JAKARTASATU.COM– Reaksi keras terhadap rancangan Omnibus Law Cipta Kerja yang digagas Pemerintah kian meluas. Kini, bukan hanya kaum buruh saja yg memberikan penolakan. Para ahli dan aktivis lingkungan, komunitas adat, aliansi jurnalis, dan sejumlah pihak turut mempersoalkan dan menolak RUU “sapujagat” tesebut.

Mengingat sejumlah cacat yang menyertainya, saya setuju dengan usulan agar Pemerintah menarik kembali draf Omnibus Law agar diperbaiki, sebelum kemudian diajukan kembali dengan konsep yang lebih bersih dan masuk akal.

Draf omnibus law memang mengandung banyak sekali cacat serius. Apalagi dengan ditemukannya Pasal 170 yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) bisa mengubah isi Undang-Undang.

Pasal tersebuy sangat jelas bertentangan dengan logika hukum dan perundang-undangan. Secara hirarkis, posisi PP adalah di bawah UU, sehingga seharusnya PP tunduk kepada UU, bukan justru mengubah ketentuan yang ada dalam UU.

Kita tak boleh menganggap keberadaan pasal tersebut hanya sebuah bentuk salah ketik, atau ketidaksengajaan, melainkan harus dilihat sebagai sebuah kesalahan fatal yang telah merusak kredibilitas draf Omnibus Law yang telah diajukan Pemerintah secara keseluruhan.

Kesalahan fatal tersebut menunjukkan adanya proses yang cacat, atau tendensi bermasalah dari penyusunan draf tersebut, sehingga butuh ditarik kembali dan diperbaiki.

Di luar isu-isu substantif yang telah banyak dipersoalkan masyarakat, seperti tuduhan kaum buruh bahwa draf Omnibus Law telah melanggar prinsip ‘job security’, ‘salary security’, dan ‘social security’, atau protes sejumlah aliansi jurnalis—seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta LBH Pers, yang menuduh pasal-pasal Omnibus Law hendak mengekang dan mengembalikan kontrol Pemerintah atas kebebasan pers, saya menilai draf Omnibus Law ini harus segera ditarik Pemerintah karena lima alasan mendasar.

Pertama, Omnibus Law potensial melanggar prinsip demokrasi mengenai trias politika, karena cenderung memperkuat kewenangan Presiden hingga ke tingkat yang luar biasa besar.

Bahkan, dengan adanya Pasal 170 tadi, kekuasaan Presiden dalam proses penyusunan perundang-undangan jadi bersifat tunggal dan absolut, tak perlu lagi melibatkan parlemen.

Padahal, menurut Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, dengan jelas disebutkan bahwa pembentukan undang-undang merupakan kewenangan @DPR_RI bukan Pemerintah. Artinya, menurut konstitusi, DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk perundang-undangan.

Kalau kita lihat komposisi Prolegnas Prioritas 2020, dari 50 RUU yang akan dibahas, scra kuantitatif porsi yang diusulkan oleh DPR berjumlah 35 (70%), oleh Pemerintah jumlahnya 9 (18%) oleh @DPDRI jumlahnya 1 (2%), serta usul bersama oleh @DPR_RI dan Pemerintah berjumlah 5 (10%).

Secara kuantitatif, RUU inisiatif @DPR_RI terlihat seolah bersifat mayoritas. Namun, jika kita lihat secara kualitatif, satu RUU Omnibus Law Cipta Kerja yg diusulkan oleh Pemerintah akan mengubah sekitar 79 UU yang sudah ada.

Jumlah UU yang hendak diubah Omnibus Law ini terlalu banyak, sehingga menurut saya bersifat problematis dari sisi norma pembagian kekuasaan. Apalagi, ini bukan satu-satunya Omnibus Law yang diusulkan Pemerintah. Bayangkan, ada berapa banyak UU yang dikendalikan langsung oleh Presiden nantinya?

Kedua, ada ketidaksinkronan antara persoalan yang didiagnosis oleh Omnibus Law dengan resep yang disusunnya.

RUU ini dirancang sebagai solusi terhadap masalah ekonomi, pengangguran, dan investasi, namun resep-resep yang disusunnya justru bersifat kontraproduktif, bahkan cenderung destruktif bagi perekonomian.

Di satu sisi RUU ini ingin menciptakan lapangan kerja, namun isinya justru melemahkan dan cenderung mengabaikan hak-hak kaum pekerja.

Di sisi yang lain, meski bisa menciptakan kepastian hukum bagi investasi, namun isinya justru bisa menciptakan ketidakpastian stabilitas sosial-politik, mengingat luasnya penolakan atas RUU ini.

Ujungnya, saya melihat hal ini hanya akan kian menjauhkan investasi dari Indonesia, seiring meningkatnya “political risk” di negeri kita.

Dari draf Omnibus Law Cipta Kerja yang ada, pendapatan kaum buruh nantinya jelas terancam berada di bawah upah minimum, sehingga akan membuat konsumsi rumah tangga di Indonesia semakin tertekan.

Padahal, dalam struktur ekonomi Indonesia, konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, di mana bobotnya mencapai 56,6 persen.

Bagi investor, hal ini jelas akan menjadi catatan negatif yg signifikan atas beleid Omnibus Law. Pertama, potensi ketegangan di Indonesia potensial meningkat, akibat luasnya penolakan dan polemik.

Kedua, tingkat konsumsi di Indonesia potensial kian tertekan di masa mendatang. Logikanya, apa guna mereka berinvestasi di Indonesia, jika ketidakpastian sosial politiknya meningkat dan daya beli konsumen menurun?

