JAKARTASATU.COM– “Dari info yang diperoleh KBRI, pihak kapal telah memberitahu keluarga dan mendapat surat persetujuan pelarungan di laut tertanggal 30 maret 2020. Pihak keluarga sepakat untuk menerima kompensasi dari kapal Tian Yu 8,” ujar Retno.
Dua WNI lainnya meninggal saat berlayar di Samudera Pasifik dan dilarung pada Desember 2019.
Kata Retno, berdasarkan informasi yang diterima pihaknya, keputusan pelarungan jenazah ini diambil kapten kapal karena kematian disebabkan penyakit menular berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya.
Tiga paragraf di atas adalah kutipan langsung dari halaman Kompas-com, edisi 8 Mei 2020. Itulah yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Rento Marsudi, tentang kematian ABK (anak buah kapal) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera China. Long Xin 629.
Sayang sekali, penjelasan Menlu Rento itu mengesankan bahwa dia memfungsikan dirinya sebagai jurubicara China. Dia seolah punya misi untuk ‘meredam’ kemarahan orang Indonesia yang saat ini sedang viral. Itu terbaca dari kalimat Retno bahwa keluarga korban sudah diberitahu dan sudah mengizinkan jenazah ABK dibuang ke laut.
Retno juga menonjolkan kompensasi yang telah diberikan kepada keluarga. Dia pun ‘mewakili’ China untuk mengatakan bahwa pelarungan (penguburan di laut) dilakukan karena ABK Indonesia yang meninggal itu menderita penyakit menular.
Apakah bisa dipercaya alasan penyakit menular? Kenapa Menlu menerima begitu saja alasan itu?
Kompensasi? Mengapa ini yang dikedepankan oleh Menlu Retno? Padahal, investigasi media yang terpercaya menguraikan tentang perlakuan buruk yang dialami para ABK Indonesia di kapal ikan Long Xin 629.
Mereka mengaku disiksa. Bekerja rodi. Tidur cuma 3 jam. Makanan mereka berbeda dengan makanan ABK orang China. ABK Indonesia memakan ikan yang biasa digunakan untuk umpan. Sedangkan ABK China selalu menyantap ikan segar yang enak-enak. Ini pengakuan para ABK itu sendiri.
Menlu mengirimkan nota diplomatik ke China. Ok-lah. Mungkin ini SOP biasa. Semoga saja ditanggapi.
Tapi, sebagai Menlu, tidak seharusnya Retno mengutamakan poin-poin yang memang ingin disebarluaskan oleh pemerintah China. Supaya mereka tampak telah melakukan cara-cara yang manusiawi. Padahal, kenyataannya orang-orang China di Long Xin 629 itu tidaklah seberadab yang digambarkan itu.
Sebagai diplomat yang berpengalaman, seharusnya Retno paham bahwa di tingkat negara, pastilah China akan berusaha menutup-nutupi kekajaman dan kesadisan warga negaranya terhadap orang asing. Beijing tidak akan rela warganya diviralkan melakukan tindakan biadab terhadap ABK Indonesia.
Jadi, Retno seharusnya mengeluarkan narasi yang lebih tajam lagi. Tidak perlu terlalu banyak berdiplolasi halus. Sebab, perlakuan kejam itu dialami oleh banyak ABK Indonesia.
Selayaknya, Bu Retno mengangkat soal kondisi kerja yang tidak manusiawi di kapal-kapal China. Banyak ABK Indonesia yang mengaku bekerja 18 jam sehari. Ini ekploitasi sadis. Mereka hanya meminum air laut sulingan sedangkan ABK asal China selalu mendapat air mineral. Diskriminasi kejam.
Anda, Bu Retno, di tempatkan di pos Kemenlu dengan gaji besar dan fasilitas luks untuk membela bangsamu yang diperlakukan kejam di luar sana. Bukan untuk membela China. Sejak kapan Anda ditunjuk menjadi jurubicara pemerintah China?

9 Mei 2020
*Wartawan Senior, Asyari Usman