Staf OJK dalam aktivitas pekerjaan mereka/IST

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Dua hari jelang lebaran, tepatnya tanggal 22 Mei, OJK via Satgas Waspada Investasi kirim parsel lebaran. Sebagai hadiah untuk sejumlah fintech yang dituduh berkedok koperasi. Sebagian besar koperasi pesantren

Tentu saja, ini bukan hadiah yang menggembirakan. Para pelaku koperasi akhirnya meradang. Marah sejadi-jadinya.

Ada 50 Fintech ilegal yang berkedok simpan pinjam koperasi (KSP), katanya. Tongam L. Tobing, Ketua Satgas Waspada Investasi mengatakan bahwa penggunaan aplikasi Koperasi Simpan Pinjam ilegal itu bertujuan untuk mengelabui masyarakat seakan-akan penawaran pinjaman Online itu memiliki legalitas dari kementerian koperasi. Ilegal? Mengelabui? Dua kata yang menyakitkan! Kata pelaku koperasi itu.

50 fintech berkedok koperasi itu diantaranya adalah Koperasi Syariah 212. Namanya ditaruh paling atas. Nomor wahid. Apakah dianggap paling bermasalah, dosanya paling besar, atau faktor apa? Belum ada keterangan yang jelas.

Biasanya, urutan itu berdasarkan abjad, atau berdasarkan banyak dan besarnya masalah. Kalau abjad, sepertinya tidak. Koperasi Syariah 212 tidak diawali dengan huruf “A” Kalau berdasarkan tingkat masalah, maka muncul pertanyaan: apakah Koperasi Syariah 212 paling bermasalah?

Selain Koperasi syariah 212 ada banyak koperasi pesantren. Sekitar 50 koperasi yang fintech dituduh “mengelabui” unumnya adalah koperasi pesantren. Apakah 50 koperasi yang mayoritas berbasis syariah ini penipu? Menggunakan fintech untuk mencuri uang nasabah?

Onde mande! Koperasi syariah menipu? Koperasi pesantren menipu? Koperasi syariah 212 menipu? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di tengah masyarakat pasca konferensi pers Tongam L. Tobing. Geger! Sejumlah anggota dan nasabah koperasi banyak yang panik. Mereka gusar. Termasuk partner bisnisnya.

Terjadilah gelombang protes. Kepada siapa? OJK. Khususnya kepada Satgas Waspada Investasi. Wabil khusus lagi kepada ketua Satgasnya, Tongam L. Tobing.

Dia orangnya “menteri segala urusan” ya? Tanya seorang pemprotes. Waduh… Ini sudah gak sehat. Gak boleh bawa-bawa nama orang lain. Jangan kaitkan dengan nama seseorang. Proporsional saja. Kembali saja pada pokok masalah. Tuduhan terhadap fintech koperasi. Titik!

Ini sengaja mau bunuh koperasi syariah ya? Diumumkan jelang lebaran, ditaruh nomor satunya adalah Koperasi Syariah 212 Apalagi ini bukan bagian dari kewenangan OJK. Tapi kewenangan kemenkop. Berbagai persepsi dan opini muncul. Bermacam-macam. Inti dari semua opini dan persepsi yang muncul, intinya bahwa Umat Islam, terutama yang bergerak di usaha koperasi ini marah. Bahkan sangat marah. Tak sedikit yang mengaitkan dengan isu SARA. Ngeri-ngeri sedap!

Bahkan para pemprotes mempertanyakan sejumlah pihak yang mestinya ikut bersuara terkait kejadian ini. Dimana pejuang Ekonomi syariah MUI? Dimana DSN (Dewan Syariah Nasional) ? Dimana DPS ? Dimana MES (Masyarakat Ekonomi Syariah)? Dimana IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia)? Mereka kesal, karena merasa tak dibela. Mari kita tunggu konfirmasi lembaga-lembaga yang wow dan mentereng namanya itu.

Protes dilayangkan ke OJK, dan meminta Tongam L. Tobing, Ketua Satgas Waspada Investasi, memberi penjelasan dan mempertanggungjawabkan pernyataannya.

Setelah didesak oleh sejumlah pihak, tanggal 29 Mei, Tongam L Tobing pun minta maaf. 35 dari 50 koperasi yang umumnya berbasis syariah direhabilitasi namanya. Kok cuma lisan? Tertulis dong, kata para pemprotes. Gak puas! Polisikan dia, kata pemprotes yang lain. Bahkan Inkopontren (Induk Koperasi Pesantren) dan Dekopin, meminta OJK dibubarkan. Hal yang sama pernah disuarakan oleh DPR di bulan januari lalu. Kembalikan ke BI dan menteri keuangan.

BACA JUGA : OJK Sebaiknya Dibubarkan

Makin seru nih!

Soal terkait isu SARA atau tidak, adakah pemain di belakang tuduhan Tongam L. Tobing ini atau tidak, banyak pihak yang sedang mengamati.

Yang pasti, ekonomi berbasis syariah, termasuk melalui jalur koperasi, jauh ketinggalan dibanding jalur konvensional. 30 tahun bank syariah beroperasi, hanya mampu mengelola lima persen dari semua dana nasabah perbankan di Indonesia. Beda dengan Malaysia, bank syariah hampir 40 persen kelola dana nasabah perbankan nasional.

Sudah kecil, dianggap ilegal lagi. Alaaah maaak… Kasihan juga nasibmu! Bangkit dong…

Jakarta, 9 Juni 2020