Inilah yang saya sebut sebagai triple kesalahan Pemerintah. Mereka telah salah baca situasi, salah diagnosis, dan salah menyusun resep sekaligus.

Ketiga, melalui RUU ini Pemerintah di atas kertas telah mengabaikan perlindungan terhadap rakyatnya sendiri, padahal tujuan didirikan negara ini untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Dari sisi perburuhan, Omnibus Law Cipta Kerja akan menghilangkan upah minimum, menghilangkan pesangon, menjebak kaum buruh dalam status outsourcing seumur hidup, melegalkan tenaga kerja asing tak terdidik masuk ke Indonesia, menghilangkan jaminan sosial, dan memudahkan terjadinya PHK.

Hak-hak pekerja, yang saat ini masih dilindungi undang-undang, seperti Cuti Haid, Cuti Nikah, Cuti Melahirkan, atau Cuti Hari Keagamaan, dalam Omnibus Law juga tidak lagi dicantumkan dan diberi perlindungan.

Omnibus Law Cipta Kerja jg gagal memahami bhw hakikat dari kerja adalah untuk memanusiakan manusia. Kalau sekadar cipta lapangan kerja, pada zaman “cultuurstelsel” alias Tanam Paksa dulu pemerintah kolonial Belanda jg bisa menciptakan lapangan kerja bagi kaum pribumi.

Melalui proyek pembangunan infrastruktur Anyer-Panarukan, Daendels juga bisa menciptakan kerja paksa bagi kaum Bumiputera. Begitu juga dengan pemerintah kolonial Jepang, juga bisa menciptakan Kerja Romusha bagi rakyat kita.

Tapi apa cipta lapangan kerja semacam itu yang hendak kita repro di alam kemerdekaan sekarang ini?

Keempat, meski yg sering di-mention adlh soal investasi, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.

Pada 2019 lalu, World Economic Forum (WEF) merilis 16 faktor yang menjadi penghambat investasi di Indonesia. Dari 16 faktor tersebut korupsi adalah masalah utama yang dianggap menggangu dan merugikan investor.

Jadi, korupsi, termasuk di dalamnya suap, gratifikasi, favoritisme, serta uang pelicin, adalah penghambat utama investasi di Indonesia. Menurut kajian WEF, korupsi di Indonesia telah mengakibatkan persaingan tak sehat, distribusi ekonomi yg tak merata, serta ketidakpastian hukum.

Secara berturut-turut, 16 faktor penghambat investasi di Indonesia adlh 1) korupsi, (2) inefesiensi birokrasi, (3) akses ke pembiayaan, (4) infrastruktur tidak memadai, (5) kebijakan tidak stabil, (6) instabilitas pemerintah, (7) tarif pajak, 8) etos kerja buruh, (9) regulasi pajak, (10) inflasi, (11) pendidikan tenaga kerja rendah, (12) kejahatan dan pencurian, (13) peraturan tenaga kerja, (14) kebijakan kurs asing, (15) kapasitas investasi minim, dan (16) kesehatan masyarakat buruk.

Kita sama-sama bisa melihat regulasi ketenagakerjaan yg sudah ada posisinya sebenarnya tidak signifikan sbg penghambat investasi. Korupsi dan birokrasi pemerintahanlah sesungguhnya menjadi persoalan utama.

Sehingga, pertanyaannya kemudian knp yang diacak-acak oleh Omnibus Law untuk mendatangkan investasi ini justru regulasi ketenagakerjaan?

Lebih jauh lagi, benarkah Omnibus Law ini disusun untuk kepentingan mendatangkan investasi, ataukah sekadar memfasilitasi kepentingan pengusaha yang saat ini jadi kroni Pemerintah?

Kelima, Pemerintah mematok target yang tak masuk akal bagi pembahasan RUU ini. Presiden, misalnya, melontarkan pernyataan agar RUU ini bisa selesai dibahas dlm seratus hari kerja. Menurut saya , target itu jelas bermasalah.

Sbg gambaran, RUU ini jumlah pasal beserta penjelasannya, tebalnya mencapai 1028 halaman. Naskah akademiknya saja mencapai 2276 halaman.

Bagaimana bisa selesai dibahas dlm 100 hari kerja, sementara cacat akademis naskah itu begitu banyak? Lagi pula, kenapa harus selesai dibahas begitu cepat, jika persoalan yang diatur di dalamnya sebenarnya tak akan banyak manfaatnya bagi perbaikan ekonomi dan iklim investasi?

Saya melihat ada hal gelap yang melatarbelakangi RUU ini. Ketika pembahasan masih dilakukan di pemerintah, prosesnya saya perhatikan penuh dengan kerahasiaan.

Orang-orang yang ikut membahas RUU Omnibus Law ini bahkan sampai diminta komitmen untuk tidak membocorkan isinya, termasuk kepada lembaga negara yang berhak sekalipun.

Banyaknya rahasia yang ditutupi itu tentu saja menimbulkan pertanyaan, mengingat kita saat ini hidup di tengah iklim demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan.

Dengan lima alasan mendasar itu, saya sebagai anggota @DPR_RI meminta kepada Pemerintah menarik kembali draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dan saya ingin mengingatkan kepada para kolega saya anggota parlemen agar berhati-hati betul terhadap naskah Omnibus Law ini.

Terlalu banyak hal yang kita pertaruhkan kalau meloloskan RUU ini. Klaim manfaatnya bersifat utopis, sementara efek destruktifnya sangat jelas kelihatan di depan mata kita.

Para founding fathers dulu mendirikan negara ini untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, bukan untuk mengecernya pada para investor atau menjadikannya arena bancakan para oligarki bangsa kita sendiri. Indonesia is not for sale.

*Politisi Gerindra, Fadli Zon