JAKARTASATU.COM – Harga obat obat HIV/Aids, Antiretroviral (ARV), di Indonesia dinilai sangat mahal. Hal ini tak lepas dari pembelian ARV oleh Pemerintah RI yang tidak mengacu pada harga internasional, seperti disampaikan Direktur LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC), lembaga beranggotakan kelompok terdampak AIDS, Aditya Wardhana.
Menurutnya, harga ARV yang dibeli Pemerintah bisa 400% lebih tinggi dari harga obat yang sama di pasaran internasional. Perhitungan IAC menyebutkan, biaya pengadaan obat anti AIDS sendiri sekarang membumbung tinggi mencapai angka 800 milliar rupiah setiap tahunnya.
Sebagai gambaran, Aditya menyebut harga obat AIDS di pasaran international sekitar 8 dollar per botol pada 2016. Namun pemerintah membelinya dengan harga 400 ribu rupiah. Untuk itu IAC meminta pemerintah untuk menggunakan international prices sebagai salah satu acuan dalam penetapan Harga Perkiraan Sendiri yang digunakan dalam tender pembelian obat ARV.
“Kami menghitung, setidaknya ada 40% dari alokasi dana ini yang bisa dihemat jika pemerintah mengikuti saran dari kami untuk menggunakan international prices sebagai salah satu acuan dalam penetapan Harga Perkiraan Sendiri yang digunakan dalam tender pembelian obat ARV,” kata Aditya,dikutip dari keterangan tertulisnya, Minggu (15/3/2020).
IAC juga mengkritisi minimnya stok obat ARV sejak beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebabnya ialah dugaan korupsi pengadaan obat AIDS 2016 yang kini ditangani Kejaksaan Agung RI. Namun IAC menyesalkan, hingga hari ini belum ada penetapan tersangka ataupun terdakwa dari kasus dugaan korupsi ini meski Kejagung telah memanggil puluhan saksi untuk dimintakan keterangan.
Belum adanya penetapan tersangka dugaan korupsi obat AIDS dinilai sebagai kurangnya komitmen dan perhatian dari pemerintah Indonesia terhadap persoalan epidemi HIV dan AIDS. Aditya mengatakan, padahal kasus ini tidak sulit dibuktikan.
IAC sendiri membuat perhitungan cost structure analysis yang menunjukkan bahwa ada potensi kerugian negara sebesar lebih dari 150 milyar rupiah akibat inefisiensi dalam pengadaan obat-obatan HIV dan AIDS di tahun 2016.
Aditya pun mengatakan, dampak lain dari dikuaknya secara parsial kasus dugaan korupsi ini, telah menyebabkan stok obat ARV bagi pengidap HIV saat ini mengalami kekosongan di banyak tempat.
Berdasarkan pantauan IAC, saat ini setidaknya ada lebih dari 40 kabupaten/ kota yang mengalami kesulitan stok obat ARV. Hal ini dikarenakan proses pengadaan obat ARV untuk pengidap HIV bersumber dari dana APBN mengalami penundaan, yang salah satunya diakibatkan kasus pengadaan obat di tahun 2016 kemarin yang bermasalah.
Obat ARV sendiri adalah obat bagi terapi yang harus dikonsumsi pengidap HIV secara rutin guna mencegah perburukan infeksi HIV menjadi AIDS. Saat ini, ada sekitar 130 ribu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang sedang menjalani pengobatan ARV ini di seluruh Indonesia.
“Ketidaklancaran stok obat anti AIDS ini akan membuat pasien pengidap HIV kehilangan motivasi untuk berobat dan pada akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengobatannya. Sementara, jika pasien berhenti minum obat, ada potensi HIV di dalam tubuhnya akan resisten dan membuat obat ARV ini tidak akan efektif, sehingga penularan HIV tidak akan terkendalikan,” paparnya.
LSM IAC sangat berharap bahwa kasus dugaan tindak pidana korupsi ini bisa segera dituntaskan sehingga tidak berlarut-larut dan membuat situasi pengadaan obat ARV berikutnya tidak mengalami penundaan dan akses obat bagi pengidap HIV bisa lancar kembali.*|IH-BIRO JABAR