JAKARTASATU.COM– Kemarin ikut aksi KBUI di Salemba, dengan mahasiswa-mahasiswa PT lain se-Jakarta. Ada juga mahasiswa dari Lampung dllnya. Mahasiswa sempat bentrok di kampus ABA-ABI yang menyebabkan satu mahasiswa UI luka. Beritanya, dan foto, ada di Koran (Pos Kota, Merdeka).

Ketika massa UI Salemba ingin menjemput teman-temannya yang terkurung di kampus ABA-ABI, dihalangi petugas. Akibatnya terjadi dorong-dorongan dengan pihak keamanan yang mengerahkan panser dan berlapis-lapis tentara (di depan kampus UI Salemba). Aku berada di tengah-tengah bentrokan, tapi sempat menghindar karena tidak mengenakan jaket kuning. Mahasiswa cukup emosi ketika aparat menendang pakai sepatu lars.

“Sialan elu, jangan pakai kaki. Emang kami ini musuh ABRI?” kata mahasiswa, emosi.

Aku juga berteriak kea rah aparat agar tidak menendang pakai kaki. Chandra M Hamzah yang juga ada di barisan depan, sempat hampir menangis, ketika melihat mahasiswa UI ingin bentrok dengan pihak keamanan.

“Apa elu punya kontak dengan mereka? Tolong bilang, jangan dulu turun ke jalan. Soalnya ada pihak-pihak tertentu dalam tubuh ABRI yang ingin mahasiswa turun ke jalan,” ujar Chandra.

Tentu saja aku punya kontak. Padang Wicaksono, Fahri, Wisnu, dllnya adalah korlaps. Aku juga yang membawa spanduk “DPR Wakil Rakyat?” bersama Rahmat dllnya dengan mobil Anto. Aku jelaskan kepada Chandra agar jangan terlalu khawatir. Mahasiswa hanya ingin melakukan test case, untuk menaikkan tensi.

Memang agak konyol untuk turun ke jalan, apalagi Soeharto baru saja berucap “Reformasi politik boleh, setelah tahun 2003!” di depan pimpinan DPR/MPR Jumat kemaren (1/5). Pemberitaan itu dibantah sendiri oleh pemberitaan pers hari ini, lewat penjelasan Menpen Alwi Dahlan dan Hartono. Koreksi ucapan presiden oleh presiden lewat menterinya ini, pertanda Pak Harto makin tua dan pikun. Ini presiden buruk bagi kekuasaan Orde Baru.

Apalagi, bukan kali ini saja Pak Harto berlaku ceroboh. Ketika menandatangani letters of intent tanggal 15 Januari 1998, Pak Harto juga mengingkarinya di kemudian hari, karena merasa apa yang ditandatangani itu melanggar UUD 1945. Borok-borok kekuasaan, akhirnya ditunjukkan sendiri oleh pelakunya. Apalagi para pembantu Pak Harto banyak yang tidak cakap, dan bukan sebuah tim yang padu. Mereka saling bertentangan dalam mengeluarkan pandangan, bahkan saling mengoreksi.

Dan aku memang sudah memutuskan, untuk ikut ‘main’ dalam aksi reformasi kali ini. Kelompok yang kupilih adalah Rahmat yang punya “tangan” dalam kelompok Posko KB UI. Aku memilih Rahmat lebih karena kedekatan emosional dan keterusterangannya. Dengan keterlibatan ini, otomatis aku meninggalkan “kelompok” Fahri Hamzah, Muni cs, atau malah KSM-UI Eka Prasetya. Apalagi posisiku jelas dalam kelompok Rahmat, sebagai actor di “belakang layar” dengan memberikan pandangan-pandangan objektif atas fenomena-fenomena yang berkembang.

