JAKARTASATU.COM – Banyak kawan mengontak saya. Mengirimi artikel kontra, memberikan analisis hukum, menyajikan peta opini publik, membagi data pembanding, dan macam-macam. Mereka wartawan, advokat, aktivis LSM, dosen, peneliti, pengusaha, hakim, pejabat/mantan pejabat, konsultan, trainer/coach, pelaku start-up, hingga yang bernasib sebagai korban PHK.Dari berbagai daerah di Indonesia, pun luar negeri. Bahkan salah seorang kawan membagi tulisan saya langsung ke seluler orang tua salah satu pemilik Ruang Guru dan saya diberitahu jawabannya. Respons yang hangat dan wajar dari orang tua bahwa beliau akan memberi tahu (memperingatkan) anaknya jika menyangkut pelanggaran aturan. Tabik!
Ada semangat dan sikap yang saya tangkap bahwa publik menganggap masalah Kartu Prakerja ini sebagai sesuatu yang serius.
Bukan bahan mainan. Bukan masalah personal orang per orang. Bukan masalah srupat-sruput kopi dan ledekan jomblo-jombloan. Ini masalah bersama.
Beberapa tulisan kontra yang saya nilai cenderung ‘menyepelekan’ persoalan, diungkapkan dengan cengegesan, tanpa memberikan referensi data, dan hanya berdasarkan kesan, saya abaikan. Kita tidak sedang berbicara tentang popularitas online (jumlah like, comment, share), dukung-mendukung politik, penyelamatan citra pribadi, keluhan bisnis. Kebenaran tetap kebenaran, meskipun hanya dipeluk oleh satu orang. Salah tetap salah meskipun miliaran orang membelanya.
Kita harus belajar untuk mencoba “bersetia pada kata hati”. Begitu saya kutip dari Pramoedya Ananta Toer. Bahwa ada saat-saat di mana hidup bukan sekadar dipuji karena populer, bangga karena jabatan, pongah karena uang, congkak karena merasa bisa mempengaruhi opini orang banyak. Ada nilai dan prinsip yang harus diperjuangkan, tak sekadar berapa posting artikel Anda yang diminati orang, yang berujung pada bisnis jasa konsultan.
Saya mengenal banyak konsultan, termasuk yang ahli manajemen krisis opini publik, dan saya hormat pada profesionalitas mereka. Saya kenal pula beberapa pengguna jasa dan donaturnya. Begitu pun, saya hormat pada nilai dan niat baik yang mereka anut. Berkata benar adalah prinsip. Jangan dirusak dan dibelokkan sana-sini. Jangan habiskan banyak waktu untuk hal yang tidak penting.
Apalagi dalam masa sesulit sekarang. Pemerintah dan kita semua patut untuk mengajak bicara sejenak ‘orang’ yang paling asing bagi kita, yakni diri sendiri. Jujur pada diri sendiri adalah vital. Secara sosial, kita perlu perbaiki lagi letak tombol kalkulator. Bahwasannya, kalkulator tak sekadar tambah-tambahan dan kali-kalian tapi juga ada tombol pembagian. Jangan tamak.
Kita sedang bicara hal penting: Prakerja. Menyangkut duit negara yang sangat besar. Saya protes terhadap Rp5,6 triliun yang dialokasikan untuk membeli video pelatihan online, dengan alasan yang sebagian besar sudah saya ungkap dalam status sebelumnya. Jumlah Rp5,6 triliun itu lebih besar dari jumlah pemulihan aset yang dilakukan KPK selama 5 tahun (2014-2019 sebesar Rp1,6 triliun). Jika ditanya, apa tuntutan saya konkretnya: batalkan atau tunda pengeluaran itu sampai situasi membaik dan format pelatihan terbaik bisa dilakukan.
Pelatihan tidak bisa tergesa-gesa. Harus fokus. Repetisi adalah kunci. Setidaknya 10.000 jam pengulangan harus dilakukan terhadap satu keterampilan hanya untuk sampai pada tahap terampil (bukan mahir). Persistensi adalah wajib. Semua harus dilakukan dengan penuh passion. Para pelatih dan praktisi diklat pasti paham hal ini.
Kita juga tidak sedang berbicara tentang pembagian kue. Bahwa sekarang hanya ada 8 platform digital yang dilibatkan dan nanti akan ditambah menjadi 80, 800, 8.000, 8.000.000 … bukan itu perkaranya. Kita bicara tentang bagaimana berlaku adil dan bijak menggunakan uang umum.
Kita bicara tentang tanggung jawab dan empati. Jika Menko Perekonomian dengan enteng berkata kalau butuhnya sembako jangan ikut Prakerja tapi program sembako, itu bagian dari betapa tidak bijaknya bapak sebagai panutan. Padahal, pelatihan pertama yang penting bagi masyarakat yang dibutuhkan dari seorang pejabat seperti bapak adalah TELADAN.
Program sembako, jaring pengaman, insentif bagi korban PHK sangat penting dan tak ada salahnya disalurkan dan jumlahnya diperbesar lagi, dengan e-Wallet sekali pun (saya hormat kepada kawan/relasi saya yang mengelola e-Wallet). Itu masalah teknis. Logikanya, dengan telah disalurkannya bridging tersebut, yang berarti membantu pemulihan stamina masyarakat yang babak belur karena korona, itulah persiapan yang terbaik bagi pencari kerja/korban PHK untuk mulai membangun kepercayaan diri dan melanjutkan hidup.
