JAKARTASATU.COM– Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi UU. Ada beberapa pertimbangan PKS menolak Perppu tersebut.

Berikut pertimbangannya, yang dikutip laman fraksi.pks.id:

A. Potensi Melanggar Konstitusi

1. Fraksi PKS berpendapat bahwa PERPPU No. 1 Tahun 2020 berpotensi melanggar konstitusi disebabkan beberapa pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini terkait dengan kekuasaan Pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan terkait kerugian keuangan Negara. Pertama, PERPPU di Pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Hal ini telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam Undang-Undang atau yang setara. Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23 ayat 1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. Kemudian, RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD NRI Tahun 1945.

2. Kedua, PERPPU di Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan PERPPU ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Maka hal ini bertentangan dengan prinsip supermasi hukum dan prinsip negara hukum. Padahal UUD NRI Tahun 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. UUD NRI tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum.

3. Ketiga, PERPPU Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Maka hal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara dan meniadakan adanya peran BPK untuk menilai dan mengawasi. Padahal Peran BPK untuk memeriksa tanggung jawab keuangan adalah amanat konstitusi, sesuai dengan Pasal 23 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.

4. UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin adanya distribution of power sehingga mekanisme check and balances dapat bekerja dengan baik. Bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 20 ayat 1) dan memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan (Pasal 20A ayat1). Sedangkan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan

(Pasal 4 ayat 1) dan bahwa MK dan MA memiliki Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1). Serta bahwa ada 10 lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, KY, BPK, Bank Sentral, dan KPU). Dengan memperhatikan jaminan yang dikokohkan dalam UUD NRI Tahun 1945 terkait tentang supremasi Hukum, Pembentukan Undang-Undang, Pembentukan APBN, juga hak dan kewajiban Lembaga-lembaga negara, maka beberapa Pasal krusial dalam PERPPU No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan berpotensi melanggar UUD NRI Tahun 1945.

B. Terkait UU, APBN dan Kebijakan Fiskal

5. Fraksi PKS berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 28 PERPPU No. 1 Tahun 2020, sejumlah pasal peraturan perundangan yang terkait dinyatakan tidak berlaku sehingga berpengaruh pada sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter. Peraturan perundang-undangan yang terkait tersebut antara lain: UU Keuangan Negara, UU APBN 2020, UU MD3, UU Perpajakan, UU Bank Indonesia, UU OJK, UU LPS, UU Pemda, UU Desa, UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, UU Kesehatan, UU Perbendaharaan Negara dan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Fraksi PKS berpendapat bahwa hal tersebut membuat kewenangan Pemerintah menjadi sangat besar dan tidak terbatas. Sehingga berpotensi menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse of power) dan dapat merusak sistem tata kelola APBN, Keuangan negara dan moneter yang baik. PERPPU telah merubah sistem tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter dengan jangka waktu yang tidak pasti. Hal ini diakibatkan tidak adanya limitasi waktu terkait PERPPU atau jangka waktunya bersifat fleksibel, berdasarkan Pasal 29 dan Pasal 28 PERPPU. Selain itu, pasal-pasal UU yang dinyatakan tidak berlaku oleh PERPPU, tidak bisa digunakan sepanjang PERPPU masih berlaku.

6. Fraksi PKS berpendapat PERPPU No 1 Tahun 2020 telah memusatkan kekuasaan pengelolaan APBN, keuangan negara dan sumber-sumber moneter kepada Pemerintah dengan mereduksi fungsi kontrol dan tata kelola yang baik. Perppu telah memangkas kewenangan DPR dan memaksa bank sentral untuk membiayai defisit fiskal. Pemusatan kekuasaan ini mencederai prinsip tata kelola pemerintahan modern yang demokratis, akuntabel dan memiliki cek and balances. Hal ini terlihat jelas dari sejumlah pasal UU yang dinyatakan tidak berlaku dalam UU MD3 dan UU Bank Indonesia. Kewenangan DPR dipangkas dengan tidak berlakunya beberapa ketentuan dalam UU MD3. Pemangkasan ini berdampak pada kewenangan DPR dalam persetujuan atas rincian APBN dan juga pembahasan APBN Perubahan, sehingga menjadi kewenangan penuh Pemerintah dan akan disusun dalam Perpres tanpa kewajiban membahas dengan DPR. Konsekuensinya jika PERPPU ini terus berlaku, maka tidak ada APBN Perubahan dan persetujuan rincian APBN oleh DPR.

