Foto dokumentasi saat Anies Baswedan membantu warga yang terdampak banjir/IST

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Banjir itu musibah, atau malah berkah? Bergantung! Bagi masyarakat yang berdampak, banjir itu musibah. Tapi, bagi pemilik gerobak di daerah Hek Kramatjati Jakarta Timur, banjir itu berkah. Banjir dianggap sebagai peristiwa bisnis, karena telah membuka lapangan kerja dan menghadirkan pendapatan. Sejak tahun 2001-2007 kawasan Hek itu jalur saya berlalu lintas. Setiap musim banjir, warga selalu menyaksikan pemilik gerobak mengangkut motor plus pengendaranya. Saya adalah satu diantara ribuan pelanggan jasanya. Cukup bayar 5-10 ribu, kami sudah bisa menikmati transportasi gerobak itu.

Saat itu, masyarakat gak pernah menyoal siapa gubernur DKI dan presiden RI. Kami menghadapinya bersama, karena ini bagian dari musibah tahunan. Sudah biasa!

Saat ini, kami sudah pindah dan tinggal di daerah Tangerang Selatan. Komplek dekat rumah kami setiap tahun kebanjiran. Tidak hanya saat hujan, lagi cuaca terang pun air sungai seringkali naik dan masuk ke rumah-rumah warga. Dipastikan, itu air kiriman dari Bogor. Tak pernah terdengar warga disini menyalahkan walikota, gubernur atau presidennya. Bukan karena walikotanya cantik. Gak ngaruh

Kenapa kalau banjirnya di DKI, jadi heboh ya? Nah, kalau pendekatannya menggunakan analisis musibah, gak akan bisa menjelaskan kegaduhan yang selama ini terjadi. Sebab, banjir di DKI sudah dianggap sebagai peristiwa politik. Bukan lagi peristiwa alam, atau musibah. Disini, ada proses dan proyek politisasi. Maka, analisisnya harus menggunakan analisis politik, bukan analisis musibah.

Beda musibah, beda politik. Kalau memahami banjir sebagai musibah, maka akan terlihat data-data banjir dari BMKG, BPBD dan Bappenas. Berapa pengungsi, sebesar apa wilayah yang terdampak dan berapa lama banjir baru surut. Dan dari data Bank Indonesia (BI) kita akan tahu berapa besar kerugian ekonominya. Data-data ini tentu lebih proporsional dibanrding hasil survei Indobarometer di 34 provinsi beberapa waktu lalu.

Dari data yang ada, musibah banjir di DKI saat ini jauh berkurang dilihat dari luas wilayah terdampak, jumlah pengungsi, durasi waktu, bahkan kerugian ekonomi, dibanding tahun 2013 (era Jokowi) dan tahun 2015.(era Ahok). Untuk wilayah terdampak, jumlah pengungsi dan durasi waktu sudah sering saya tulis datanya. Itu data dari BMKG, Bappenas dan BPBD. Data-data ini resmi, karena dikeluarkan oleh lembaga resmi. Berarti bisa dipertanggungjawabkan. Silahkan dicek lagi.

Soal kerugian ekonomi, Bank Indonesia (BI) perwakilan DKI menjelaskan bahwa kerugian ekonomi akibat banjir di DKI tahun ini makin kecil jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini kerugian ekonomi akibat banjir di DKI 960 miliar. Dibanding dengan tahun 2002 kerugiannya 9,8 triliun. Tahun 2007, kerugiannya 8,8 triliun. Tahun 2013 kerugiannya 1,5 triliun. Tahun 2014 kerugiannya 5 triliun. Dan tahun 2015 kerugian akibat banjir di DKI 1,5 triliun. Jadi, dari sisi kerugian ekonomi akibat banjir di DKI terus menurun. Ini disebabkan karena wilayah terdampak, jumlah pengungsi dan durasi waktu banjir makin menyusut. Maka otomatis menyusut pula kerugian ekonominya.

