By: Djoko Edhi Abdurrahman (Wasek LPBH PBNU, Wasekjen DPP KAI, mantan Komisi Hukum DPR).
Saya usul, HIP diganti nama jadi RIP. Artinya matek. RIP = Rest In Peace. Daripada diganti PIP. Sebab, masuk ke PIP, virus komunisnya ikut. Begitu juga jika masuk ke BPIP. Akan ditukangi virus itu oleh Prof Yudi, agar Lex Devina (Hukum Tuhan) itu menjadi Lex Aeterna (Hukum Syetan), sehingga teorinya “Pancasila musuh agama” dapat diproses secara dekonstruksi ekstensialisme “cogito ergo sum” Cartesian.
Lebih laten bahayanya. Itu rahasianya mengapa founding father penulis konstusi tidak memakai kata “ideologi”, baik pada UUD 1945, maupun pada Mukaddimah karena kata “Ideologi”, lahir dari rahim Lex Aeterna yang memuja rasionalitas.
Sedang Ketuhanan Yang Maha Esa lahir dari Lex Devina di mana Qudrat dan Iradat masih di tangan Tuhan (belum dipindah ke tangan manusia) dalam teorema Emanasi (dua kebenaran), bikinan Al Farobi, pemuka Mu’tazilah.
Dua kebenaran itu adalah kebenaran wahyu ilahi versus kebenaran akal manusia (filsafat). Saya memutar sedikit untuk menjelas posisi fragmen filosof dahriyun (atheisme) versus filosof ilahiyun (theisme) tersebut.
Jadi sejak awal, pembuat Piagam Jakarta dengan Soekarno sudah berseberang jalan ketika Bung Karno menyatakan Pancasila adalah philosofische grondslag (filsafat kekuasaan) yang seide dengan Al Farobi. Sementara golongan Islam berseberangan dengan Mu’tazilah, yaitu kaum Mutakallimun, Iman Gozali, Imam Mathuridi, dan Iman Al Asyari, pemuka Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja).
Jelas saja mereka menolak kata “ideologi” sampai sekarang. Sebab, begitu mereka memakai kata “Ideologi” buatan Plato itu yang artinya ideo = ide, dan logi = logos = akal = rasionalitas, maka Tuhan pada Tuhan Yang Maha Esa pindah ke rasionalitas. Jadinya Tuhan adalah ciptaan manusia. Itu atheisme.
Pertarungan ini, Mu’tazilah versus Aswaja, mulanya di Cordova, Spanyol, di zaman Dinasti Abbasyiah. Al Farabi, Ibnu Rusj, dan Ibnu Sina, mengembangkan kebenaran rasionalitas yang kemudian membentuk aliran Mu’tazilah.
Pemikiran Mu’tazilah ini oleh Thomas Aquinas dibawa ke Eropa Barat, diolah oleh Francis Bacon. Mu’tazilah demikian memukau Eropa sehingga menjadi gerakan pemikiran global. Dari situ lahir gerakan Renaisance dan dari Renaisance lahir gerakan Modernisme (kini).
Menurut saya, PDIP harus ekstra kerja berat untuk menggiring kaum Muslimin pindah ke Atheisme. Seperti UU HIP itu yang subtansinya untuk memindah Lex Devina ke Lex Aeterna. Sebab lagi, di Indonesia yang berkembang adalah Islam Aswaja. Dan kritik Aswaja kepada Mu’tazilah dari Imam Ghozali ialah buku “Tahafutul Falasifah” (Kesesatan Kaum Filsuf). Sedang Imam Mathuridi menulis buku “Sifat 20”.
New Left (Kiri Baru).
PDIP masih akan berkuasa di masa depan, mengingat 20 juta pendukungnya adalah anak-anak PKI yang dikenal New Left (kiri baru). Angka 20 juta itu dari Ribka Ciptaning di Anteve.
Tak ada parpol yang punya pendukung setia 20 juta, kecuali PDIP. Karena itu, begitu berubah PIP, lebih gawat dan lebih laten. Hal itu karena sudah 6 kali Megawati berusaha membatalkan Tap MPR No XXV/1966 yang melarang komunisme tadi, tapi selalu gagal.
Di masa depan akan berhasil mengingat kader New Left sudah masuk ke pemerintahan. Kini, di Kabinet Jokowi ada tiga orang New Left. Puluhan jadi dirjen, dan ratusan jadi anggota DPR. Belum lagi di DPRD.