Makanya, ketika Wien mengatakan aku disorot kamera TV, baik asing atau lokal, itulah pertanda “keterlibatan”-ku dalam aksi mahasiswa kali ini. Dengan adanya aku di depan para mahasiswa UI yang hendak bentrok dengan aparat di gerbong kampus UI Salemba kemaren, di tengah sorotan banyak mata dan kamera, karena aku mengatur-atur tanpa pakai jaket kuning jelas menjadi “proklamasi” bahwa aku sudah ada di dalam aksi mahasiswa ini, bukan lagi di luarnya. Lambat laun Rama Pratama, Selamat Nurdin (Didin), atau siapapun akan mengetahuinya.

***

Sore sampai malam ke markas anak-anak. Semua sedang tidur, kecuali Alpian Siagian. Alpian, sekalipun sudah sarjana dan lebih dulu lulus dariku, sampai sekarang belum bekerja. Dia masih sibuk mengurus Teater Sastra dan NGeK.

Malamnya ikut negosiasi, eh, evaluasi aksi kemaren. Banyak cerita-cerita lucu seputar aksi. Mahasiswa yang berkata “Sabar, Pak!” ketika bentrok, kesalahan komando korlap, aksi ngocol JJ Rizal cs, sampai minjam toa sama komandan Brimob untuk mengomando mahasiswa. Jelas, dibalik tuntutan yang serius – malah sampai ada yang bilang “Gantung Soeharto!” – tetap saja ada nuansa-nuansa khas mahasiswa, ketidakseriusan menghadapi situasi.

Malah, kata Padang, aku mirip intel, ketika berada di barisan depan mahasiswa yang berhadapan dengan aparat. Soalnya, aku pakai kemeja rapi, rambut cepak, dan mengatur-atur. Makanya, tak seorangpun berani menegurku, termasuk aparat.

“Udah, lain kali elu pakai jaket kuning aja!” kata Fahri.

Di balik itu, ada informasi serius tentang penyebab chaos di ABA-ABI. Menurut Fahri, perintah serbu bukan datang dari Korlap, tapi dari Suma cs. Suma adalah unsur radikal dalam Posko. Aku pernah diskusi dengannya. Dia membandingkan aksi-aksi mahasiswa UI yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mahasiswa UGM. Mahasiswa Yogya memang sudah akrab dengan bentrokan. Dan bentrokan itu sudah menjalar ke kota-kota lain: Lampung, Solo, Ujung Pandang, Medan, dan Jakarta, serta Bandung.

Aku baru tahu bahwa dalam KBUI memang terdapat kelompok-kelompok yang pro-kontra soal turun ke jalan. Padahal, bagi Rahmat dan kawan-kawan, turun ke jalan itu belum saatnya. Dan ini menarik, bagaimana mengambil sikap di tengah beragam tuntutan dalam situasi sulit. Mentalitas kepemimpinan diukur dari sini.

Rabu, 06 Mei 1998

Jadi pembicara Dialog Reformasi Politik SKS FSUI bersama Eep Saefullah Fatah. Session lainnya diisi oleh Rama Pratama, Desmawati, Gde Mahendra, Dadang Budiana, Anhar Gonggong dan Abdullah Azwar Anas.

Aku menguraikan betapa kekuasaan Orba sudah menghegemoni begitu dalam. Sehingga Ia dianggap suatu kebutuhan. Kekuasaan jenis ini harus diakhiri dari mentalitas para pendukungnya. Aksi-aksi penyadaran, dengan demikian, perlu mendapat porsi.

Eep menguraikan situasi terakhir gerakan mahasiswa, termasuk radikalisasi massa. Titik-titik api gerakan mahasiswa itu sudah muncul di Medan. Terjadi pembakaran toko-toko, perusakan rumah, penjarahan toko-toko, sampai penembakanan oleh aparat. Yang paling menjadi korban adalah warga keturunan. Situasi ini, menurut Eep, antara lain dipicu oleh naiknya harga BBM, tariff listrik dan tarif angkutan.

Aku tidak tahu, apakah uraianku cukup memberikan perspektif kepada audiens yang memenuhi aula Pusat Studi Jepang. Yang jelas, JJ Rizal sempat kecewa sekali dengan kegiatan yang digelar ini.

Selesai session, aku sempat bicara dengan Fadjroel Rachman, tokoh aksi 5 Agustus 1989 ITB . dia menawarkan aliansi antara mahasiswa dengan Forum Wacana (Mahasiswa Pasca Sarjana). Untuk urusan itu, aku katakana Rahmat lebih kompeten. Dia memang bicara dengan Rahmat kemudian.

***

Kekecewaan JJ Rizal tidak hanya terbatas pada acara Reformasi Politik SKS. Dia juga ‘kecewa’ setelah mendengar bahwa aku bergabung dengan Rahmat cs. Dia menangis di Kantin Sastra. Dia mungkin sedih melihat diabaikannya factor kebudayaan dalam aksi-aksi mahasiswa. Dia menilai alangkah keringnya gerakan mahasiswa. Posisi JJ Rizalpun selama ini sebatas mengisi acara dalam unjuk rasa di dalam kampus. Padahal dia ingin lebih dari itu, dan punya potensi.

Soal kebudayaan ini sudah kubicarakan dalam Musyawarah Mahasiswa FSUI tanggal 1 Mei 1998 lalu. Aku jadi pembicara tunggal soal kilas balik pergerakan mahasiswa Sastra. Aku tekankan tentang perlunya dibuat Lembaga Kajian Kebudayaan atau semacamnya. Kalau perlu organisasi-organisasi yang ada dibubarkan. Tapi aku tidak tahu hasil akhir dari Musyawarah Mahasiswa ini. Kabarnya tidak banyak yang berubah, akibat anak-anak Formasi yang ikut lebih memilih status quo. Dengan keadaan status quo, Formasi dan kader-kadernya peluang besar untuk jadi Ketua Senat Mahasiswa FSUI.

Ide-ide mengenai kebudayaan ini juga disampaikan dalam Studium General tanggal 4 Mei lalu oleh Dr Melanie Budianta. Banyak perspektif baru tentang kebudayaan yang diuraikan dalam acara itu. Sayangnya, ide-idenya hanya menyentuh perhatian segelintir mahasiswa, terutama JJ Rizal dkk.

***

Malamnya JJ Rizal, Yunadi dan Dadang datang ke kost-ku. Dia “mengadili” keterlibatanku dalam kelompok Rahmat. Dilain pihak, dia menguraikan betapa lemahnya pemahaman tokoh-tokoh mahasiswa yang melakukan aksi sekarang dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak di antara mereka terjebak dengan rutinitas rutin, dan kurang sekali membaca buku. Orang-orang seperti Gde, Fahri, Padang atau Dandi dipandang tidak memiliki perspektif ke depan dalam aksi mahasiswa ini. Orang-orang seperti itu yang menjadi bagian kelompok Rahmat hanya mempunyai pamrih dalam aksi-aksi ini, dan menjadikan aksi ini sebagai gaya/trend.

Aku terkejut dengan pemikiran JJ Rizal. Apa benar demikian? Menurutku, orang-orang seperti Rahmat cs datang dari kelompok menengah atas, dan menjadikan momentum ini untuk membangkitkan kesadaran kritis kalangannya. Kalaupun ada yang bergabung dengan kekuasaan nantinya, itu soal posisi saja. Toh tidak ada ketentuan bahwa seorang intelektual atau seorang aktivis harus ada diluar kekuasaan. Itu hanya soal pilihan.

Kamis, 07 Mei 1998

Aksi hari ini di depan kampus Universitas Gunadarma Kelapa Dua ricuh. Sebabnya adalah adanya oknum yang mengarahkan massa untuk bentrok dengan aparat. Korban berjatuhan. Aku kebetulan tidak ikut, karena kukira aksinya di kampus UI.

Kabar pertama datang dari JJ Rizal. Dia datang ke kostku dalam keadaan kusut. Tangannya gemetar.dia terkena gas air mata. “Semua yang hadir kena! Benar-benar kacau. Tujuan aksi tidak jelas, komando tidak jelas. Yang didapat hanya kekecewaan,” katanya.

Malamnya, sampai pagi, aku menunggu kedatangan Fahri, Padang, Gde dan lain-lainnya dari Posko. Hasilnya aka nada restrukturisasi Posko. Aku dan Rahmat menekan mereka untuk bersikap tegas, termasuk melakukan “disiplin partai” bagi oknum mahasiswa yang mengarahkan massa untuk chaos. Oknum itu adalah Suma dan Sukma, serta pion dari Universitas Gunadarma.

Jum’at, 08 Mei 1998

Pemberitaan di pers sudah mulai memojokkan aksi mahasiswa, terutama pers elektronik. Pemberitaan itu dimulai lewat liputan luas atas kerusuhan di Medan. Medan terbakar. Tokok-toko Cina dirampoki. Bis/mobil dibalikkan dan dibakar. Dan menurut keterangan, aksi itu dimulai oleh aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Padahal, menurutku, kerusuhan itu dimulai oleh kekerasan aparat.

Kerusuhan berlanjut di Padang. Kantor DPRD, Golkar dan Plaza Minang jadi sasaran amuk massa. Memang tidak terjadi pembakaran, karena orang Cina atau orang kaya yang dijadikan sasaran tidak tinggal di dalam kota. Yang diserang adalah simbol-simbol kekuasaan Orba, dan ekonomi.

Masyarakat Minang cenderung egaliter dan menjadikan suatu “pertarungan” sebagai permainan. Kerusuhan yang terjadi, secara teoritik, sulit diterima. Atau bisa jadi ungkapan kekecewaan atas sikap Gubernur dan jajarannya yang menjilat ke pusat, serta adanya kasus korupsi dalam pemilihan gubernur/walikota.

Minggu, 17 Mei 1998

Jakarta rusuh tanggal 13 dan 14 Mei lalu. Kerusuhan merembet ke Tangerang dan Bekasi. Toko-toko, mal-mal, dan mobil-mobil hancur, dijarah dan dibakar. Ratusan penjarah terbakar. Jakarta mencekam. Awal dari peristiwa ini adalah ditembaknya 6 mahasiswa Universitas Trisakti oleh aparat, 4 tewas. Puluhan lainnya juga terkena tembakan dalam tragedy 12 Mei 1998.

Hari itu, tanggal 13 Mei, aku ada di Universitas Trisakti untuk mengamankan mahasiswa UI yang ikut bergabung. Rencana mau ke Depok naik mobil Dandi dengan JJ Rizal. Tapi massa sudah mengalihkan mobil, dengan menutup jalan kea rah Universitas Trisakti. Mobil segera diparkir kembali di RS Sumber Waras, sebagai tempat paling aman untuk mencegah kondisi terburuk.

Kerusuhan dimulai dengan pembakaran truk sampah, pom bensin. Sempat terjadi bentrokan dengan satu regu polisi Brimob yang terkepung massa di pos Grogol. Akibatnya, mereka melepaskan tembakan (peluru karet), beberapa kali. Aku sempat menyaksikan 5 orang tertembak, kebanyakan pelajar SMA. Para mahasiswa menolak ikut rusuh dengan bertahan di Universitas Trisakti. Alasannya:  sedang berkabung.

Sorenya aku ke rumah Ida, berjalan kaki. (Ida mengingat bahwa mataku merah, terkena gas air mata). Puluhan ribu massa memadati Jalan Hasyim Ashari, seraya membakar mobil, toko dan melempari gedung-gedung berkaca. Pasukan Marinir dan Brimob hanya menjaga Roxy Plaza. Aku berada di rumah Ida sampai dia pulang, karena khawatir dia terjebak massa. Sempat singgah di Kota, lalu kembali ke kost reformasi, dan berjumpa dengan Rahmat, Agus Gde, Dandi, etc.

