JAKARTASATU.COM– Marwan Batubara dari IRESS pernah memberikan catatan kepada pemerintahan Jokowi terkait diangkatnya Ahok menjadi Komut Pertamina, khususnya kepada MenBUMN Erick Tohir. Namun tampaknya catatan, atau yang ia sebut sebagai surat itu tak berbalas. Pun dari KPK, yang ia sempat singgung terkait dugaan korupsi Ahok.
Untuk mengingatkan pemerintah akan masa depan Pertamina dan atau bangsa—negara lebih baik, tulisan Marwan pun kembali viral. Berikut surat Marwan yang ditulis untuk MenBUMN, dan juga KPK:
Surat ini menanggapi pembelaan Bapak terhadap Ahok untuk mempertahankan posisinya sebagai Komut Pertamina, dalam rangka menanggapi tuntutan kami agar Ahok segera dilengserkan dari jabatannya (21/2/2020).
Kami meminta agar Bapak segera melakukan pelengseran tersebut, karena yang bersangkutan terlibat dalam berbagai kasus dugaan korupsi seperti telah kami laporkan kepada KPK pada 19 Juli 2017 yang lalu, sebagaimana kami lampirkan pada surat terbuka ini.
Perlu diketahui bahwa karena perlindungan dari KPK sajalah, dengan menyatakan Ahok tidak mempunyai “Niat Jahat” (mens rhea), maka dalam kasus Korupsi RS Sumbet Waras, yang bersangkutan bebas dari jerat hukum! Padahal alat-alat bukti tipikornya sudah lebih dari cukup sebagaimana dipersyaratkan!
Dalam kasus-kasus korupsi lain seperti kasus Simpang Susun Semanggi dan Dana CSR, Ahok dengan leluasa menggunakan dana publik secara off-budget, dan ini jelas melanggar UU No.17/2003, UU No.1/2004, UU No.30/2014 dan PP No.58/2005.
Bagaimana mungkin Bapak membiarkan BUMN milik rakyat dikelola oleh orang yang biasa melanggar prinsip-prinsip GCG dan melanggar sekian banyak UU, sementara yang bersangkutan menipu publik dengan menyatakan hal tersebut sebagai keberhasilan?
Apakah Bapak ingin ikut-ikutan pula menipu publik?
Ingatlah bahwa, sesuai alinea ke-4 Pembukaan UUD1945, Pemerintah antara lain berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, hindarilah pernyataan dan modus-modus yang justru membodohi rakyat.
Kami persilakan Bapak membaca dan meresapi ringkasan 7 atau 8 dugaan kasus korupsi Ahok yang kami uraikan di bawah ini.
Akhirnya, kami meminta agar Kementrian BUMN segera melengserkan Ahok dari posisi Komut Pertamina.
Terima kasih atas perhatian dan rencana keputusan yang akan diambil.
Ttd,
Marwan Batubara, IRESS
Ditujukan kepada MenBUMN, Erick Tohir
SURAT KEPADA KPK
Jakarta, 19 Juli 2017
Kepada Yth.:
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Di
Jakarta
Dengan Hormat,
Terlampir bersama surat ini kami sampaikan ringkasan sejumlah kasus dugaan korupsi dan buku “Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok” yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Sebagian dari kasus-kasus tersebut bahkan telah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun tidak jelas kelanjutannya.
Kami khawatir KPK telah berlaku tidak profesiona dan tidak taat hujuml dalam penanganan kasus-kasus dugaan korupsi tersebut, sehingga terkesan “pilih-tebang” dan membuat sejumlah kasus korupsi besar justru dihentikan.
KPK dinilai abai, zolim dan sengaja melupakan kasus-kasus korupsi bernilai miliaran atau triliunan Rp, seperti skandal mega-korupsi BLBI atau Bank Century. Untuk itu KPK dinilai terus mencari-cari alasan agar proses hukum tersebut dihentikan.