Lagi-lagi, ini data musibah. Ada trend membaik dalam penanganan banjir di DKI dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini tentu setiap gubernur punya kontribusinya.

Data-data riil seperti ini menjadi kabur ketika banjir dianggap sebagai peristiwa politik dan bisnis, lalu dijadikan kesempatan untuk menyerang Gubernur DKI. Disinilah awal kegaduhan itu terjadi.

Sebagai peristiwa bisnis,, banjir menjadi berkah bagi para buzzer karena banyak order. Sebagai peristiwa politik, banjir memberi ruang bagi sejumlah pekerja politik untuk mendown grade Gubernur DKI.

Dugaan ini mudah untuk dujelaskan. Pertama, banjir merata di wilayah Indonesia, termasuk Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI dan Banten. Mengapa hanya Anies yang dipersoalkan, bahkan diserang? Kedua, data-data tentang banjir dari tahun ke tahun terang benderang. Bahwa di era Anies, jauh lebih kecil dampak banjirnya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kenapa bukan gubernur-gubernur sebelumnya yang disoal? Ketiga, serangan ke Anies tidak saja massif, tapi polanya konsisten. Wajar kalau banyak analis menilai ini by design. Akhirnya banyak yang menyimpulkan bahwa kegaduhan akibat banjir di DKI hanya soal berapa yang sudah cair.

Berulangkali saya tulis. Ada tiga kelompok yang layak diduga sebagai penyerang Anies. Pertama, mereka yang belum move on. Tapi, jumlah kelompok ini makin sedikit. Ini karena Anies mau merangkul kelompok-kelompok yang dulunya bukan pendukung. Kehadiran Anies di gereja, wihara dan menghadiri berbagai kegiatan keagamaan, bahkan memberi ijin berdirinya tempat beribadah yang tak pernah berhasil mendapat ijin dari gubernur-gubernur sebelumnya adalah bagian dari upaya untuk menegaskan bahwa Anies adalah Gubernur seluruh warga DKI, tanpa diskriminasi. Anies gubernur semua etnis, agama dan golongan.

Kedua, kelompok yang bisnisnya terganggu oleh kebijakan gubernur. Terutama bisnis properti dan dunia hiburan. Sejumlah bisnis di Jakarta ditutup setelah terbukti melanggar aturan. Mereka inilah yang dicurigai berada di balik bullyan dan penyerangan terhadap Anies.

Ketiga, mereka yang punya kepentingan terhadap pemilu 2024. Sebab, bersumber dari sejumlah survei, nama Anies paling populer dan tertinggi elektabilitasnya untuk menjadi presiden 2024. Hanya Prabowo yang bisa menyaingi elektabilitas Anies.

Semakin dekat ke 2024, serangan terhadap Anies diprediksi akan semakin sistematis dan massif. Bahkan terstruktur jika pihak pengendali kekuasaan berseberangan secara politik dengan Anies.

Meski begitu, serangan terhadap Anies, termasuk diantaranya melalui peristiwa banjir selalu gagal. Semua terbantahkan oleh data yang ada di lembaga-lembaga resmi negara. Dari sisi data, penanganan banjir di masa Anies jauh lebih baik dari masa-masa gubernur sebelumnya. Data ini gak mungkin bisa dirubah dan dibantah.

Bagi yang gak suka, atau bahkan membenci Anies, mereka gak peduli dengan data. Pokoknya Anies harus salah. Anies gak boleh jadi presiden. Tapi sayangnya, rakyat tidak seluruhnya buta. Kerinduan rakyat atas kebenaran tak akan selamanya bisa dimanipulasi, apalagi dibohongi.

Malah sebaliknya, semakin dibully dan diserang, kebenaran data yang terungkap justru membuat popularitas, bahkan elektabilitas Anies makin tinggi. Mungkin ini juga yang disebut berkah.

Jakarta, 2 Maret 2020