Tanggal 14 Mei kerusuhan kembali meledak dengan skala lebih besar. Aku berada di Salemba, mengamankan lebih kurang 10.000 massa mahasiswa UI yang mengadakan aksi keprihatinan. Aku kecewa dengan pengamanan massa mahasiswa yang tidak terkontrol. Panitia aksi hanya sibuk berteriak-teriak agar mahasiswa mundur. Aku lihat Rama, Rifky dan Imran di mimbar.

Aku mengambil inisiatif dengan membikin rantai manusia dekat pagar, dan pelan-pelan memaksa massa mundur ke dalam kampus. Rifky, Setyohadi, Gde, Wien, dan lain-lain terlihat membantu. Ketika aku diserahi Gde menjadi komando lapangan, dengan memakai jaket kuning, sempat perang mulut dengan Butet, mahasiswa FH 96. Dia ingin massa bergabung dengan “rakyat” di luar pagar, sedangkan aku mencegahnya. Dia sempat menuduhku intel yang tidak ingin rakyat dan mahasiswa bergabung. Aku juga sempat melihat Irvan dan kawan-kawan berteriak “UI Tai!” karena tidak mau bergabung dengan massa diluar pagar.

Sorenya massa diluar pagar sempat masuk kampus, dipimpin Ali Sadikin dan Adnan Buyung. Yang memasukkan Pounsterling Harahap. Saat itulah ikut sejumlah tokoh, termasuk Dono dan Ruhut Sitompul – pengacara yang banyak memenangkan rezim Soeharto –. Aku minta Alif untuk menarik Ruhut Sitompul, kalau dia naik panggung lagi. Muni, Fahrel dan Sukarman juga mempunyai sikap yang sama denganku. Kedatangan Ruhut dan massa dari LBH itu sempat membuat aku punya pikiran buruk: Irvan, Butet, dan kawan-kawan (all FHUI) adalah perpanjangan (tangan) para lawyer ini.

Dalam aksi itu terdapat isu-isu seperti ABRI akan sweeping, ada serangan massa, dan lain-lainnya. Itu tidak terbukti.

Pukul 04.00 (15 Mei)  naik mobil Dito ke Depok, lewat jalur-jalur yang mungkin tidak ada perusuhnya. Benar-benar mencekam. Dimana-mana terdapat bekas bekas kebakaran. Kami lewat Cikini, Menteng, Kuningan, Sahardjo, Pancoran, Duren Tiga, Mampang, Depok.

Di daerah Kuningan sempat ketemu mobil Wapres Habibie yang mau menjemput Pak Harto di Bandara (Halim). Kabarnya, Pak Harto pulang dinihari tanggal 15 Mei dari Kairo. Isu yang berkembang, terjadi kontak senjata Prabowo vs Wiranto di Halim untuk memperebutkan “Supersemar II”. Menurut Fahri Hamzah, Pak Harto kena stroke dan Amien Rais diculik Prabowo. Isu yang benar-benar murahan, di kemudian hari. Soalnya hari Jumat (15 Mei), Amien Rais tampil di Mesjid Al Azhar bersama Fahri Hamzah, Rama Pratama, dan sejumlah aktivis KAMMI.

Praktis hari Jumat tidur di kost Graha 2010. Paginya dihubungi Ida untuk datang ke rumahnya. Rencananya mau nganterin ke Grogol, Pademangan. Tapi angkutan kota masih lumpuh. Jalan-jalan di Hayam Wuruk dan Gajah Mada dipenuhi marinir. Puing-puing kebakaran mobil dikerumuni massa. Bank, pertokoan, diskotik, dan perkantoran milik keturunan Cina benar-benar jadi sasaran. Inilah biaya mahal yang dibayar oleh Soeharto.

