Suasana Belajar di Sebuah sekolah foto dari FB Muhammad Arif Kirdiat
OLEH Muhammad Arif Kirdiat, Founder Relawan Kampung

Dua hari ini saya uring-uringan membaca berita masuknya Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation… ya Foundation bukan pakai nama Yayasan lembaga tersebut yang notabene milik konglomerat yang katanya uangnya nggak akan habis tujuh turunan dan lima tanjakan, kok bisa ya dapat dana 20 milyar dari Kemendikbud dibawah kepeminpinan Mas Menteri Nadiem Makariem yang lulusan Harvard dari Amerika nun jauh disana.

Bukan apa-apa, saya merasa ada yang janggal dengan dua penerima dana APBN yang mengelola CSR milik perusahaannya tapi malah dapat uang APBN..? Apa nggak kebalik harusnya mereka yang nyumbang buat negeri..?

Uang 20 Milyar, sangat kecil jika dibandingkan dengan profit dari perusahaan mereka yang sudah menggurita di nusantara ini.

Tapi inilah namanya takdir yang akhirnya publik mengetahui bahwa ternyata sekelas CSR konglomerat masih menerima uang rakyat.

Anggota DPR protes kepada Kemendikbud dan organisasi Muhammadiyah dan NU akhirnya memilih mundur dan menunjukkan kelasnya bahwa ada sesuatu yang keliru dalam program Kemendikbud ini.

Beberapa tahun silam, Koran Republika dan Telkom dari bagian CSR mengadakan up grading bagi kepala sekolah untuk menaikkan mutu pendidikan… ya mereka memakai dana CSR bukan malah sebaliknya meminta dana CSR ke APBN.

Jadi lucu bukan kepalang kan, kalau ada organisasi CSR milik katanya orang-orang kaya Indonesia yang tiap tahun masuk Forbes malah jadi penerima dana APBN.

Disitu kadang saya pengen senyum merem melek dari atas Monas… mungkin Mas Menteri juga pengen merem melek senyum di Monas.

Kalau saran saya, pemerintah bisa fokus ke peningkatan sarana pendidikan. Dalam lima tahun terakhir, Relawan Kampung diajak oleh Indosiar dan SCTV membangun jembatan dan sekolah di pelosok negeri.

Ribuan sekolah milik pemerintah saat ini kondisinya jauh dari layak untuk ditempati. Pernah kami terheran-heran dengan dengan kondisi SMAN Somambawa di Pulau Nias pada 2017 yang kata teman-teman wartawan kondisinya tidak beda dengan ‘kandang kambing’ beratap rumbia dan beralas tanah dan kursi dari batang kayu gelondongan.

Berikutnya kami harus terheran-heran dengan kondisi SDN Pulau Rinca di Komodo yang bangunannya nyaris ambruk karena usia. Saat kami ke Rinca, hanya ada 3 guru PNS dan dua honorer yang cuma tamatan SMA.

Dua sekolah ini berada di jantung pariwisata nasional…. jadinya, kalau turis lagi lewat justru sekolah ini jadi obyek wisata dadakan.

Alhamdulillah, 10 sekolah dalam setahun kami renovasi atau bangun baru atas donasi pemirsa Indosiar dan SCTV serta bukan dana APBN.

Pernah pula saat ibu-ibu PI ISEI melakukan peresmian jembatan di Kampung Cebong Tanjung Lesung, pulangnya mereka terheran-heran saat melihat ada anak-anak sekolah yang bermain dibangunan nyaris ambruk… Bu Darmin Nasution yang saat itu jadi ketua PI ISEI tanya, itu apa Mas Arif..?

Saya bilang itu madrasah ibtidaiyah setingkat SD.

Sontak ibu-ibu minta berhenti dan melihat kondisi sekolah… akhirnya Bu Darmin bilang, Mas Arif tolong buatkan sekolah baru bagi mereka.

Pada tahun 2012, Bank Indonesia di Jakarta memanggil saya ke kantornya. Mereka habis membaca artikel Mas Anto seputar SDN Batu Hideung 4 di Cimanggu Ujung Kulon. Saat itu Mas Anto saya ajak melihat proses pembuatan jembatan dan ternyata nalar wartawan mas Anto melihat sekokah Batu hideung sebagai objek liputan dan sekolah ini yang menarik perhatian Jakarta. Alhamdulikkah, Bank Indonesia membangun tiga ruang kelas baru.

Sebulan kemudian, Tim Kemenag akhirnya menurunkan Tim dari Jakarta ke Rancecet di Ranca Pinang Ujung Kulon. Mereka mendatangi madrasah yang diasuh oleh pak Guru Ramsudin Fajri dkk.

Sekolah ini masuk dalam pemberitaan setelah Kang Asep Faturahman menaikkan berita sekolah ini dalam objek foto berita nasional dan langsung direspon oleh Pak Menteri.

Sejak 2012 Relawan Kampung berdiri, lebih dari 300 titik pembangunan kami masuki. Kami melihat ribuan sekolah yang tidak layak, ratusan titik jembatan yang masih perlu dibangun serta ribuan akses kesehatan yang masih sangat minim.

Dua tahun terakhir, Maria Harfanti Miss Indonesia 2015 keluar masuk kampung memperbaiki sekolah-sekolah rusak dalam aktifitasnya di Yayasan Bangun Sekolah. Tak canggung beberapa kali beliau mengajak serta teman-temannya menjadi relawan yang mengajar komputer dan bahasa inggris bagi siswa dan guru-guru di pelosok…. dan Maria tidak menggunakan APBN dalam aktifitasnya.

Salam saya buat Mas Menteri, kalau mau nunjuk organisasi pendidikan, bisa belajar dulu ke Muhammadiyah dan NU serta beberapa ormas lainnya yang sudah teruji. Kan jadi lucu kalau akhirnya dana APBN malah nyangkut ke organisasi CSR milik para taipan…. ini sangat sensitif.

Karena sudah jelas kalau CSR Konglomerat niat utamanya untuk membesarkan nama perusahaan dan tujuan meningkatkan mutu pendidikan akan menjadi nomer kesekian.

Nggak usah jauh-jauh Mas Menteri untuk lihat kondisi sekolah rusak. Banten dan Jawa Barat masih sangat banyak.

Beberapa bulan lalu, PI ISEI datang ke Cirinten di tepi Baduy. Sekolah SMA Negeri ini masih numpang di SMP Negeri dan waktu itu duduknya masih ngampar di tiker dari spanduk bekas.

Ibu-ibu PI ISEI sampai meneteskan air mata melihat kondisi ini… ya namanya ibu-ibu, rasa ibanya langsung memberontak. Mereka merenovasi dan membelikan bangku dan kursi serta komputer. Dalam rombongan pI ISEI ada isteri Kepala OJK, isteri Gubernur BI, isteri para komisari bank dan dirutnya…. yang mereka peduli pada pendidikan anak negeri.

Mas Menteri yang baik hati, bisa kok datang dan berkunjung ke sekolah-sekolah yang perlu perhatian…. dan itu masih ada ribuan di negeri ini.

Nah kalau program Mas Menteri diterima masyarakat, nanti nama Mas Menteri tercatat bukan hanya dalam museum tapi juga dalam kalbu rakyat Indonesia.
Serang, 23 07 2020