Gedung Pertamina/istimewa

JAKARTASATU.COM – Omnibus Law Cipta Kerja (Cika) atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Cika yang sudah diserahkan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan banyak menuai protes khususnya dari serikat pekerja atau serikat buruh, karena dianggap merugikan posisi pekerja atau buruh dan menguntungkan pengusaha atau pihak investor. Memang perlu sosialisasi yang komprehensif, mengingat maksud dan tujuan Pemerintah dalam merancang omnibus law adalah baik serta untuk perspektif visi Indonesia Maju yang menjadi visi Presiden Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) pada periode keduanya.

Namun terhadap omnibus law cika di sektor minyak dan gas bumi (migas) dalam pandangan eSPeKaPe (Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina) yang tujuan Pemerintah dan DPR bermaksud membentuk Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) sektor migas, tak perlu disosialisasikan karena tidak semudah membalik telapak tangan membentuk BUMNK Migas.

Terlepas apapun teori akademisnya dalam pandangan eSPeKaPe yang dirilis oleh Pendiri dan Kahumas eSPeKaPe Teddy Syamsuri untuk pers (7/3/2020), sebaiknya tak perlu jadi bagian di RUU Cika. Itu sebab, eSPeKaPe menolak Omnibus Law Cika disektor migas.

Sebagaimana diketahui untuk membangun sektor migas sangat membutuhkan high cost, high technology, high human resources, dan high cost. Artinya, dalam bermaksud membentuk BUMNK Migas harus memperhitungkan kesiapan financial, teknologi, sumber daya manusia (SDM) dan tingginya resiko, khususnya untuk kegiatan usaha hulu (down stream) migas.

Pertanyaannya, apa sesungguhnya kepentingan dibalik maksud dibentuknya BUMNK Migas yang baik pihak Pemerintah maupun pihak DPR terkesan sepakat untuk menggoalkannya?

Sebagaimana diketahui pula, ketika sumber daya alam (SDA) migas potensial yang terkandung didalam bumi dan didalamnya dasar laut disebut dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, merupakan kegiatan usaha hulu migas. Serta cabang-cabang produksi migas yang dihasilkannya adalah menjadi produksi vital dan strategis yang dikuasai negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, merupakan kegiatan usaha hilir (up stream). Hendaknya tidak merupakan kegiatan usaha sektor migas yang bersifat spekulatif.

“Kegiatan usaha baik di hulu maupun di hilir sektor migas, itu merupakan amanat konstitusi negara dalam dua ayat sekaligus, yakni Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 45, yang tidak diamanatkan kepada badan usaha milik negara (BUMN) yang lain. Ini yang perlu lebih dulu dipikirkan agar dalam membangun sektor migas tetap tunduk pada amanat konstitusi negara. Jangan grusah-grusuh yang justru melanggar amanat konstitusi negara itu sendiri”, ujar Teddy Syamsuri yang Ketua Umum Lintasan ’66 dan juga Sekretaris Dewan Pembina Seknas Jokowi DKI.

Menurut Pendiri dan Kahumas eSPeKaPe Teddy Syamsuri, jika kita ingin membangun kilang minyak saja sudah banyak dilemanya yang tak mudah diprediksi.

Dari sisi tekanan dolar Amerika Serikat dan harga minyak mentah (crude oil) saja sudah memberikan dampak yang berat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan demikian, Pemerintah harus merumuskan untuk bisa meredam volatilitas harga minyak dunia yang tidak bisa diprediksi. Siklusnya dari volatilitas itu, eratic, magnitude, dan frekuensinya tidak berbenturan. Sehingga harus ada usaha Pemerintah yang terpadu dan terencana dengan baik.

Sementara sensitivitas volatilitas crude oil sangat tinggi terkait adanya tensi geo politik terutama yang bergejolak di Timur Tengah. Lalu, adanya upaya menghentikan proyek renewable dan shale, baik untuk minyak maupun gas. Begitu pula normatif supply and demand harus diperhitungkan, termasuk terhadap future marketnya.

Untuk meredam dilema di kilang minyak saja, Indonesia harus melakukan mitigasi terhadap tekanan harga crude oil yang akan mempengaruhi secara signifikan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Sehingga bisa dibilang adanya program pembangunan kilang minyak belum bisa memberikan solusi terhadap ketergantungan energi karena crude oil mau tidak mau, suka tidak suka, harus tetap di impor. Ini merupakan dilema membangun kilang minyak yang harus juga dipertimbangkan secara matang”, tutur Teddy Syamsuri.

Jika kita dekatkan dari sejarah pendirian Pertamina pada 10 Desember 1957, oleh para founding fathers diusahakan untuk dipayungi oleh undang-undang agar ada pegangan kepastian hukumnya.

Diawali dengan dikeluarkan UU No. 44 Peraturan Pengganti (Prp) Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Kemudian diperkuat dengan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

Selanjutnya dikeluarkan UU No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-undang. Itu sebab berlatarbelakang UU No. 9 Tahun 1969, Pertamina yang didirikan pada tahun 1957 dipayungi oleh UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang oleh kita disebutnya UU Pertamina.

“Artinya UU Pertamina No. 8 Tahun 1971 itu ada karena bersumberkan UU No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-undang. Regulasi yang spesifik terkait amanat konstitusi negara dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 45, yang membedakan dengan UU Ketenagalistrikan yang tidak disebut UU PLN misalnya. Jadi, jangan diperdebatkan lagi. Karena katanya, dilarang nama perusahaan BUMN dipakai nama perundang-undangan sendiri.

