JAKARTASATU.COM– Kita selalu bisa memahami bahwa ekonomi harus berjalan dalam situasi pandemi terjadi. Maka, kita membuat begitu banyak pengecualian. Ini boleh, itu boleh, memastikan roda ekonomi terus bergerak.
Kita bisa memahami bahwa transportasi juga harus terus berjalan dalam situasi pandemi berat sekalipun. Maka, kita membuat begitu banyak pengecualian lagi. Ini boleh, itu boleh, memastikan pesawat kembali terbang, transportasi boleh lewat, apalagi kendaraan milik pejabat, tentu boleh lewat kemana saja.
Kita bisa memahami banyak hal lainnya. Tapi saat tiba pada orang2 meminta kembali diijinkan pergi ke rumah ibadah, pemahaman kita berbeda.
Saya jelas tidak setuju rumah ibadah kembali dibuka. Ritual agama ramai2 kembali dilangsungkan dalam situasi pandemi. Tapi saya bisa memahami jika ada yang setuju. Bahkan saya sangat bisa memahami ada yang marah, rumah ibadah masih dikunci, tapi itu kenapa pesawat boleh terbang?
Ohiya, kita ini membicarakan semua agama ya. Bukan hanya agama tertentu. Karena semua umat agama yang mencintai rumah ibadah masing2, mereka rindu kembali.
Jika pesawat bisa terbang dengan berbagai protokol kesehatan, kenapa rumah ibadah tidak boleh buka dengan protokol kesehatan yang sama? Kalian khawatir protokol itu dilanggar? Wah, mau itu naik pesawat, pergi ke rumah ibadah, sama saja potensi dilanggarnya. Jangan naif sekali soal ini. Memang jumlah rumah ibadah lebih banyak dibanding pesawat di atas sana, tapi persoalan ini adalah: tidak bisakah kalian minimal berempati kepada umat agama yang ingin kembali ke rumah ibadah masing2.
Saya setuju mereka tetap dilarang. Tenang, Tuhan itu tidak akan kesulitan mendata pemeluk agamanya yang taat. Tapi mbok ya, saat mereka tetap dilarang, tunjukkanlah konsistensi sedikit. Kita koar-koar melarang rumah ibadah dikunjungi, lah kita sendiri yang melarang malah sibuk kemana2, tetap kerja, bisa kemana2, dan boleh jadi melanggar begitu banyak protokol kesehatan.
Konsistensi inilah yang bisa membuat semua orang yakin, bahwa kita memang bersama2 mau menyelesaikan pandemi ini. Dengan gotong-royong, dengan kebersamaan, dengan solidaritas. Bukan sebaliknya, sebagian orang sangat diuntungkan dengan pandemi ini, sebagian lain sengsara. Kok bisa ada yang diuntungkan? Banyak. Tinggal kalian bisa melihatnya atau tidak. Pesta pora mereka.
Apakah pandemi ini akan berakhir? Pasti berakhir. Jangankan pandemi, saat gunung Tambora atau gunung Toba meletus saja, dunia tetap bergerak maju. Waktu selalu menyelesaikan masalah. Nah, yang jadi masalahnya, apa gunanya kita punya negara dan pemerintah jika waktu yang menyelesaikannya? Mubazir saja.
Tapi mau dikata apa. Rakyat negeri ini memang spesial. Kalian tahu kenapa semua masih baik2 saja hingga hari ini? Karena rakyatnya spesial. Apapun ujian yang mereka hadapi, mereka bisa melewatinya. Dibantu atau tidak dibantu, mereka bisa melewatinya. Sementara negara dan pemerintah, mereka akan koar2 mengklaim itu prestasinya saat masa2 sulit telah terlewati. Bukan main memang.
Semoga masih ada yang mau lebih konsisten dalam situasi ini. Dengarkan nurani masing2, itu tidak bisa dibohongi. Sikap solidaritas yang nyata sangat penting dalam situasi ini. Jangan cuma jualan ucapan, tapi ujungnya tetap saja semua terserah kalian saja.
*Novelis, Tere Liye on Fanpage FB