JAKARTASATU.COM– Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 akan digelar pada 23 September 2020. Pilkada serentak yang akan diikuti 270 Daerah se-Indonesia ini menarik. Bahkan yang lebih menarik lagi adalah bangkitnya politik dinasti.

Namun, politik dinasti ini kalau darai perjalanan politik akan bagus karena sosok kepemimpinan teruji, jika ujug-ujug muncul inilah yang aneh. Salah satunya merujuk pencapaian politik dinasti umumnya marak akan korupsi.

“Di bawah kepemimpinan dinasti ada baik buruknya, namun dalam Pemilukada 2020 ini makin nyata saja penuh kepentingan seakan abuse power dimainkan,” ujar Direktur Analisis Strategi Politik Komunikasi dari Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI), Gede Munanto dalam keterangannya, Ahad, 23 Februari 2020 dalam rilisnya yang diterima redaksi.

Dia berpandangan bahwa politik dinasti itu harusnya sudah mati, harus digagalkan. Kini saatnya politik dinasti tamat, karena tak membawa nilai demokrasi yang baik, “Politik dinasti di Indonesia saat ini masih jeblok dalam sejarah Politik tanah air,” jelas Gede yang saat ini akan meraih gelar Doktor Komunikasi Politik di Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung.

Kemudian, dari hal prestasi umumnya politik dinasti ini tak membawa hawa segar sebagai kekuatan membangun demokrasi bahkan kurang terlihat. Malah banyak memamahbiak ruang korupsi makin tinggi.

Gede mengaitkan soal korupsi ini terjadi di sejumlah wilayah yang kepala daerahnya dicokok KPK. Padahal, kata dia, dasar awalnya ada Pilkada ini agar tersaring tokoh-tokoh daerah yang berprestasi dan mempunyai rasa pemimpin yang bukan korup.

“Sebab politik dinasti agar langgeng maka tak heran banyak para dinsati politik saat ini masuknya jadi wakil, tak mau langsung nomor satunya. Faktor lainnya mungkin ketidakmampuan dalam menciptakan cara memimpin dan mereka belajar dulu lalu akan mencangkul kelanggengan dinasti itu,” ujar Gede.

Bagi dia, malah pilkada saat ini malah posisi amat berbahaya. Ada anak, mantu, dan kerabat maju di Pilkada.

“Kalaupun kemudian dipilih nanti hal tersebut lebih kepada ada unsur lain, saya tak mau mengatakannya dulu. Karena menurut saya hal itu bukan karena prestasi politiknya tapi lebih pada ada abuse power tadi,” pungkas Staf pengajar Komunikasi Universitas Pancasila Jakarta ini.

Politik dinasti telah disinggung antara lain oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, baru-baru ini, meski tidak diungkap siapa yang dimaksud dengan anak dari trah politik tersebut.

Semua bisa saja terkena oleh sindiran tersebut apakah Cikeas, Cendana, Kebagusan, Solo, dan Banten.

Cikeas mengacu pada dinasti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Cendana (Soeharto), Kebagusan (Megawati Soekarnoputri), Solo (Jokowi), Banten (Atut).

Keluarga politisi juga terjadi di sejumlah wilayah dan bahkan juga terjadi di Amerika Serikat (AS) misalnya pada keluarga Kennedy, Bush, Clinton, dan banyak lagi.

Namun, semua terkait pada kapabilitas masing-masing figur yang mempunyai kemampuan dalam melakukan kepemimpinan, yang bukan hanya dituntut trah, tapi lebih utama adalah kemampuannya.

Selama mampu dan layak, sejumlah kalangan tidak keberatan, tapi jika dipaksakan, banyak yang menolaknya dan dianggap tidak pantas dipaksakan ke kursi kepala daerah, partai politik, dan panggung nasional.

Jika dipaksakan, banyak sekali contoh kegagalan dibandingkan keberhasilan misalnya seperti terjadi di Banten dengan banyaknya trah kerajaan Atut yang terjerat kasus korupsi dan diusut KPK. RI-JAKSAT