Tony Rosyid Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa/ist

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Sudah jadi pola kekuasaan, selalu intervensi dalam proses politik. Mulai Mega, SBY hingga Jokowi. Terutama pencalonannya di periode kedua. Bukan rahasia umum lagi.

Bagaimana jika putra mahkota yang jadi calon? Apakah sang bapak akan intervensi?

Pertanyaan ini muncul sebagai respon terhadap ramainya pendapat publik terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang akan maju jadi calon walikota Solo.

Semula rekomendasi DPC PDIP diberikan kepada Achmad Purnomo, kader PDIP yang saat ini menjabat sebagai wakil walikota Solo. Ini hasil penjaringan dan penyaringan dari semua kepengurusan Anak Ranting maupun Anak Cabang.

Tapi, belakangan nama Purnomo tergusur oleh Gibran, putra sulung Jokowi. Pertanyaan sederhananya, apa mungkin Gibran bisa menggeser nama Purnomo tanpa keterlibatan Jokowi? Kecurigaan ini makin menguat ketika Purnomo dipanggil ke istana dan diberi tahu bahwa DPP PDIP urung mencalonkannya.

Kok dipanggil ke istana? Bukannya ini urusan pencalonan Si Sulung, bukan urusan rakyat? Tepatkah menggunakan istana untuk kepentingan pencalonan Sang Putra?

Langkah Jokowi panggil Purnono ke istana mendapat banyak kritik. Dianggap menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai, dan bahkan keluarga.

Purnomo kecewa? Sebagai manusia biasa, wajar jika ia kecewa. Kecewa “ala Solo”. Menggunakan bahasa “satire” dalam pengungkapkannya. “Saya sudah menduga akan seperti ini”, katanya kepada awak media. Bukan hanya Purnomo, para kader partai banteng di Solo mungkin juga merasakan hal yang sama. Kecewa!

Purnomo itu senior, kader tulen PDIP, jauh lebih berpengalaman dan matang. Setidaknya ia saat ini menjabat sebagai wakil walikota Solo. Impian seorang wakil walikota pasti ingin jadi walikota. Kesempatan itu pupus, dan diserobot oleh Gibran yang notabene kader baru di PDIP.

Adakah kompensasi yang ditawarkan Jokowi kepada Purnomo? Inilah yang jadi rumor pasca Purnomo keluar dari istana.

Jika benar ada kompensasi, sangat tepat jika Purnomo menolaknya. Penolakan Purnomo bisa jadi referensi bagi pendidikan karakter para politisi. Pertama, ini soal harga diri. Selama ini, dunia politik kita sudah tak kenal harga diri. Kedua, soal prinsip. Secara prinsip, Purnomo lebih layak maju dari pada Gibran. Dan prinsip ini harus dipegang teguh, tanpa memberi ruang untuk dinegosiasi. Ketiga, Purnomo mesti sadar ini urusan pribadi dan partai, bukan urusan negara. Maka, tak tepat melibatkan kompensasi apapun dari negara.

Lalu, apa deal Mega dengan Jokowi terkait rekomendasi PDIP kepada Gibran? Tak ada makan siang gratis. Dalam politik, setiap keputusan ada transaksinya. Apa ada hubungannya dengan RUU HIP yang diperlunak Jokowi jadi RUU BPIP? Boleh jadi, itu salah satunya.

Jika begitu, apakah ini memperkuat bukti bahwa Jokowi terlibat dalam pencalonan Gibran? Ayah mana yang tega membiarkan sang anak bertarung sendirian. Apalagi Gibran masih muda dan belum cukup pengalaman. Karikatur majalah tempo dengan foto Gibran naik tangga yang dipengangi Jokowi seperti menggambarkan situasi hubungan ayah-anak dalam pilkada Solo.

Apa alasan Jokowi turut campur? Anda bayangkan jika Gibran kalah. Ini akan menjadi tamparan politik bagi Jokowi. Selain karena Jokowi pernah dua periode jadi walikota Solo, juga posisinya sekarang sebagai presiden. Apa kata pendukungnya jika Gibran kalah? Akan jadi bullyan banyak orang. Belum lagi jika Gibran ngambek karena tak serius Sang Presiden membantunya. Bisa berabe!

Asy’ari Usman, seorang wartawan senior malah menyarankan agar Jokowi membuat timses di Istana. Twitter atas nama Don Adam68 juga mengusulkan agar Jokowi membuat Keppres untuk menetapkan kemenangan bagi Gibran. Sehingga, tak harus keluar banyak biaya untuk pemilu.

Ungkapan Asy’ari Usman dan Don Adam68 itu menunjukkan apatisme pilkada di Solo. Mengingat istana selama ini dianggap terlalu ketat mengontrol pergerakan rakyat. Mulai dari kampus, pers, parlemen, ormas, hingga suara pemilih. Aparat tak segan beroperasi untuk mengkoptasi suara pemilih.

Berbasis pada pengalaman pemilu sebelumnya, terutama pilpres, rasa-rasanya kemenangan Gibran sudah di depan mata. Sebab ini akan jadi taruhan nama Sang Ayah. Kecuali jika terjadi gelombang perlawanan yang masif dan menjadikan Gibran sebagai “musuh bersama”. Itu baru akan sangat seru.

Jika tidak, kekuasaan dan kekuatan uang akan sangat mudah untuk memenangkan Gibran. Walau begitu, jika kelak Gibran jadi walikota Solo, tetap tak akan sebaik nasibnya dengan Sang Ayah, yaitu Jokowi. Gibran tak sepintar ayahnya dalam melakukan pencitraan. Belum lagi jika bicara momen.

2024 periode Jokowi berakhir. Saat itu, akan sangat berat bagi Gibran untuk melanjutkan karirnya. Kecuali jika Jokowi jadi presiden seumur hidup. Gubrak!

Jakarta, 20 Juli 2020