak kemensesneg. Ini diatur di dalam Keppres No. 25 Tahun 1995. Keppres ini diantaranya berisi tentang tugas Komisi Pengarah sebagaimana bunyi pasal 5 huruf a) memberikan pendapat dan pengarahan kepada badan pelaksana (Gubernur DKI) dalam melaksanakan tugasnya. Huruf b) memberikan persetujuan terhadap perencanaan beserta pembiayaan pembangunan Taman Medan Merdeka yang disusun oleh Badan Pelaksana.

Menurut Sekda DKI, Syaefullah, gak ada kalimat “harus ijin” ke komisi yang secara eksplisit disebutkan dalam Keppres itu. Kendati begitu, pemprov DKI nampaknya cenderung menghindari polemik.

Siapa Komisi Pengarah yang dimaksud dalam Keppres itu? Komisi Pengarah ini anggotanya berasal dari tujuh institusi. Pratikno (mensesneg) sebagai ketua merangkap anggota, Anies (gubernur DKI) sebagai sekretaris merangkap anggota. Lima yang lain adalah Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pariwisata, Mendikbud, Menteri Perhubungan dan Menteri Lingkungan Hidup.

Sebagai sekretaris Komisi Pengarah Anies paham akan pentingnya keterlibatan komisi ini. Karena itu, Anies melibatkan anggota komisi dari awal, diantaranya dalam proses lelang design Monas. Ada anggota tim penilai berasal dari Komisi Pengarah. Artinya, komisi sesungguhnya tahu proses dan terlibat dari awal. Ini hanya soal administrasi. Tepatnya soal satu lembar surat yang disebut “surat persetujuan”. Kalau gak setuju, mosok terlibat dari awal?

Karena ada yang menyoal penebangan pohon dan ijin, lalu satu lembar surat jadi masalah. Seolah-olah ada yang sengaja cari-cari masalah, atau lepas tangan ketika ada yang mempersoalkan. Memang, kalau gak begitu gak ramai. Anda gak akan tahu ternyata ada yang namanya Komisi Pengarah itu.

Publik sadar, ngobrolin Anies selalu akan jadi hot isu. Gubernur DKI secara umum, khususnya Anies saat ini, akan selalu menjadi magnet media. Ini potensial menjadi tempat sejumlah pihak cari panggung (numpang populer), plus carmuk. Hajar Anies membuat bos senang. Ini juga bisa jadi investasi loyalitas. Hal biasa dalam dunia politik.

Di dunia aktifis, hajar orang jadi duit. Demo orang, juga bisa jadi duit. Anies dianggap sasaran menggiurkan bagi orang-orang yang menggeluti profesi di bidang ini. Kendati kemudian ada sejumlah orang yang populer sebagai tokoh antagonis, cuek aja. Yang penting posisioning dapat, dan duit ngalir. Gak peduli kutukan netizen.

Ingat, tidak semuanya seperti itu. Ada pengkritik yang positif. Bersikap obyektif dan orientasinya memberi masukan konstruktif kepada Anies demi kepentingan rakyat dan bangsa kedepan. No cari-cari salah, no maki-maki, no fitnah. Orang-orang seperti inilah yang dibutuhkan untuk sebuah bangsa yang sehat.

Bagaimana dengan orang orang yang mau laporkan Anies ke polisi dan KPK? Bagaimana dengan yang menuduh ini bagian dari kejahatan lingkungan hidup? Wuih, ngeri kali bahasanya. Soal ini, wajar atau lebay, biarlah publik secara obyektif menilai.

Anies pilih diam. Hindari polemik yang tidak perlu. Tak mau berdebat soal tafsir Keppres No 25 Tahun 1995. Anies berkirim surat. Satu lembar surat dibuat, dikirim dan sudah diterima oleh Komisi Pengarah. Kapan surat dibalas? Kapan proyek akan jalan lagi? Rakyat perlu bersabar. Mosok mau dihentikan selamanya? Entar stasiun MRT di Monas gak jadi dibangun dong.

Yah, setidaknya ramai dulu. Beri kesempatan media dapat berita. Beri peluang sejumlah orang dapat panggung. Siapa tahu juga ada yang dapat ongkos demo. Setelah demo banjir, barangkali ada demo soal ijin revitalisasi Monas. Lumayan!

Bagaimana dengan 190 (atau 205) pohon yang ditebang? Oh ya, itu ditebang atau dipindahin? Ditebang, atau diganti di tempat lain? Kalimatnya mesti clear. Supaya konotasi, pemahaman dan tafsirnya obyektif. Sesuai aturan Dinas Pertamanan No 9 Tahun 2002 dimana setiap pohon yang ditebang harus diganti 10 pohon dengan diameter 10 cm dan tinggi 3 meter.

Sekedar perbandingan, era Jokowi ada 1500 pohon ditebang. Era Ahok ada 2.550 pohon, dan era Djarot ada 1670. Gak masalah tuh. Dan memang gak perlu dipermasalahan, asal diganti. Berarti, ini bukan soal pohon yang ditebang, tapi soal Anies jadi gubernur. Nah, kalau itu persoalannya, sing waras ngalah.

Di sisi lain, soal bagaimana design Monas dan apa manfaat hasil revitalisasi, ini jauh dari berita. Padahal, justru ini yang lebih layak dijadikan diskusi publik. Jauh lebih substansial ketimbang debat soal satu lembar surat sebagai tafsir administrasi Keppres 25/1995 dan penebangan pohon.

Diantara rencana revitalisasi adalah menyiapkan stasiun MRT di sisi Barat Monas. Jadi, masyarakat kalau mau ke Monas cukup naik MRT. Lewat lorong langsung sampai di halaman Monas. Dari sisi Timur (stasiun gambir) pengunjung bisa menikmati renung genang. Di tengah ada retensi air. 3,4 ha sisi selatan dibuat untuk taman (ruang interaksi sosial). Dan di sisi utara ada penangkaran rusa. Ini akan jadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk datang ke Monas. Sebuah icon ibu kota dan monumen yang bersejarah. Yang waras, mari diskusi soal ini.

Jakarta, 2/1/2020