Untung datang Covid-19 yang menurunkan kemampuan menyogok rezim Jokowi hingga turun drastis. Akibatnya, ormas Islam tak lagi mampu disogok karena Jokowi sudah tak punya duit, setelah negara dibangkrutkan oleh Jokowi dan Corona.
PBNU pun jadi oposisi: menolak HIP. Ikut umat islam menolak HIP sehingga Muhammadiyah, NU dan MUI, dan seluruh ormas Islam menolak HIP.
Jika tidak berkat Covid-19, sudah lolos UU HIP itu, dengan cara ling-malingan seperti dilakukan rezim Jokowi kepada UU KPK, UU Tax Amnesty, dan UU SDA.
Saya lihat tadi MPR sowan ke Kyai Said di PBNU, untuk ikut menolak HIP. Mengapa mereka tak sowan ke Makruf Amin saja? Tidak mujarobat alias tidak manjur. Sebab, jika Kang Said bilang mendukung turunkan Jokowi, naikkan Makruf Amin, pasti jadi barang itu. Itu mujarobat dan mukosafah.
Akan halnya Makruf Amin, tidak punya pengaruh di PBNU sebesar Kang Said. Mestinya Kang Said yang dipilih jadi Wapres. Aman nyaman.
Masalah kini ada di kesalahan Jokowi yang tak dapat dimaafkan: menipu PBNU. Janji mau angkat orang PBNU jadi menteri, yang diangkat malah pensiunan ABRI yang tak tahu apa-apa tentang Islam. Dilibasnya fiqih Jihad dan Khilafah lalu dibuangnya ke sejarah tapi lupa menghapus Ayat 30 Al Baqarah, dan Asbabun Nusul. Ia dipasang di situ nampak untuk merusak Islam.
Indikator ini menunjukkan Jokowi New Left. Tadinya Jokowi mau memisahkan agama dan politik. Gagal. Dilawan orang, dilawan oleh Makruf Amin.
Dihembuskan lagi operasi anti radikal, HTI korbannya. Dibubarkan dengan cara melanggar hukum, melanggar Doe Process of Law. Sukses.
Lalu isyu ISIS diolah jadi isyu radikal, walau ISIS nya tak tampak. Berhasil. Diangkat dari situ isyu Khilafah mau mencaplok republik, dan berhasil mengajak PBNU. Succesful.
Indonesia seolah mau kiamat. Demonstran pilpres ditembaki peluru tajam, karena mereka dicap radikal. Saling tuding kal-radikalan. Itu targetnya: adu domba.
Tetapi ketika Jokowi menipu PBNU, NU mundur. Talak tiga. Tak ada lagi Banser yang menyanyikan La Yal Iman. Yang heboh, sekonyong-konyong PBNU jadi oposisi, ketika Tuhan Yang Maha Esa mau diubah jadi Tuhan Yang Berbudaya di UU HIP.
Diperas jadi trisila lalu ekasila, hasilnya gotongroyong (metode dari sosialisme). Pada bahasa kapitalisme gotongroyong ialah social welfare, terbentuk setelah Karl Mark mengancam akan mengekspor komunis ke Eropa jika kaum borjuis tak bersedia membagi kekayaan negara kepada kaum Proletar.
Panjang prosesnya, Pancasila tadinya berada di Lex Devina, setelah diperas, jadi Lex Aeterna. Kini jadi “conlocon”, kata orang Madura.
Apa yg terjadi pada Kang Said Agil? PBNU ditipu si Jokowi. Kang Said ditipu. Padahal, PBNU sudah jungkir balik untuk memenangkan PDIP dan Jokowi di pilpres dan pemilu. Air susu dibalas dengan air tuba oleh Jokowi.
Kang Said sudah dengan ringan hati membackup BPIP, tapi BPIP malah diselewengkan oleh Jokowi sehingga ditinggalkan oleh pembuatnya Prof Yudi Latif yang lalu menulis “Jokowi anti intelektual”.
Orang-orang yang sekarang di DPR mau memperbaiki Pancasila, tidak paham Pancasila. Apa Pancasila? Soalnya, tak satupun yang mengamalkan Pancasila. Hasilnya, BPJS, listrik, dst dinaikin. KKN di mana-mana, beras mahal. Korupsi boleh.
Eric Tohir malah bikin BUMN bancakan koruptor cina dan KKN, sehingga ada senior Pertamina menulis akronim BUMN ialah Bukan Usaha Milik Nenek Loe Eric. Itu Pancasila.