Kantor pusat Bank Jabar Banten Syariah (BJBS) di gedung eks Mapolda Jabar, Jl. Braga, Bandung/ist

Oleh IMAM WAHYUDI *)

BANK Jabar Banten (BJB) Syariah, sebut saja BJBS gagah melangkah. Mulai langkah 26 Mei 2010. Sudah 10 tahun di kancah dunia perbankan. Adalah pengembangan usaha (bisnis) perbankan induknya, Bank Jabar Banten (BJB) yang bermula dengan nama tak asing: bank pembangunan daerah (BPD) — yang merata di semua provinsi.

BJB Syariah yang merilis tagline “Mitra Amanah Usaha Maslahah”. Model promosi utama yang sah. Tentu, dimaksudkan menggugah minat (calon) nasabah. Maslahah dapat dimaknai sebagai amanah. Tapi di kemudian hari, siapa nyana justru di antara pesan amanah — malah muncul salah langkah. Bagai berbalik arah. Slogan amanah tak sebaik arah. Maslahah berbalik masalah.

Belakangan masalah mencuat. Apalagi, kalau bukan seputar nasabah. Hampir pasti, akibat beruntun salah langkah. Sistem kelola BJB Syariah yang kini dikendalikan Indra Faletehan sebagai Dirut, patut dipertanyakan. Kuat dugaan, manajemen tak jelas arah. Tak sama sebanding dengan “Mitra Amanah Usaha Maslahah’.

Lagi, Kredit Fiktif

Apa masalah BJB Syariah? Belakangan terkuak. Sempat mengendap dalam dua tahun terakhir. Lagi-lagi, kredit fiktif. Klise! Nilainya mencapai Rp 566,45 Milyar. Pemberian kredit untuk pembangunan kawasan niaga bernama Mall Garut Super Block di Kota Garut. Lahan luas, eks fabrik gula. Lokasinya strategis dalam lingkar luar pusat kota. Persisnya di Jl. Guntur Garut. Belum diperoleh data terinci seputar agunan yang diprasyaratkan untuk ajuan kredit sebesar itu?! Malah diduga tanpa agunan. Pendek berita, kredit macet. Gampangnya, macet total. Terkuak, kredit fiktif.

Pihak Tipikor Mabes Polri turun bertindak. Pada 2017, memblokir sertifikat. Akibatnya “splitsing” serifikat tak dapat dilakukan. Pemasaran gerah, akibat konsumen resah. Penawaran ke publik sudah berlangsung dalam dua tahun terakhir sebelumnya. Yang menarik, meski kerugian mencapai Rp 566,45 Milyar tadi dan sudah beracara di pengadilan Tipikor — bisa dimentahkan. Kerugian tidak dapat diklasifikasikan sebagai kerugian negara. BJB Syariah adalah anak perusahaan dari bank swasta nasional BJB, menyusul “jaminan” Undang-undang Persereoan Terbatas (UU PT). Dalam hal “kerugian negara” tak berlanjut.

Sebatas bingkai UU PT, tentu saja. Kaku! Sejatinya, bila menelusuri aliran dana (baca: permodalan) — BJB Syariah merupakan pengembangan usaha induknya, BJB yang berkantor pusat di Jl. Braga/Jl. Naripan, Bandung. Nah, BJB mendapat dukungan dana sepenuhnya dari APBD Provinsi Jawa Barat dengan payung badan usaha milik daerah (BUMD). Melalui program penyertaan modal dalam setiap tahun anggaran. Dengan kata lain, milik Pemprov Jawa Barat APBD jelas dana pemerintah. Tak semata wajib dipertanggungjawabkan, namun dalam terjadi perkara pidana — maka masuk dalam klausul: kerugian negara. Keterlibatan kedua pihak berlanjut. Tak kecuali, Dirut BPJS masa itu — Yocie Gusman atas nama penegakkan hukum, masuk bui.