Di sisi lain, dalam rangka menjaga citra dan agar tetap mendapat dukungan publik guna mempertahankan eksistensi, KPK terlihat sangat aktif mengusut kasus-kasus korupsi bernilai ratusan juta Rp melalui operasi tangkap tangan (OTT). Bahkan dalam beberapa kasus, dinilai status OTT terhadap “objek” yang menjadi sasaran KPK sedikit dipaksakan, atau bahkan terindikasi bernuansa politis.
Sikap dan sepak terjang KPK seperti di atas tentu jauh dari harapan publik. Bahkan yang lebih penting, kebijakan dan pola kerja yang ditempuh KPK tersebut telah membuat pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan di tempat, dan tujuan awal pembentukan KPK sesuai amanat reformasi dan perintah UU semakin jauh dari target yang ingin dicapai.
Kami tidak ingin KPK berubah peran menjadi alat politik penguasa, sehingga menimbulkan adanya “penyanderaan” atau barter kasus yang berujung pada dihentikannya proses hukum. Kami pun tidak mengharapkan bertambah atau berubahnya peran KPK menjadi bagian dari perangkat politik penguasa guna “menjinakkan” para pimpinan partai yang menjadi lawan politik penguasa.
Kami juga sangat khawatir KPK menjelma menjadi lembaga pelindung koruptor guna mengamankan kepentingan oligarki penguasa-pengusaha. Sikap KPK ini terlihat dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan Ahok.
Untuk maksud tersebut, pimpinan KPK sampai perlu membuat pernyataan “absurd” bahwa Ahok tidak memiliki niat jahat, meskipun alat bukti guna memeroses kasus sudah lebih dari cukup.
Sehubungan dengan uraian diatas, kami meminta agar KPK segera melanjutkan proses hukum terhadap Ahok atas berbagai dugaan korupsi yang dilakukan, seperti kami ringkaskan terlampir, bukan menghentikannya.
Dengan demikian, KPK sekaligus dapat membuktikan diri bukan pelindung koruptor, alat politik penguasa, atau bagian dari oligarki penguasa-pengusaha guna mempertahankan dominasi.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan komitmen pemberantasan korupsinya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Atas nama Aliansi Publik Anti Korupsi:
SatuNegeri, GIB, IMM, KAMMI, IRESS, IEPSH, TPUA, BMW, NSEAS, KOKAM, dll.
Dr. Eggi Sujana/TPUA
Dr. Marwan Batubara/Tim SatuNegeri
Lampiran 1
Kasus-kasus Dugaan Korupsi Ahok
1. Kasus RS Sumber Waras
Berbagai pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) adalah sebagai berikut:
· Mengubah nomenklatur R-APBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI, dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus backdated;
· Mengabaikan rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan RSSW. Hal ini melanggar Pasal 20 Ayat 1 UU No.15/2004;
· Berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Hal ini melanggar Pasal 13 Undang-Undang No.2/2012 dan Pasal 2 Perpres No.71/2012;
· Bepotensi tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya digelapkan;
· Berpotensi tambahan kerugian negara miliaran Rp dari sewa lahan, dan bertentangan dengan Pasal 6 Permendagri No.17/2007, PP No. 27/2014 dan UU No 17/2003.
KPK ternyata melindungi Ahok dengan menyatakan tidak ditemukannya niat jahat Ahok. Padahal dari hasil audit BPK, tampak jelas indikasi perbuatan melawan hukum dan kerugian negara oleh Ahok. Tampaknya KPK bertindak absurd dan berhasil ditaklukkan Ahok.
2. Kasus Lahan Taman BMW
Diduga Ahok terlibat tindak pidana korupsi dalam kasus Taman BMW ini sbb:
· Tanah BMW yang diklaim Agung Podomoro (AP) akan diserahkan pada Pemda DKI sebagai kewajiban, bukanlah miliknya; lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau lahan BMW menjadi milik Pemda DKI;
· Telah terjadi pemalsuan tandatangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP;
· Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP. Terjadi manipulasi pembuatan sertifikat atas sebagian lahan, bukan seluruh lahan;
· Hal di atas melanggar PP No 24/1997 dan PMNA No 3/1997, tanah yang sedang sengketa tidak bisa disertifikatkan. Dokumen alas hak sertifikasi tidak sah;
· Pada APBD 2014 rencana pembangunan stadiun BMW ini ditolak DPRD DKI. Ahok tetap menganggarkan dana pembangunan stadion dalam APBD 2015.
Melihat potensi kerugian negara yang mencapai puluhan miliar rupiah akibat korupsi ini, maka KPK perlu segera menindaklanjuti.
Pejabat yang dinilai terlibat adalah Jokowi-Ahok dan gubernur-wagub periode sebelumnya, dan Ahok salah satu yang sangat berperan.
3.Kasus Lahan Cengkareng Barat
Terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan mantan Gubernur DKI Ahok dalam pembelian lahan di Cengkareng Barat, yakni:
. Sesuai audit BPK, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Pemda sendiri di Cengkareng Barat dari Toeti Noezlar Soekarno. Negara berpotensi dirugikan Rp 668 miliar;
. Terjadi penyalahgunaan dana APBD yang melanggar UU No.20/2001, tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor;
. Dalam proses pembelian lahan terdapat pelanggaran gratifikasi oknum PNS Pemprov DKI Rp10 miliar, yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001;
· Sebagai kepala daerah, Ahok bertanggung jawab atas kerugian negara dan pelanggaran hukum karena berperan mengeluarkan disposisi untuk mengeksekusi pembelian lahan;
· KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memeroses dan menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namum menghentikan kasus korupsinya sendiri, Rp668 miliar.
Pembelian lahan Cengkareng Barat dilakukan karena adanya disposisi Pimpinan Pemprov DKI. Polri, Kejagung dan KPK seharusnya mampu menelusuri masalah disposisi dan kasus ini. Tapi ketika berhadapan dengan Ahok, lembaga-lembaga ini seolah lumpuh!
4. Kasus Dana CSR
Kasus dana CSR melibatkan Ahok Centre yang dipimpin dan dikelola oleh Ahok bersama tim sukses. Beberapa pelanggaran yang dilakukan terkait dengan kasus ini adalah:
· Dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai puluhan-ratusan miliar Rp, ternyata oleh Ahok tidak dimasukkan kedalam APBD, tetapi dikelola oleh Ahok Centre;
· Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center diluar APBD antara lain melanggar 1) UU No.40/2007 tentang PT; 2) PP No.47/2012 tentang TJSL; 3) Pemern BUMN N0.5/2007 tentang Kemitraan BUMN; 4) PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; dan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.
Pembangunan di Jakarta banyak menggunakan dana CSR, dan untuk itu Ahok bekerja sama dengan pengembang.
Kerjasama ini sarat kepentingan dan ada motif kongkalikong yang jauh dari pantauan DPRD dan publik, sehingga rawan terhadap tindak pidana KKN.
DPRD DKI Jakarta telah mendesak audit dana CSR yang dikelola Ahok Centre, namun tidak jelas kelanjutannya.
Pada Februari 2016 diberitakan KPK telah mengusut kasus ini. Tapi, hingga Juni 2017, hasil pemeriksaan KPK tersebut tidak pernah diketahui publik!
Tampaknya sikap KPK sama dengan sikap saat menanggapi kasus RSSW: “Ahok tidak punya niat jahat”. Ahok terlihat dilindungi KPK, sehingga proses hukumnya berhenti.
5. Kasus Korupsi di Belitung Timur
Sebelum dan setelah menjadi Bupati di Belitung Timur Ahok diduga telah terlibat dalam:
. Kasus pengadaan/anggaran ganda pada revitalisasi muara di Beltim. Proyek Pemda ini fiktif karena proyek revitalisasi dilakukan oleh PT Timah;
· Kasus penambangan Kaolin dan Pasir Kuarsa secara ilegal di Hutan Lindung Gunung Noya melalui 4 perusahan Ahok. Kasus ini telah diusut oleh Mabes Polri pada 2010;
· Berkat pendekatan oleh Ahok sebagai Anggota DPR saat itu, pada awal 2011 Mabes Polri melimpahkan pengusutan kasusnya Polda Bangka Belitung.