7. Fraksi PKS mencermati terkait dengan Batas Atas Defisit yang tidak ditentukan akan mereduksi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan Negara. PERPPU Pasal 2 menyatakan bahwa defisit anggaran: “(1) melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022”. Dalam klausul pasal tersebut di atas hanya menyebutkan melampaui 3%

dari PDB, tetapi tidak menjelaskan batas atasnya. Fraksi PKS berpendapat tidak adanya Batas Atas penentuan defisit APBN terhadap PDB, berpotensi menjadi tidak terkontrol. Sehingga akan menyebabkan belanja APBN menjadi tidak prudent dan menyebabkan membengkaknya utang. Batas atas defisit diperlukan agar adanya kepastian hukum, dan agar risiko keuangan akibat defisit menjadi terukur dan terkelola (managable).

8. Fraksi PKS berpendapat Pemerintah tetap perlu menetapkan batas atas defisit anggaran. Tanpa ada batas atas dikhawatirkan defisit akan membengkak tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat. Perlu menjadi catatan bahwa rasio utang PDB sudah mencapai 30%, serta kemampuan bayar Indonesia pada dasarnya rendah, karena tax ratio yang hanya berkisar antara 10-11%. Lebih lanjut, saat ini beban dari bunga utang sudah sangat besar dalam APBN. Sekitar 11,6% dari total belanja Pemerintah adalah untuk membayar cicilan bunga utang. Artinya kondisi utang Indonesia tidak dalam keadaan yang cukup baik. Terlebih, selama lima tahun terakhir rasio utang terhadap PDB terus mengalami peningkatan, yang artinya pertumbuhan utang jauh melebihi pertumbuhan produksi. Oleh sebab itu, tambahan utang di era krisis seperti saat ini perlu dikendalikan dan direncanakan dengan baik. Fraksi PKS mengingatkan di saat resesi seperti sekarang, biaya utang Pemerintah sangatlah tinggi. Hal tersebut terlihat dari data Indonesia Government Bondy 10Years. Pada 5 Maret, 3 hari setelah pengumuman pasien Covid-19 pertama, yield Indonesia masih pada level 6,54%, saat ini terus meningkat mencapai 8%. Artinya, Ketika defisit tidak dikontrol dengan baik, maka beban utang, karena tingginya bunga, akan terus membengkak, yang pada akhirnya akan menjadi beban bagi anak cucu kelak.

9. Fraksi PKS berpendapat bahwa program pemulihan ekonomi (economic recovery) hanya bisa berjalan ketika Rakyat berhasil diselamatkan. Sehingga insentif pemerintah terhadap kesehatan dan Jaminan Sosial adalah hal yang penting dan sangat mendesak dan harus menjadi prioritas sebelum program pemulihan ekonomi. Pemerintah telah berencana untuk memberikan tambahan belanja dan pembiayaan sebesar Rp405,1 triliun yang terdiri atas insentif kesehatan Rp75 triliun, insentif sosial safety net Rp110,1 triliun, insentif terhadap industri Rp70,1 triliun, dan insentif pemulihan ekonomi Rp150 triliun. Namun hal tersebut menjadi tidak konsisten karena jumlah insentif Kesehatan dan Insentif Jaminan sosial lebih kecil dari insentif pemulihan ekonomi dan insentif industri yaitu sebesar Rp185 triliun dan Rp220,1 triliun. Fraksi PKS mendorong agar pemerintah dapat konsiten untuk fokus terlebih dahulu kepada penanganan Pandemi COVID-19 dan jaminan sosial. Fraksi PKS mencatat bahwa Insentif pemulihan ekonomi mendapat porsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan insentif kesehatan, dan insentif jaminan sosial yaitu Rp75 triliun dan Rp110 triliun. Fraksi PKS berpendapat bahwa insentif pemulihan ekonomi sebesar Rp150 triliun perlu direncanakan dengan detail bersama dengan DPR RI serta stakeholder terkait. Fraksi PKS mendesak agar pemerintah dapat memberikan perancanaan penggunaan insentif pemulihan ekonomi kepada publik lebih detail lagi dan memastikan tata kelola penggunaan insentif tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan keuangan negara. Fraksi PKS juga menilai anggaran kesehatan dan anggaran bantuan sosial secara umum masih kurang memadai.