Sehingga dengan alasan larangan yang tak berdasar hukum itu, UU Pertamina No. 8 Tahun 1971 tidak diberlakukan lagi dengan keluarnya UU Migas No. 22 Tahun 2001, yang justru setelah dipreteli oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ditahun 2002 dan tahun 2012, UU Migas No. 22 Tahun 2001 itu menjadi bolong-bolong dan invalid.

Sebelum UU Pertamina dikubur oleh UU Migas, dalam kurun waktu 1970-1997 sebelum reformasi, dengan adanya tambahan kapasitas produksi crude oil 853 ribu barel per hari (bph), sehingga total kapasitas produksi crude oil menjadi 1,056 juta bph. Justru saat masuk rezim reformasi dengan diberlakukannya UU Migas, anjlok sampai tinggal sekitar 800 ribu bph.

Dalam pendekatan historis menurut pencermatan seksama Pendiri dan Kahumas eSPeKaPe Teddy Syamsuri, kapasitas produksi dari kilang minyak milik Pertamina jelas kredibel.

Tahun 1970 kilang minyak Dumai dan Sungai Pakning punya kapasitas produksi 170 ribu bph. Tahun 1974, kilang minyak Cilacap punya kapasitas produksi 100 ribu bph.

Lalu dengan adanya perluasan kilang minyak Dumai, Cilacap dan Balikpapan di tahun 1983, bertambah kapasitas produksi 400 ribu bph. Ditambah dengan pembangunan kilang minyak Kasim meskipun hanya punya kapasitas produksi 10 ribu bph, namun yang pasti ada tambahan kapasitas produksi.

Selanjutnya tahun 1990 dibangunlah kilang Exor I (export oriented refinery) yang disebut kilang minyak Balongan dan bisa beroperasi tahun 1994, punya kapasitas produksi 125 ribu bph.

“Dengan tambahan kapasitas produksi dari kilang minyak milik Pertamina itulah selama 27 tahun (1970-1997) dengan tambahan kapasitas produksi 853 ribu bph, total kapasitas produksi menjadi 1,056 juta bph itu tadi. Dan, ini terjadi ketika Pertamina punya payung regulasinya sendiri, yakni UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina. Sayangnya total kapasitas produksi dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang kemudian membuat kapasitas produksi anjlok”, beber Teddy Syamsuri.

Dengan persandingan Pertamina saat dipayungi UU No. 8 Tahun 1971, dalam membangun kilang minyak kiranya sudah memperhatikan antara lain : Mitra harus memiliki akses kapital; Mitra harus mempunyai akses untuk supply and demand; Dan mitra harus memiliki supporting industri dan machenery, sehingga ada early warning.

Artinya, begitu diperhatikannya oleh Pertamina terkait hubungan kemitraan dengan kontraktor kontrak asing dan yang konsisten memberlakukan aturan Product Sharing Contact (PSC) atau Kontrak Produk Sharing (KPS) atau Kontrak Bagi Hasil, yang ditentukan dalam UU Pertamina.

Dari pendekatan historis dan empirisnya, maka eSPeKaPe berpendapat atas pertimbangan Revisi RUU Migas yang mangkrak dan tidak masuk Proglegnas tahun 2020-2024, adalah momentum sangat baik untuk regulasi sektor migas kembali ke UU Pertamina No. 8 Tahun 1971.

Tentu menurut hemat Pendiri dan Kahumas eSPeKaPe Teddy Syamsuri, wajib mengikuti perkembangan dengan perlunya revisi UU Pertamina dengan addendum. Sebab pola PSC atau KPS itu sebagaimana diketahui sudah sangat kapabel, dan outputnya berkesesuaian dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 45. Coba perhatikan Petronas asal Malaysia dan Petrobas asal Brazilia, kedua perusahaan milik negara tersebut maju oleh karena mengadopsi aturan PSC atau KPS yang digunakan oleh Pertamina lebih dulu.

“Oleh sebab itu dalam pandangan eSPeKaPe, berpendapat. Buat apa lagi membentuk BUMNK Migas? Bukankah sudah ada BUMN Pertamina yang sudah ikut menjadi pemain dunia disektor migas, kenapa mesti cari-cari bentuk BUMNK Migas yang bisa jadi bernasib sama dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang pads tahun 2012 dibubarkan oleh Keputusan MK karena jelas melanggar konstitusi negara. Hanya itu concern eSPeKaPe. Dan, penolakan terhadap Omnibus Law Cika disektor migas yang bermaksud membentuk BUMNK Migas, karena merupakan bagian dari kewajiban dan tanggungjawab moral eSPeKaPe untuk tetap konsisten terhadap komitmen ‘Kawal Pertamina Harga Mati’ tanpa reserve. Mohon maaf dan maklumnya, baik untuk Pemerintah maupun untuk DPR. Sebab diyakini membetuk BUMNK Migas dengan mengesampingkan eksistensi Pertamina, diduga mengundang mudhorat ketimbang manfaatnya”, pungkas Pendiri dan Kahumas eSPeKaPe Teddy Syamsuri di markas eSPeKaPe di Jl. Raya Jatinegara Timur No. 61-65 Jakarta Timur 13310.