Hendrajit Direktur Eksekutif Global Future Institute/ist
OLEH Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Wartawan Senior
Kadang melihat Cina jangan dari dalam, tapi dari luar ke dalam. Salah satu caranya dengan mengenali betul geopolitik Hongkong.
Hongkong adalah ide Inggris sebagai penjajah, gimana caranya menguasai Cina tanpa perlu meransek ke dalam wilayah kedaulatan RRC secara menyeluruh.
Caranya? Kusai Hongkong yang dalam pandangan geopolitik Inggris seperti negara kota pelabuhan. Pusat penggeran dan pusat penghubung aktivitas perdagangan lewat laut. Sebagai negara kota pelabuhan Hongkong disetel sebagai tempat menawarkan perdagangan bebas tarif tanpa mempersoalkan apa yang diperdagangkan.
Dan disetel Inggris sebagai tempat untuk memarkir uang tanpa mempersoalkan darimana uang itu berasal. Selain itu, Inggris menyetel Hongkong untuk menjalankan permainan ekonomi sederhana: memanfaatkan dan menunggangi in-efisiensi ekonomi dari daerah-daerah pedalaman Cina yang berdekatan dengan Hongkong. Yaitu kawasan Cina Selatan.
Dengan kata lain, daerah pedalaman yang berimpitan langsung dengan Hongkong adalah wilayah Cina Selatan. Pada masa Mao Zhedong dan partai komunis Cina berhasil merebut RRC pada 1949, maka antara 1949-1979, hubungan perdagangan yang unik antara Hongkong dan Cina Selatan dilarang.
Ketika Deng Xioping pada 1979 mengambil-alih kekuasaan Mao, secara bertahap pemerintah Cina menerapkan strategi Memodernisaskan Masyarakat Sosialisme berwatak Cina dengan bertumpu pada empat program modernisasi(Pertanian, Industri, Pertahanan dan IPTEK).
Pada 1997, tenggat waktu sewa paksa yang diterapkan pada Hongkong oleh Inggris, habis masa berlakunya, sehingga kembali berada dalam kedaulatan RRC.
Nah di sini Deng cukup jenius dengan menerapkan filosofi baru: Kapitalisme tidak perlu dimusnahkan, tapi jinakkan, dan kendalikan sesuai arah sosialisme ala Cina. Dengan demikian, para kapitalis berbasis korporasi yang merupakan motor penggerak Cina Diaspora di pelbagai belahan dunia, menjalin persekutuan strategis dengan pemerintah RRC sejak era Deng hingga kini.
Namun RRC tidak pernah dikendalikan oleh para Taipan ini. Justru sebaliknya para Taipan yang menjadi alat sosialisme Cina.yang mana negara tetap merupakan subyek ekonomi-politik.
Ketika Hongkong dibiarkan tetap jadi kapitalis namun mengabdi kepada RRC, maka one country two system kemudian diperluas lingkupnya oleh Deng hingga Jinping, sebagai pedoman untuk mengatur kemitraan antara RRC sebagai entitas negara dan para Taipan yang notabene merupakan para kapitalis berbasis korporasi.
Hongkong, seperti halnya semasa dalam kekuasaan Inggris, oleh pemerintah Cina dimanfaatkan betul wataknya sebagai The Noble House alias rumah-rumah dagang berpengaruh seperti Jardine Matheson. Sekaligus sebagai tempat penyimpanan modal dan juga sebagai tempat pengembangan jasa keuangan modern.
Pada perkembangannya Cina yang dasarnya punya jaringan bawah tanah kayak TRIAD, Hongkong menjadi surga bagi orang-orang yanng gemar mengelak bayar pajak, dan menyimpan uang secara sembunyi-sembunyi.
Hongkong menutup mata terhadap perusahaan-perusahaan fiktif yang dirancang untuk penyimpanan uang-uang ilegal, dengan menempatkan direktur-direktur yang sekadar jadi pajangan atau asesoris belaka.
Bukan itu saja. Hongkong juga membebaskan dan membolehkan perusahaan swasta dari keharusan menyerahkan laporan publik, sehingga menyediakan tempat perlindungan yang sempurna dan muidah diakses.
Dengan demikian seperti halnya Singapura yang juga berwatak sebagai negara kota pelabuhan dan juga sama sama eks jajahan Inggris, Hongkong hidup roda perekonomiannya berdasarkan uang yang disimpan oleh para pengusaha ekspat Cina, yang umumnya sebagian didapat melalui cara-cara ilegal.
Dengan begitu, Hongkong menjadi sistem perbankan yang kemudian menjadi pusat pencucian uang secara terselubung para pengusaha hitam maupun para pejabat negara, termasuk Indonesia.
Oleh sebab Hongkong dirancang dari awal sebagai sumber keamanan dan investasi yang diandalkan bagi para taipan dari Thailand, Malaysia, Indonesia dan Filipina, maka Hongkong seperti juga Singapura, secara geografis merupakan pusat pengorganisasian dan penghubung antar para taipan lintas negara tersebut.
Maka itu para taipan Hongkong umumnya basis bisnisnya adalah pertanahan dan perbankan. Sehingga real estate merupakan akar kekayaan sebagian besar taipan. Disusul juga oeh para taipan yang bergerak di perbankan.
Aspek lain yang tak kalah menarik dari Hongkong adalah persenyawaan antara taipan sebagai pemimpin konglomerat kolonial utama, dengan Inggris sebagai sang tuan penjajah. Makanya ikatan ini disebut HONG.
Ketika Inggris menyerahkan kembali Hongkong pada RRC, Inggris tidak kehilangan akal dalam merancang Hongkong pasca Inggris. Inggris membentuk Dewan Legislatif yang bertumpu pada sistem pseudo oligarki, sehingga Dewan Legislatif itu bukannya lembaga wakil rakyat, melainkan melayani kepentingan taipan di bidang real estate, asuransi, dan sejenisnya, dengan menempatkan para pelobi di Dewan Legisllatif.
RRC yang sudah mengenal dengan baik sifat kolonialis Inggris, kemudian menghadang manuver para taipan lewat pelobi ini, dengan membentuk dewan penasehat yang dipilih oleh negara. Sehingga manuver geostrategi smart power Inggris dan taipan dihadapi RRC dengan smart power juga.
Begitulah. Sistem pseudo oligarki akal-akalan Inggris setelah Hongkong diambil kembali oleh RRC, justru dimainkan Cina pada tataran lebih strategis. Yaitu mendayagunakan para taipan kapitalis kreasi Inggris untuk kepentingan nasional RRC.
Ini pelajaran berharga bagi Indonesia. Ketika reformasi bergulir sejak Mei 1998, sistem pseudo oligarki yang jadi basis terbentuknya demokrasi multi-partai, malah jadi alat kepentingan korporasi global dan konglomerasi lokal. Karena kita tidak punya skema dan strategi, Cina sejak era Deng hingga Jinping punya.***