10. Fraksi PKS mempertanyakan program pemulihan ekonomi nasional (Pasal 11) serta anggarannya yang mencapai Rp 150 Triliun. Pemerintah mengatakan bahwa anggaran tersebut merupakan “below the line” yang dimasukkan pada kategori pembiayaan investasi Pemerintah. Fraksi PKS mengkritisi bentuk pemulihan yang dipilih oleh Pemerintah berupa penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan penjaminan. Ketiga model program tersebut memiliki potensi penyelewengan yang tinggi

apabila tidak diatur secara rinci. Model pemulihan tersebut memerlukan target dan parameter yang jelas, yang hingga saat ini belum disediakan oleh Pemerintah. Pemerintah belum memberikan penjelasan mengenai mekanisme PMN, penempatan investasi serta penjaminan yang akan dilakukan, serta sasaran strategisnya. Pemerintah belum memperinci siapa yang layak mendapatkan penjaminan, sektor apa saja, dan Lembaga keuangan yang akan ditugaskan untuk menyalurkan penjaminan. Fraksi PKS berpendapat hal ini dapat membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan tersebut akan dinikmati oleh pihak-pihak tertentu saja.

11. Fraksi PKS berpendapat aturan PERPPU yang memperbolehkan Bank Indonesia membeli surat berharga negara di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan Pemerintah perlu ditinjau Kembali. Setidaknya terdapat dua isu besar terkait hal ini: pertama, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan inflasi yang tinggi. Fraksi PKS menilai angka inflasi bisa lebih tinggi karena sumber tekanan cukup banyak. Tekanan pertama berasal dari ketersediaan pangan di daerah, yang pada akhirnya mendorong inflasi volatile food. Apalagi, saat ini, jalur distribusi di beberapa daerah terputus karena penutupan sementara. Selain itu, harga bahan pangan juga akan melambung karena gagal panen karena musim penghujan. Jika sejak awal pemerintah memiliki sistem penyimpanan bahan pangan (stock) yang baik, maka persoalan inflasi tidak akan serumit saat ini. Kedua, pembelian asset Pemerintah oleh Bank Indonesia dalam skala besar dikhawatirkan justru akan menimbulkan persepsi negatif, seperti buruknya stabilitas keuangan nasional dan potensi inflasi tinggi. Persepsi negatif tersebut dapat mendorong investor keluar, sehingga menyebabkan capital flight. Hal tersebut pada akhirnya dapat memperburuk cadangan devisa dan semakin memperlemah nilai tukar rupiah.

12. Fraksi PKS berpendapat bahwa PERPPU, maupun aturan turunannya, Perpres 54/2020, tidak memberikan komitmen yang jelas mengenai anggaran penanganan wabah Covid-19. Pemerintah berulangkali menyatakan akan menggelontorkan Rp 405 Triliun, akan tetapi angka tersebut tidak pernah tercantum dalam berbagai aturan yang telah diturunkan. Fraksi PKS mendorong Pemerintah untuk lebih transparan dalam hal realokasi dan kebijakan anggaran dalam penanganan wabah Covid-19.

13. Fraksi PKS menilai bahwa kebijakan PERPPU memiliki ketidak-jelasan keberpihakan terhadap kelompok Masyarakat Mendekati Miskin, Rentan dan Terdampak. PERPPU No. 1 Tahun 2020 tidak memberikan banyak ruang bagi perlindungan masyarakat berpenghasilan terendah yang terdampak yang belum masuk pada program PKH dan Kartu Sembako. Bahkan tidak ada satu pasal secara eksplisit yang terkait dengan kebijakan terhadap kelompok masyarakat mendekati miskin, rentan dan terdampak tersebut. Sehingga alokasi Rp405 triliun dikhawatirkan tidak akan banyak membantu bagi kehidupan mereka dan juga pada masa pemulihan nantinya.

