by M Rizal Fadillah
Bagaimana bisa pelaporan biasa dari seorang Aulia Fahmi, SH ditindak lanjuti dengan penangkapan Ruslan Buton seperti menangkap teroris. Ada Densus 88 segala. Bukan hanya tidak lazim tetapi berlebihan di luar hukum acara yang berlaku. Dengan cepat ditetapkan status sebagai tersangka lagi.
Ini domein hukum atau politik ? Jika hukum tentu tidak seperti ini. Jika politik mungkin wajar. Akan tetapi ranah politik akan membawa sikap dan protes politik pula.
Kebiasaan untuk melakukan tindakan hukum dengan “meminjam” tangan pelapor harus dihentikan. Akan menjadi kultur buruk hukum di Indonesia. Catatan sejarah kelam yang tak mudah dihapus.
Dua hal yang mesti mendapat support publik. Pertama adalah dukungan pra-peradilan atas penetapan tersangka Ruslan Buton oleh Pengacara. Ini perlawanan hukum atas kesewenang-wenangan. Kedua, dukung pelaporan balik saksi pelapor Aulia Fahmi, SH karena ia perlu disidik juga motif pelaporan apakah murni hukum atau kepanjangan tangan politik. Seruan penangkapan juga cukup berimbang.
Mengingat urusannya lapor melapor antara pihak Ruslan Buton dengan Aulia Fahmi maka pihak Kepolisian harus bersikap obyektif dalam menangani masalah hukum. Kontennya menjadi kepentingan kedua belah pihak. Jika ada hubungan dengan Negara maka biasakan Negara bertindak sendiri. Menindak makar atau pemberontakan misalnya. Agar publik merasa yakin tidak terjadi proses kriminalisasi atau politisisasi.
Andai pelapor yang dilaporkan balik juga sama sama ditangkap sebagaimana seruan yang muncul di media. Maka akan semakin jelas obyektivitas penanganan. Rakyat akan sangat percaya pada proses penegakkan hukum oleh penegak hukum. Tapi bila selalu menggunakan tangan tangan “pelapor” hanya alat untuk melakukan proses penyelidikan dan penyidikan maka independensi menjadi kabur.
Kelak akan muncul figur “spesialis” pelaporan.
Kasus pelaporan Said Didu oleh orang yang mengaitkan dengan pencemaran pada Luhut Panjaitan adalah contoh buruk. Luhut yang mestinya melaporkan atas pencemaran dirinya. Menempatkan dalam kedudukan yang sama di depan hukum meskipun ia adalah seorang Menteri.
Obyektivitas penanganan hukum menjadi prioritas pada situasi kebutuhan mendesak akan adanya stabilitas politik dan hukum saat ini.
Apalagi ketika kepercayaan pada Pemerintah sedang merosot.
*) Pemerhati Politik dan Hukum.