by M Rizal Fadillah
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 asli berbunyi :
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Inilah hasil penggodogan “the founding fathers” negara Republik Indonesia mengenai model kedaulatan yang ideal untuk bangsa Indonesia yang multi kultur, agama, suku dan lainnya. Termasuk keragaman aliran politik. Betapa dalam dan cerdasnya para pendiri bangsa memberi substansi dan membuat narasi atas norma bernegara.
Semangat ini adalah perwujudan dan konsistensi dari sila keempat Pancasila :
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Empat amandemen telah dilakukan tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Mengubah model kedaulatan ini. MPR tidak lagi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Ada “down grade” dari posisi sebagai lembaga tertinggi negara.
Perubahan seperti ini jelas fatal bagi perkembangan sejarah ketatanegaraan kita.
Tiga faktor fatalnya perubahan tersebut, yakni :
Pertama, MPR tidak berdaulat karena dengan Presiden saja posisinya “neben”. MPR yang terdiri dari DPR dan DPD kedudukannya sama sebagai lembaga tinggi negara. Jadi lucu MPR kedudukannya sederajat dengan DPR dan DPD padahal MPR terdiri dari dua kamar yaitu DPR dan DPD.
Kedua, MPR tidak mampu meng”guidance” lembaga lain termasuk mengarahkan akan kemana program bernegara. Kewenangan untuk membuat Garis Besar Haluan Negara telah dicabut. Dampak buruknya MPR menjadi miskin dalam pembuatan Ketetapan MPR yang kedudukan hukumnya di bawah UUD. Efek buruk hukum lanjutannya adalah inflasi Perppu yang sederajat UU. Sementara di sisi lain UU bisa diacak acak oleh “omnibus law”. Tap MPR nganggur.
Ketiga, ketika Presiden tak bertanggungjawab kepada MPR maka muncul realita Presiden tidak bertanggungjawab kepada siapa siapa. Benar rakyat yang telah memilih langsung Presiden, akan tetapi tidak ada lembaga perwakilan tempat Presiden bertanggungjawab. DPR atau DPD jelas sederajat posisinya. Benar ada proses “impeachment” tapi berbelit dan ruwet mulai DPR, MK, baru MPR. MPR jadi tukang stempel itupun bersyarat berat quorum 3/4 diputuskan minimal 2/3 dari yang hadir.
Kondisi MPR lemah, layu, dan lumpuh seperti ini tak bisa dibiarkan. Ini menjadi penghianatan bangsa atas fikiran jernih dan keras “the founding fathers” tersebut. Bangsa ini mesti kembali ke filosofi luhur ketatanegaraan awal dimana MPR harus berdaulat lagi.
Kita harus kembali ke UUD 1945 asli dan konten amandemen dapat dituangkan dalam ketetapan ketetapan MPR yang juga kedudukannya kuat secara hukum. Bahwa ini berkonsekuensi pada pemilihan Presiden oleh MPR tentu tidak menjadi masalah. Fakta sejarahnya Presiden hasil pilihan rakyat pun tidak terjamin amanah dan mumpuni kualitasnya.
Sepanjang politik transaksional masih berjalan, maka dapat dihasilkan Presiden yang buruk dan culas.
Kembali ke UUD 1945 asli adalah upaya meluruskan perjalanan bangsa yang semakin jauh melenceng baik hukum, politik, ekonomi, maupun budaya.
Negara Indonesia harus dipulihkan dan
dimerdekakan. Hukum ketatanegaraan harus disegarkan.
MPR berdaulatlah !
*) Pengamat Politik dan Kebangsaan
26 April 2020