14. Fraksi PKS menilai bahwa PERPPU masih kurang berpihak terhadap UMKM dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional. PERPPU No. 1 Tahun 2020 mengatur mengenai pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Sebagaimana terdapat dalam pasal 11 ayat (1)-(7) bahwa pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional lebih banyak terkait dengan pemulihan BUMN dan dan investasi Pemerintah. Tidak banyak menyebutkan mengenai program pemulihan UMKM dan sektor usaha, padahal sektor ini menghimpun 59,2 juta pengusaha. Fraksi PKS berpendapat bahwa seharusnya pemulihan UMKM menjadi prioritas utama pemulihan ekonomi nasional. Fraksi PKS meminta pemerintah agar sektor UMKM menjadi prioritas utama dalam membantu menghadapi dampak ekonomi akibat

COVID-19. UMKM adalah sektor yang paling banyak merasakan dampak selama penangangan COVID-19. Mulai dari terhambatnya aktivitas produksi, penjualan hingga masalah permodalan. Seharusnya ini menjadi kesempatan bagi Pemerintah untuk memperkuat posisi UMKM bagi Perekonomian nasional, sehingga pasca COVID-19 nantinya, UMKM bisa tumbuh dan berkembangan menjadi sumber pertumbuhan baru dan lokomotif bagi perekonomian nasional.

C. Terkait Sistem Keuangan

15. Fraksi PKS berpendapat bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 telah membuka peluang terjadinya kebijakan bail-out atau penyelamatan sektor keuangan dengan keuangan negara yang bersifat tidak adil. Fraksi PKS menilai bahwa skema bail-out memunculkan ketidakadilan bagi rakyat, dan seharusnya skema penyelematan bank melalui peran pemegang saham atau group konglomerasinya (bail-in). Skema bail-in sebagaimana disebutkan pada UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK seharusnya tetap digunakan dan diutamakan. Hal ini disebabkan pemilik bank merupakan konglomerat dan bisnisnya pun menjamur ke sektor-sektor lainnya. Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak mampu menggunakan skema bail-in.

16. Fraksi PKS berpendapat bahwa skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998. Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 triliun ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan. Segelintir kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang. Mereka tetap memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan mempengaruhi lanskap sosial dan politik hari ini. Fraksi PKS menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, lembaga keuagan, atau perusahaan lainnya.

17. Fraksi PKS berpendapat bahwa PERPPU No. 1 Tahun 2020 memunculkan potensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh (blanket guarantee) simpanan nasabah kaya yang melukai keadilan dan berpotensi memunculkan moral hazard. Pada Pasal 20 disebutkan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sementara pada pasal 22 ayat 1 ditegaskan bahwa untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU mengenai LPS. Dengan penjaminan penuh (full guarantee) maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya akan dijamin oleh pemerintah. Tentu, hal ini berpotensi memunculkan moral hazard dan akan menimbulkan beban negara yang sangat besar.

18. Fraksi PKS berpendapat bahwa pembelian SBN di pasar perdana oleh Bank Indonesia (BI) dapat menyebabkan pasar terdistorsi. Pada Pasal 19 PERPPU disebutkan bahwa BI dapat membeli Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang sebagai sumber pendanaan bagi pemerintah. PERPPU telah

menghapus Pasal 55 ayat 4 pada UU BI yang telah menetapkan bahwa BI dilarang membeli untuk diri sendiri surat utang negara, kecuali di pasar sekunder. Masuknya BI ke pasar perdana berpotensi menyebabkan distorsi pasar dan mendorong naiknya jumlah uang beredar. Kondisi tersebut akan mendorong naiknya inflasi. Lonjakan inflasi, pada akhirnya, akan menekan Rakyat berpendapatan menengah ke bawah. Fraksi PKS juga memperingatkan bahaya pencetakan uang tanpa underliying, yang dapat menyebabkan hyper inflasi dan dapat memukul daya beli rakyat.

Fraksi PKS medesak Pemerintah untuk fokus membantu dan melindungi rakyat dari segala dampak musibah Covid-19, melalui bantuan-bantuan kesehatan dan bantuan sosial langsung dan segera kepada rakyat terdampak.

Fraksi PKS mendorong Pemerintah agar mengganti Perpu No. 1 Tahun 2020 dengan Perppu yang memperhatikan dan memasukkan poin-poin dalam pendapat mini Fraksi PKS tersebut di atas agar tidak menimbulkan berbagai masalah yang merugikan keuangan negara dan rakyat dikemudian hari.

RI-JAKSAT