Tidak jadi berangkat. Seharian di rumah Ida, bicara dengan Maman, ibunya, dan Susi. Aku banyak nonton dan baca akibat kerusuhan. Malamnya rencana mau balik, tapi dicegah ibu Ida. Soalnya ada isu perkampungan sekitar Krukut akan dibakar oleh warga Cina yang berniat membalas dendam. Aku disuruh ronda, tapi lebih banyak tidur di sofa.

Sabtu (16 Mei) pagi ke rumah Adnan. Hayati tidak bekerja lagi, karena kantornya dibakar massa. Glodok juga hangus, hingga Yunas, Hanafi dan lain-lainnya tidak bisa berdagang.

Aku mengurus Jurnal Reformasi kepada Luthfi dan Jali. Biayanya naik lagi. Aku kesal. Begitupun Rahmat. Sampai hari inipun belum ada contoh cetakan. Malamnya tidur di kost reformasi. Malam kemaren sempat ada isu sweeping. Rahmat menyiapkan evakuasi selama 5 menit, dan Jali. Tapi tidak ada rencana itu. Di sekitar Margoda suasana panas.

***

Hari ini (17 Mei) Jurnal Reformasi terbit. Sayang, beritanya agak basi, terutama tulisanku dan Andi Rahman, mengingat cepatnya perubahan. Percepatan politik ini amat spektakuler, sulit diikuti nalar, tapi punya logika tersendiri, terutama dikaitkan dengan aktor-aktor elite yang melakukan maneuver, baik sipil atau militer.

Aku sempat menulis untuk bulletin Momentum. Buletin ini punya Latansa FISIP UI. Soal yang kutulis adalah “Kebangkitan Kaum Intelektual II”.

Siangnya, rapat dengan Enin, Fadjroel, dan teman-temannya alumni ITB. Enin dan Fadjroel adalah alumni Nusakambangan juga, akibat peristiwa 5 Agustus 1989. Hal yang dibahas adalah cara menduduki DPR/MPR. Ada banyak cara yang ditawarkan, tergantung kondisi lapangan. Dalam soal aksi mahasiswa, terutama di lapangan, mereka jagonya.

Senin, 18 Mei 1998

Masih di kost reformasi. Nyatanya anak-anak SMUI dan Rama sudah bergerak ke DPR, melanggar kesepakatan semula. Di gedung itu, Rama dikejar-kejar oleh anak-anak Forum Kota. UI dianggap pengkhianat, sehubungan dengan kedatangan Rektor UI dan kawan-kawan ke Jalan Cendana.

Jurnal Reformasi terbit semuanya. Aku membawa contohnya ke kampus. Ketemu Tono. Ia mengabarkan Suara Mahasiswa UIsudah terbit. Sayangnya, Ia kesulitan mendapatkan penulis-penulis berbakat.

“Mereka sudah lulus semua,” ujar Andi Rahman. Andi mungkin benar, seraya menunjuk Angkatan 90 dan 91. Akibatnya, edisi Jurnal Suara Mahasiswa belum terpenuh target penulisnya, bukan hanya kualitas, tapi juga kuantitas. Kehadiran Jurnal Reformasi mungkin memberi contoh.

Hari ini ada tiga kejadian penting: mahasiswa menduduki DPR/MPR; Ketua dan Wakil Ketua DPR meminta Pak Harto mundur; dan Jenderal Wiranto mengatakan permintaan pengunduran diri itu bersifat individual, sekalipun disampaikan secara kolektif. Aku terus mengikuti perkembangan itu dengan cermat.

Selasa, 19 Mei 1998

Beberapa tokoh Islam bertemu presiden, seperti cak Nur, Cak Nun, Yusril Ihza, Malik Fadjar, Gus Dur, dan lain-lainnya. Mereka minta secara tegas Pak Harto mundur. Tapi Pak Harto menolak dan menawarkan jalan kompromi dengan membentuk Komite Reformasi dan Kabinet Reformasi.

