Andi Samsan Nganro, Juru BIcara MA/IST

JAKARTASATU.COM – Meski mayoritas masyarakat Indonesia menyatakan keberatan, tetap saja iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah naik awal tahun 2020 ini. Adapun kenaikan yang telah dikenakan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 75 tahun 2019 tentang jaminan kesehatan.

Terkait hal tersebut, dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengungkapkan kenaikan ini telah disetujui dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun 2019 lalu. Sehingga jika memang akan ada perubahan, harus sesuai dengan persetujuan presiden.

“BPJS Kesehatan sesuai UU nomor 30 tahun 2014 harus meminta persetujuan langsung, dalam hal ini Presiden karena ada potensi untuk mengubah anggaran,” kata Fahmi di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/2/2020) lalu. Itu artinya hanya Jokowi menurut Fahmi yang bisa membatalkan kenaikan iuran BPJS yang telah ditetapkan tersebut.

Namun tak perlu waktu lama, ternyata Fahmi keliru. Ketika Jokowi yang dianggap paling bisa namun tidak mau membatalkan kenaikan tersebut, ternyata ada lembaga lain yang mampu melakukannya di luar yang disebutkan Fahmi.

Terbukti ketika akhirnya Mahkamah Agung (MA) berhasil mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Ternyata melalui putusannya, MA mampu membatalkan kenaikan iuran BPJS yang sudah notabene berlaku per 1 Januari 2020 kemarin.

Pembuktian kemampuan MA ini bermula dari kasus saat Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) menyatakan keberatan dengan kenaikan iuran BPJS tersebut. Dus, komunitas ini pun kemudian menggugat ke MA dan meminta agar kenaikan tersebut dibatalkan. Hebatnya, ternyata gugatan itu berhasil. Tak banyak yang memperkirakannya, ternyata MA mengabulkan permohonan itu.

“Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegas juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro kepada wartawan Senin (9/3/2020).

Siapa saja tim hakim yang berani membatalkan kenaikan BPJS tersebut? Berikut susunan hakim yang memenangkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS tersebut adalah Supandi sebagai ketua majelis yaitu dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.

Menurut keputusan MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

“Bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan,” putus majelis.

Adapun pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku tersebut adalah pasal berikut:

Pasal 34

(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.

Yang jelas, dengan ditetapkannya putusan final dari MA tersebut, menurut pengamat politik Muhammad Said Didu seperti yang telah dilansir jakartasatu.com (9/3/2020), maka hal itu akan memunculkan masalah baru bagi pemerintah. “Datang masalah baru bagi pemerintah untuk membayar defisit BPJS Kesehatan,” katanya, Senin (9/3/2020). Kira-kira mampukah pemerintah mengatasi hal tersebut di tengah berbagai permasalahan yang ada saat ini? |WAW-JAKSAT