by M Rizal Fadillah

by M Rizal Fadillah

Kepala BPIP Yudian Wahyudi yang bertekad puasa bicara karena “salah melulu”. Akhirnya jebol juga bicara juga saat peringatan harlah Pancasila. Mengimbau agar produsen hoaks menghentikan kebiasaannya mengeluarkan berita hoaks yang merugikan masyakat. Sindiran media adalah pertanyaan siapa yang potensial memproduksi hoaks itu. Arahnya adalah kekuasaan. Lembaga kekuasaanlah yang memiliki segala alat untuk memproduksi hoaks itu. “Yudian tidak takut dipecat ?” sindirnya.

Miskin khazanah, itu konklusinya untuk BPIP. Omongannya kurang bermutu. Apa urgensi lembaga “mahal” ini jika produksi narasi hanya segitu. Memiliki Kepala lembaga yang “pas pasan” dan terkesan tidak memiliki kapasitas politik apalagi kenegarawanan. Orientasi kerakyatan dan keumatan yang rendah. Lebih berada di tempat kepentingan kekuasaan.

Ideologi Pancasila tidak tercerahkan malah semakin buram dan kusam dibuatnya.

1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila saja “debatable”, masa Pancasila lahir dengan sila pertama kebangsaan dan terakhir ketuhanan yang berkebudayaan. Terbalik, justru ada pemerosotan. Ini sama saja dengan lahir “sungsang” karena berbeda dengan Pancasila kini yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Moga pernyataan rezim Jokowi bahwa 1 Juni 1945 sebagai lahirnya Pancasila bisa dibatalkan dan dicabut setelah Jokowi nanti tidak berkuasa lagi.

Yang benar Pancasila itu lahir sempurna 18 Agustus 1945. Setelah melalui proses Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Yudian mengaitkan pengamalan Pancasila dalam bergotong royong dengan menyontohkan masyarakat bersama membuat solokan atau gotong royong mengantar jenazah. Betapa sederhananya itu. Lagi pula “gotong royong” itu kini menjadi kalimat samar dalam kaitan “jas merah”, Pak. Pertama artinya kerjasama dan kedua itu adalah Ekasila nya Soekarno “Gotong Royong”. Ini adalah opsi lain dari Pancasila.
Pancasila versus Ekasila.

Sejak “salam Pancasila” dan ” agama adalah musuh Pancasila” maka kompetensi Kepala BPIP ini diragukan. Dampaknya pada fungsi dan peran BPIP yang turut diragukan pula. Apalagi kini muncul RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berbau Soekarno-isme dan Komunisme. BPIP tidak mampu mengarahkan apa apa untuk meluruskan makna.

Oleh karena itu sudah sangat layak jika BPIP yang Ketua Dewan Pengarahnya Megawati Soekarno Putri ini segera dibubarkan saja.

Kembali pada produsen hoaks, rakyat bertanya siapa yang paling siap bermain di arena produksi ini. Oposisi atau pro kekuasaan. Pemerintah yang punya banyak alat termasuk intelijen harus bisa membuktikan dan membongkar dimana pabrik hoaks itu berada, apakakah di Posko Oposisi atau justru di Istana ?

Ini sangat penting agar masyarakat atau rakyat tidak terombang ambing oleh jebakan permainan hoaks yang produsennya misterius. Lakukan pelacakan mulai dari siapa figur yang gemar berbohong, berjanji palsu, atau membangun pencitraan diri. Terus meluas dan mendalam.

Dengan kemahiran pelacakan aparat, akan ditemukan produsen hoaks sebenarnya. Lalu Yudian Wahyudi insya Allah akan kecewa karena pernyataannya terbukti tidak akurat.
Selamat melacak. Happy tracking.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Bandung, 3 Juni 2020