Habis berita itu, aku rencananya mau ke rumah Tuan Ismet. Tapi di halte UI ketemu iring-iringan bis enuju Gedung DPR. Karena kesepakatannya aku harus anak-anak UI yang datang ke DPR, aku ikut bis pertama. Lebih dari 5000 mahasiswa UI segera menguningkan DPR. Padahal mereka tidak tahu apa tuntutannya. Hanya mike di DPR dipenuhi dengan suara-suara menuntut Soeharto mundur. UI bagian dari itu.

Yang membuat aku gondok sekali adalah kehadiran Rama di depan massa mahasiswa UI, bersama Rifky. Dia seolah-olah memimpin massa dan memberikan keterangan kepada pers asing. Betul-betul tidak punya rasa malu, setelah mengkhianati teman-temannya sendiri.

Aku memikirkan teknis pengamanan mahasiswa UI. Apalagi kemaren nyaris terjadi bentrok antara massa PP dengan massa mahasiswa, dengan spirasi berbeda. Aku khawatir mereka mudah diprovokasi.  Tapi Padang dan Fachri tidak segera kutemukan. Akibatnya Rama merajalela.

Rabu, 20 Mei 1998

Hari ini masih ada di DPR. Semalam jalan dengan Eva Mazrieva yang jadi reporter SCTV. Katanya, media massa nasional sudah mulai memboikot Rama yang tidak simpatik. Aku juga diskusi dengan anak-anak KSM UI.

Dinihari sempat bertengkar dengan Rahmat. Soalnya, dia ingin mengevakuasi mahasiswa UI malam itu juga, karena adanya isu macam-macam. Malah Chandra M Hamzah sudah dimintai menyediakan bis 40 buah. Aku menolak evakuasi itu, karena berdampak negative bagi mahasiswa UI. Makasiswa UI akan dicela kalau hanya mengambil jalan aman. Evakuasi tidak jadi dijalankan karena kesulitan mengkoordinasikan massa. Akhirnya tidur di DPR. Sempat dibangunkan malamnya, pukul 3 pagi, karena ada isu penyerangan aparat. (Kami lari kea rah belakang Gedung DPR).

Sempat ketemu Bagus Hendraning Kusuma, Rudi Kurniawan, Indra Kusuma, Icus, dan lain-lainnya. Juga ikut mengadili anggota FKP DPR RI, Ekky Sharuddin, soal kepastian sikap DPR. Juga ketemu tokoh-tokoh reformis, seperti Dimyati Hartono, Kemal Idris, Emil Salim, Amien Rais, dan lain-lain. Yang menarik, Mustafa Kamal langsung kasih komando kepada anak-anak KAMMI untuk melingkari Amien Rais. Rencananya aka nada pengerahan massa yang diklaim sebagai massa KAMMI ke Monas, tapi dihadang oleh aparat.

Hari ini, Jakarta milik tentara, kecuali kawasan DPR RI. Malamnya aku ke Kota lewat Cikini.

Kamis, 21 Mei 1998

Aku ada di Kota, ketika Soeharto mundur dari jabatan Presiden RI dan menyerahkan kepada Habibie. Aku terpana, begitu juga rakyat. Hanya mahasiswa yang bersorak gembira.

Aku kembali ke Depok, dan memperhatikan betapa lengangnya jalanan. Inikah kemenangan mahasiswa atau kemenangan seluruh lapisan rakyat yang membantu mahasiswa? Bagaimana nasib Indonesia pasca Soeharto? Anak-anak kost reformasi juga tidak begitu “gembira” atau berhentinya Soeharto. Mereka tidak menduga, begitu cepatnya Soeharto mundur.

Aku langsung berpikir tentang pekerjaan, bahkan kawin. “Toh Soeharto sudah turun,” begitu ucapan selamat dari anak-anak. 

*Pelaku dan Saksi Sejarah, Indra J. Piliang