JAKARTASATU.COM– Politisi Demokrat, Rachland Nashidik mengatakan bahwa saat ini ekspresi berpendapat warga memiliki risiko meningkat untuk dinilai “menghina Presiden”.

“Bisakah ini disimpulkan legitimasi Presiden terjun bebas, khususnya dalam kebijakan memerangi pandemi? Itu sebabnya delik penghinaan presiden dipakai ulang untuk mendisiplinkan warga?” katanya, baru-baru ini, di akun Twitter-nya.

Dalam krisis, ia melihat penguasa kerap dihadapkan pada pilihan: melindungi rakyat atau kekuasaannya sendiri. Padahal Putusan MK #013-022/PUU-IV/2006 menyatakan “Dalam masyarakat demokratik yang modern, delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah”.

“Pak @jokowi, ayo kita perangi pandemi—bukan rakyat Bapak sendiri. Tolong Bapak perintah Pak Polisi: pada rakyat jangan gunakan tangan besi.”

Ia mengingatkan Jokowi, agar jangan sampai rakyat berpikir begini: ‘Ancaman kematian dalam pandemi ini datang dari keamatiran pemerintah. Terjadi berulang-ulang dan mengundang kemarahan opini publik. Pemerintah membentengi diri menggunakan pasal kolonial dan praktek lama politik otoritarian’.

“Pak @jokowi adalah Presiden terpilih dalam demokrasi. Memalukan, dan sepenuhnya antidemokrasi, bila beliau menyetujui pasal penghinaan untuk membentengi dirinya dari pendapat rakyat. Tidakkah beliau tahu pasal dengan riwayat feodal dan kolonial itu sudah lama dihapus di Belanda?”

RI-JAKSAT