Polda Babel sudah menyatakan kasus penambangan ilegal berstatus “P-21”, untuk diteruskan ke Kejati Babel. Sebagai anggota DPR, Ahok melobi banyak kalangan, sehingga kasus dengan ancaman hukuman 12 tahun ini berhasil dihentikan sampai sekarang.
Rakyat pantas mendesak Polri, Kejagung atau KPK menuntaskan kasus dugaan korupsi di atas.
Apalagi, ternyata rakyat selama ini telah ditipu dengan citra positif tentang sosok Ahok yang profesional, jujur, berani dan anti korupsi, yang ternyata adalah penipu dan koruptor!
*6. Kasus Reklamasi*
Berdasarkan fakta-fakta persidangan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya, serta analisis sejumlah pakar, disimpulkan dugaan KKN Ahok dalam kasus reklamasi sbb:
· Dari kasus penggusuran Kalijodo, Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Wijaya mengaku telah menggelontorkan dana miliaran rupiah (Rp) untuk menggusur rakyat. Dana diberikan atas permintaan Ahok, dengan kompensasi APL mendapatkan izin dan hak membangun sejumlah pulau reklamasi di Teluk Jakarta;
· Ahok juga melakukan transaksi terselubung dengan para pengembang dengan suap miliaran atau puluhan miliar rupiah. Ahok telah memberikan izin-izin reklamasi, padahal pembahasan Raperda Zonasi Wilayah dengan DPRD DKI masih berlangsung;
· PTUN telah memenangkan gugatan rakyat atas tanah di pulau-pulau reklamasi, yang berarti proyek reklamasi berstatus ilegal. Di di sisi lain sejumlah pengembang telah melakukan marketing, padahal mereka belum memiliki IMB dan dokumen Amdal;
· Berdasarkan fakta sidang-sidang M. Sanusi, Ahok setuju menurunkan kontribusi tambahan 15 persen NJOP menjadi 5% NJOP. Ahok merestui langkah Sunny Tanuwijaya melobi anggota DPRD DKI agar poin kontribusi dapat direvisi;
· Menurut Krisna Murti (kuasa hukum Sanusi), Sunny T. adalah “tangan kanan” Ahok yang berperan menjembatani ekskutif, pengusaha dan DPRD DKI guna tercapainya “kesepakatan” Raperda Reklamasi. Ahok jelas terlibat KKN dalam penetapan raperda;
· Sugianto Kusuma (Aguan) telah memberikan dana Rp 220 miliar kepada Pemprov DKI. Hal ini merupakan pelanggaran gratifikasi oleh Ahok dan oknum Pemprov DKI;
· Meskipun fakta-fakta persidangan jelas menunjukkan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, namun KPK menghentikan proses pengadilan terhadap ketiganya;
· Jika mengacu pada potensi keuntungan seluruh proyek reklamasi 17 pulau yang mencapai Rp 560 triliun dari total pendapatan Rp 566 triliun, maka potensi kerugian negara akibat penurunan kontribusi dari 15% menjadi 5% adalah sekitar Rp 56 triliun!;
Pelanggarakan hukum yang dilakukan Ahok dalam proyek reklamasi meliputi:
. Menyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain, yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001 tentang Tipikor;
. Mendirikan bangunan tanpa Amdal, yang melanggar Pasal 22 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
. Menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Zonasi, yang melanggar UU No.1/2014 berupa perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
. Menerbitan izin reklamasi diluar kewenangan Pemprov DKI, dan bertentangan dengan PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
. Menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP No. 54/2008;
. Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Ketua KPK Agus Rahardjo (1/4/2016) mengatakan penangkapan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya berpotensi merugikan negara hingga Rp 1,14 miliar.
Namun menurut Agus potensi korupsi lanjutan lebih besar, terlihat dari bagaimana pihak swasta memengaruhi pembuat kebijakan publik tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. Kata Agus, proyek reklamasi adalah grand corruption, dan sangat mungkin bagi pengembang untuk melakukan suap ratusan miliar atau trilunan rupiah terutama kepada yang berwenang menerbitkan izin.
Agus Rahardjo mengatakan pelaksanaan proyek reklamasi dapat merugikan negara –puluhan-ratusan triliun rupiah. Ternyata Agus dan KPK double standard. KPK tidak melanjutkan proses hukum terhadap Ahok, Sunny dan Aguan. KPK tampaknya telah takluk.
7. Kasus Dana Non-Budgeter
Praktik dana non-budgeter dilakukan Ahok pada banyak kasus. Dengan dalih memiliki hak diskresi, Ahok membarter pembangunan fasilitas umum dengan penerbitan izin dan penetapan nilai kontribusi proyek reklamasi. Ahok juga memanfaatkan dana CSR secara off-budget untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Berdasarkan pengakuan Ariesman Widjaja (APL) kepada penyidik KPK, terdapat 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan APL, yang anggarannya akan dijadikan pengurang “kontribusi tambahan” proyek reklamasi. Pengurangan terjadi kalau APL membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta.
Ternyata pembangunan sejumlah sarana di DKI dilakukan Ahok memanfaatkan dana non-budgeter. Hal ini sering diklaim sebagai langkah inovatif dan keberhasilan. Namun dibalik klaim dan pencitraan tersebut tersembunyi berbagai tindakan berbau KKN, karena penerapan skema dana non-budgeter melanggar hukum dan prinsip good governance.
Ahok bisa saja mengklaim tidak menerima gratifikasi seperti yang dilakukan mantan Kertua DPD RI Irman Gusman, penerima suap Rp 100 juta. Namun dana non-budgeter tersebut merupakan uang milik negara yang dimanfaatkan secara serampangan dan suka-suka, karena tidak masuk APBD dan bebas dari pengawasan DPRD atau publik. Sehingga potensi korupsinya justru jauh lebih besar dan dapat mencapai puluhan triliun rupiah.
Ahok menjalankan skema dana non-budgeter, mengelola keuangan daerah seolah dana milik perusahaan keluarga. Hal ini berpotesi merugikan keuangan daerah DKI puluhan triliunan Rp. Tindakan bejad, serampangan dan sarat KKN ini minimal melanggar ketentuan dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pengelolaan dana dan pembangunan berdasarkan skema non-budgeter termasuk kategori mega korupsi! Karena itu sudah sepantasanya Ahok diproses secara hukum. Langkah yang perlu segera diambil adalah audit investiagtif BPK dan pengusutan oleh KPK. Selain itu, DPR RI pun harus mengajukan Hak Angket atas kasus dana non-budgeter ini.
*8. Kasus Penggusuran Brutal oleh Ahok*
Ahok dapat dikategorikan sebagai pejabat publik penggusur paksa paling brutal sepanjang sejarah Indonesia.
Ahok menggusur puluhan kampung di Jakarta dengan tiga pola sistemik berupa stigmatisasi, menyatakan tanah yang akan digusur adalah tanah negara, justifikasi menyatakan bahwa penggusuran dilakukan demi pembangunan dan kepentingan umum, dan langkah pamungkas: hancurkan, tanpa musyawarah, ganti rugi, dlll.
Ternyata motif dibalik sebagian besar penggusuran oleh Ahok adalah kepentingan bisnis para pengembang. Dengan pembersihan dan penguasaan kawasan kumuh oleh pengembang, maka nilai jual properti meningkat. Begitu pula dengan area hasil gusuran yang dirubah menjadi hunian, ruko atau jalan akses atau taman terbuka. Jalan akses dan ruang terbuka menuju kawasan hunian, aparemen dan area reklamasi akan membuat nilai jual properti meningkat untuk dinikmati para pengembang.
Beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam menjalankan kebijakan penggusuran paksa rakyat adalah:
. Melanggar Pasal 28A, 28B (2), 28C (1), 28E (1), 28G (1&2) dan 28H (1) UUD 1945;
. Melanggar berbagai ketentuan dalam UU No.11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya;
. Melanggar UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM;
. Melanggar Pasal 13 UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara dan Pasal 6 UU No.34/2004 tentang TNI, yang melibatkan aparat TNI/Polri dalam menggusur rakyat;
· Melanggar sejumlah UU dan peraturan yang terkait dengan penerapan skema dana non-budgeter seperti diuraikan sebelumnya pada Butir 7 di atas.