Barulah mereka siap untuk menyerap ilmu baru, membuka wawasan baru, mencermati peluang baru. Itulah mengapa program pembelian massal video pelatihan sangat layak ditunda dulu dan Rp5,6 triliun diparkir lagi di kas negara.
Saya juga keberatan dengan argumen yang mengatakan 8 platform digital yang terlibat saat ini adalah yang paling siap dalam situasi pandemi COVID-19. Pun, keberatan dengan anggapan mereka adalah pemain-pemain besar dan karenanya mereka dilibatkan. Apa itu “besar”? Apa itu “siap”? Apa ukurannya? Apakah ukurannya adil? Bagaimana normanya diatur dalam peraturan hukum? Bagaimana proses penentuannya dilakukan?
“Siap” menurut Permenko Perekonomian adalah terdaftar di platform digital dan selebihnya syarat umum saja. Ini berbeda dengan “siap” dalam partai politik yang perlu memiliki kantor di daerah atau “siap” dalam bisnis tambang yang butuh membangun smelter.
Sebuah lembaga pelatihan di salah satu daerah berkata mereka kaget setelah mengetahui teknis Prakerja dari tulisan saya. Mereka tidak tahu bahwa penetapan mitra lembaga pelatihan prakerja adalah melalui proses kurasi oleh platform digital. Mereka mengira koordinasi dilakukan lewat Dinas Tenaga Kerja. Selain itu, para instruktur yang beberapa bulan lalu mengikuti pelatihan instruktur kecewa karena mereka merasa tidak diberdayakan.
Lihat, betapa banyak infrastruktur birokrasi yang terabaikan, orang-orang potensial yang ‘ditikam’ harapannya. Perlu dicatat, model program seperti ini telah menciptakan hubungan patron baru, di mana orang-orang platform digital justru menjadi ‘borjuis’ baru, anak-anak milenial, yang mengendalikan rantai ekonomi. Para guru/pelatih di daerah-daerah yang seharusnya diayomi oleh birokrasi lokal, kini dipaksa ‘mengabdi’ pada orang platform digital yang terlihat mentereng dan canggih.
Aturannya jelas: pendaftaran di platform digital, kurasi oleh platform digital, transfer pembayaran ke rekening platform digital, perjanjian kerjasama dengan pemerintah diteken oleh platform digital, top-up dana di platform digital, pencairan tunai melalui rekening pribadi melalui platform digital. Ini bukan kemudahan teknologi belaka, tapi monopoli. Ini distribusi wewenang yang jauh dari keadilan.
Sejak Pak Jokowi berbicara unicorn pada waktu kampanye, saya sudah mengkhawatirkan hal ini. Keterpukauan kita terhadap teknologi akan mengubah esensi hidup bernegara. Padahal, teknologi ada untuk kita, bukan kita untuk teknologi. Teknologi tak ada artinya jika manusia tidak mencapai kebahagiaan karenanya.
Pada akhirnya, hulu persoalan adalah tentang ilusi kebesaran. Pemain besar. Faktanya, ini terlontar dari pemerintah sendiri. Apa dasarnya? Ada yang pernah melihat laporan keuangannya? Ada yang pernah dipailitkan dan kita melihat harta pailitnya (fisik dan piutang)? Ada yang pernah lihat VALUASI ratusan triliun?
Lihat sejarah kejatuhan ekonomi dan krisis di negara lain yang sebagian besar dipicu oleh permainan kertas dan spekulasi finansial. Dibarengi dengan moral dan etika yang nihil, model bisnis semacam itu akan menjerumuskan kita semua pada kehancuran total. Yang bertahan kuat justru mereka yang tahu diri. Small-Giant company. Perusahaan kecil yang bertindak besar. Tahu dan sadar sampai sejauh mana uang harus dicari dan bagaimana uang itu digunakan untuk berbagi dengan sesama sehingga kehidupan sosial jadi lebih baik. Mereka sejahtera, mapan, berguna tanpa harus banyak mencekoki publik dengan berita dan promosi betapa besarnya valuasi perusahaan.
Kenapa tidak belajar dari kasus BLBI, yang persidangannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, saya ikuti terus. Satu kebijakan mengeluarkan triliunan uang kepada sebagian kecil kalangan menyebabkan akumulasi modal konglomerat yang menjadi alasan mengapa sekarang si A kaya, si B miskin. Mengapa mereka hidup mewah, mengapa kita miskin. Mengapa kita mencari uang memeras keringat, sementara uang memeras keringat untuk mereka. Garis start dibuat timpang, seluruh perangkat turnamen pun dikuasai, dan atlet-atlet miskin sulit menang. Jika menang, itu dianggap sebagai pemberian/kebaikan, yang sifatnya amal.
Pak Jokowi, saya tidak pernah iri terhadap jabatan bapak. Saya tidak sedang mengejar jabatan stafsus milenial menggantikan mereka yang sudah bapak pilih. Saya cuma iri dengan pulpen bapak. Pulpen bapak sakti. Kalau besok bapak teken revisi Perpres dengan menunda dulu program pembelian video massal Rp5,6 triliun dan menggantinya dengan program yang lebih adil dan tepat, anak saya yang sekarang kelas 1 SD, pada 10 tahun ke depan akan belajar bahwa pernah dalam satu masa, ada presiden negara kita yang bersahaja dan menyelamatkan hidup kita semua.
Mohon dipertimbangkan dan izinkan saya mengutip lirik dari Dream Theater:
Life is too short. The here and the now. And you’re only given one shot.
That after we’re gone, the spirit carries on.
Agustinus Edy Kristianto