Bab kasus kredit fiktif BJB Syariah, seolah terbantahkan dalam aspek hukum kerugian negara tadi. Tercegah UU PT. Maknanya ada peran legal opinion terhadap hal-ikhwal sengkarut itu. Sebuah opsi upaya hukum yang memungkinkan tak berlanjutnya perkara di pengadilan. Hal menarik, aroma “tak sedap” berikutnya muncul. Alih-alih dimaknai sabagai “pelajaran berharga”. Posisi legal opinion tadi, kembali diolah secara tak bertanggungjawab. Dijungkirbalik dengan disalahgunakan lewat nomenklatur “jasa pengacara”. Alokasi anggarannya Rp 6 Milyar. Baru belakangan terungkap. Lagi-lagi, fiktif. Gileee..!

Kasus Pembelian Kapal?

Kasus kredit fiktif, tak berhenti di perkara Mall Garut Superblock. Ada lagi. Mungkin saja, masih ada sederet lainnya yang belum terungkap.

Sebutlah sebuah PT Angin Ribut mendapat kucuran dana kredit senilai Rp 8 Milyar. Bukan perkara jumlah yang jauh lebih kecil dibanding kasus di atas. Sang pemilik PT, ingkar janji. Pembayaran kredit tak lancar. Macet.

Pihak BPJS melakukan eksekusi sita jaminan berupa sebuah kapal laut niaga. Sampai di sini, nyaris tak ada masalah. Berikutnya, bisa jadi pihak BJBS tak berminat memiliki kapal laut untuk pengembangan usaha. Kapal itu lantas dijual ke PT H senilai Rp 11 Milyar. Secara kasat, BJBS meraup untung Rp 3 Milyar. Cerita di kemudian hari, ternyata kapal laut secara fisik, tak pernah ada. Lho, koq bisa? Begitulah, aneh tapi nyata. Tak jelas, langkah mengatasi kerugian (kredit fiktif) Rp 11 Milyar itu.

Bukankah sistem kelola perbankan senantiasa menempatkan kredit macet sebagai potensial resiko tertinggi?! Potensi dimaksud terkait dengan rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR). Apalagi, dalam modus kredit fiktif. Bentuk antisipasi dari potensi resiko dan akibat runtutan daripadanya, kita maklum — pemberian kredit di atas nominal Rp 5 Milyar — merupakan kewenangan direksi. Wajib telaah komprehensif. Dalam hal kredit fiktif yang berujung menguapkan dana Rp 11 Milyar tadi, justru terjadi di kantor cabang Serang.

Rasanya, tak mungkin tanpa koordinasi dengan induknya yang dipimpin Indra Faletehan. Dugaan kuat, bukan melalui kewenangan direksi BJBS. Bila itu faktanya, BJBS selama kepemimpinan Indra dalam rentang dua tahun ini memunculkan sejumlah masalah. Lengah, dalam sistem kelola perbankan. Indra sebelumnya menjabat Direktur Kepatuhan BJB, selama tiga tahun. Dipromosikan menjadi Dirut BJBS, rasanya cenderung menjadi tidak patuh.

Pengamatan penulis, sampai pada telaah — sudah cukup alasan — tidakkah sebaiknya BJBS dibubarkan saja? Solusi itu semata demi tidak menjadi “beban” berkelanjutan bagi induknya, BJB. Bank induk harus berulang menyuntikkan dana permodalan. Dalam hal bijak, tentu “tak mesti membakar gudangnya, untuk memburu tikusnya”. Bila itu opsi pertama, perlu penataan sistem kelola secara profesional dan bertanggungjawab. Opsi itu bisa berkonsekuensi terhadap perombakan direksi, tak kecuali sang dirut.

Tanpa langkah konkrit dan sesegera, sama dengan membiarkan BJBS runtuh sendiri di gedung bersejarah eks Mapolda Jawa Barat di Jl. Braga, Bandung. Hidup segan mati tak mau. Praktis pula mencoreng dan atau merugikan reputasi BJB yang selama ini sebagai cukup baik. Bahkan, dirutnya — Yuddy Renaldi tercatat di antara 55 “Best CEO 2020” versi “Economics Award”. CEO sebutan Chief Executive Officer , eksekutif tertinggi dalam perusahaan atau dengan sebutan dirut.

Akhirnya, tagline BJBS dengan pendekatan islami (baca: syariah) — tak terjawab dengan baik. “Mitra Usaha Amanah Mashalah”, sekali lagi salah kaprah dan timbulkan masalah. Abai amanah. Sebaiknya, sudahlah…?!

*) Ketum Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat.