Oleh Imam Wahyudi *)
Pascakongres partai politik, agenda suksesi berikut bergulir secara berjenjang di tingkat wilayah (provinsi) hingga kota/kabupaten. Bahkan cabang (kecamatan) hingga ranting (kelurahan/desa). Selintas merupakan kabar baik akan laga demokrasi (internal) partai. Bagaimana sejatinya dalam implementasi?
Masalah demokrasi itu bermasalah. Nyaris sepanjang sejarah berbangsa dan bernegara. Demokratisasi bergulir kencang, menyusul Gerakan Reformasi 1998. Keran demokrasi dibuka lebar, menumpahkan hak berserikat dan kemerdekaan berpendapat. Sebuah transisi atau peralihan dari sistem otoriter rentang 32 tahun. Tujuh periodisasi kepemimpinan nasional.
Demokratisasi negeri ini dimulai dengan Maklumat 03 November 1945. Pemerintah mendorong pembentukan parpol sebagai bagian dari demokrasi. Pun sebagai persiapan pemilu perdana 1946. Adalah tonggak sejarah demokrasi di Indonesia.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang seharusnya ditumbuhkembangkan. Semua warga negara setara dalam pengambilan keputusan. Perumusan, pengembangan dan produk hukum. Dengan peran aktif warga atau lewat perwakilan (DPR, DPD). Demokrasi menjadi indikator perkembangan politik suatu negara. Karuan, semboyan demokrasi : “Dari Rakyat, oleh Rakyat, untuk Rakyat” (pernah) sangat populer.
Demokrasi & Legitimasi
Bab demokrasi dan demokratisasi sudah jamak maklum. Rasanya, rada jauh dari yang hendak saya urai. Biarlah serupa introduksi. Kembali ke pascakongres, khususnya PAN — bincang suksesi satu jenjang di bawahnya mulai marak. Agenda musyawarah wilayah (muswil). Siapa lanjut memimpin dan atau menggantikannya? Kejaran tahta berlabel ketua dewan pimpinan wilayah (DPW).
Tak jarang perbincangan meningkat hangat. Di kedai kopi pun jadi. Sejatinya, malah cenderung “hangat tahi ayam.” Seolah menunggu arahan. Sebaliknya, sang komando (baca: markas besar) tengah menyusun “siasat.” Berbarengan itu bak “nyinyir” terhadap porsi demokrasi yang mestinya jadi modal awal. Seharusnya setiap pemangku kepentingan (sebutlah kader) senantiasa menjadikan semangat berdemokrasi sebagai pijakan. Bukan hal lain. Kesampingkan dulu hal-ikhwal kepentingan (sesaat). Demokrasi harus ditumbuhkembangkan. Meski langit runtuh.
Parpol adalah miniatur pemerintahan. Utamanya ikhwal demokrasi. Tertulis jelas sebagai sebuah sistem. Muaranya aturan main. Bergulir di tingkat implementasi. Tak selamanya bersesuaian. Salah satunya kendala di lapangan dan dana.
Aturan mewajibkan kepesertaan muswil adalah DPC (kecamatan). Data terakhir, di Jawa Barat ada 627 kecamatan. Boleh disebut, semua parpol punya struktur itu. Tak kurang 1.000 orang kader bakal terlibat. Maklum, agenda muswil kerap dimaknai sebagai “pestanya DPC”. Secara struktural, berdampingan akar rumput. Sekali dalam lima tahun.
Tengoklah, muswil perdana tahun 2000 di Garut. Kala itu masih minim fasilitas akomodasi dan arena berkapasitas seribu orang. Repot, deh. Akhirnya digelar di GOR bulutangkis. Akomodasi praktis terpencar.
Lima tahun kemudian, 2005 — hajat muswil digelar di komplek Grand Hotel Lembang yang lega. Kapasitas bukan masalah. Masih ada keterlibatan DPC sebagai “voter”. Masih pula dengan dua porsi pemilihan. Selain calon ketua, diberlakukan pemilihan tim formatur. Prasyarat tak mudah. Bakal calon formatur wajib lebih dulu beroleh dukungan minimal 5 DPD. Baru lolos calon formatur. Suara terbanyak formatur punya prioritas pertama untuk jabatan sekretaris. Formatur lainnya yang masuk “5 besar” menjadi pengurus harian. Lantas, berhak pula membawa sejumlah kader lainnya masuk kepengurusan. Legalitas sesuai aturan dan atau perintah AD/ART. Sungguh demokratis. Utamanya, legimitasi kepengurusan terjaga baik. Bersamaan, memunculkan tanya ikhwal logistik alias pendanaan. Ngutang?! Harus diakui berkonsekuensi “hi cost”.
Dua periode awal itu, demokrasi berjalan cukup baik. Berkembang dalam diskusi kecil antarkader. Membangun kesefahaman menuju produk kebijakan partai. Saling menghargai perbedaan pendapat. Sistem kelola lembaga terpelihara. Berdaulat. “Well organized”. Seolah berimbas, ketika tampak pergeseran orientasi di Jakarta. Parpol bak terjebak larut arah. Orientasi kekuasaan jadi “trend” di tengah komitmen reformasi. Demokrasi terusik. Argumen “unspoken” muncul, mengarah aspek “hi cost” tadi.
Demokrasi tetap jadi narasi. Hakikatnya dikebiri. Sependek ini, penulis maklum. Sepakat untuk tidak bersepakat. Hadir perubahan sistem dan tata-cara. Berdemokrasi sekadar formalitas. Ya, muswil di Hotel Horison, Bandung, 2011 alias tertunda setahun dari seharusnya. Keterlibatan DPC, memang dilakukan. Sebatas hadir di forum resmi. Setara demi musyawarah. Tak ada sesi dramatis, “one man one vote”. Legitimasi terjun bebas. Itulah sebabnya, saya memilih “diam” sebagai bentuk protes. Tak sedetik pun masuk arena. Calon ketua “dropping”. Konon, terpilih secara aklamasi. Celakanya, tak sedikit menyebutnya serupa pengesahan dan atau penetapan. Sebutan muswil sebatas tampilan “backdrop” dan di atas kertas “pimpinan” sidang atasnama berita acara. Palu sidang kehilangan nilai sakralnya.
Giliran muswil 2015 di Hotel Mason Pine, Kota Baru Parahyangan, Padalarang. Praktis sepi. Syiar partai yang disandingkan agenda, kadung sirna. Bukan lantaran “incumbent” mencalonkan lagi. Lokasi menepi. Jauh dari keramaian kota. Kenduri mandiri. Sang calon “solo run”. Pendekatan demokratis terkikis. Gamblang, lebih pas disebut formalitas penetapan dan atau pengesahan. Para pihak terlibat tak perlu kaget. Seolah biasa. Muswil berlangsung dalam suasana Ramadhan, 17 Juli 2015. Saking formalitas, secepat dalam durasi pendek — ada peserta dari Pangandaran baru tiba di lokasi. Sore itu jelang saat buka puasa. Belum reda keringat dan lelah perjalanan, agenda musyawarah itu sudah lebih dulu usai.
Di antara dua muswil pada periode 2015-2020, dilakukan muswilub. Di Hotel Mercure, Karawang, 03 November 2017. Lagi, singkat padat. Lebih simpel, hanya melibatkan pimpinan DPD. Ketua terpilih sudah diketahui sebelumnya. Lumrah, pengganti biaya transportasi “peserta”. Sebut saja berkah. Jangan tanya bab marwah.
Muswil 2020..?
Agenda limatahunan ini sudah mulai dibincangkan. Tak seramai prakiraan. Entah mengapa? Kuat dugaan, bagai “hopeless”. Terkebiri harapan. Putus asa. Surut diskusi soal demokrasi. Kalau toh ada, lebih mengarah pada figur calon. Bukan lagi perkara kriteria. Kompetensi, kapabelitas dan sejenisnya ditempatkan nomor dua. Tapi lebih tentang siapa. Mendadak lupa tanggungjawab mengawal demokrasi. Malu-malu bicara aspek prosedural dan mekanisme. Sama, malu-malu untuk mengatakan model “dropping” yang berujung penetapan oleh sang “big boss” di Jakarta. Tak terhindarkan, muncul pedagang asongan. Bukan semata kepentingan, tapi “hatur lumayan.” Bertolak pandang dengan kepatutan: “faham proses, bukan faham hasil.” Berkonsekuensi. Tak hanya “coverage area” wilayah yang meliputi 27 kabupaten/kota. “Learning by doing” jadi opsi tak lazim. Mirip “try and error”, tentu tak diharapkan. Kecenderungan atau potensial “one man show” dalam memimpin. Selebihnya, boneka yang belum tentu jenaka.
Bayangan tak menyenangkan itu bagai di depan mata. Bisa memaklumi, tata-cara diubah. Terlebih ada rujukan. Saya tak hendak larut dalam nostalgia berdemokrasi dua muswil pertama. Sekurangnya, “Hi cost” tadi. Tata-cara simpel, boleh saja. Tapi hendaknya baik dan benar, bijak dan transparan. Musyawarah bukan aksi sulap berbayar yang kerap mengecoh mata. Lantas bertepuk tangan. Andai cuma itu, mudah diduga — agenda aksi pun berbayar dinilai wajar. Tradisi tak membumi. Antiklimaks.
Jakarta perlu hati-hati. Butuh sikap bijak untuk selalu mengajak. Pendekatan karier berjenjang, haruslah terjaga. Setara dalam bingkai egaliter. Di bawah permukaan, masih banyak yang pengen — demokrasi dibangun kembali. Agar terpelihara tradisi dan aksi. Hal satu ini, berpulang kepada pemegang sah kedaulatan atas muswil. Hanya dua pilihan, bertahan atau menyerah pasrah. Betul, konteks implementasi demokrasi seutuhnya tengah terdistorsi. Bila itu adanya, maka (maaf) DPC bisa jadi diposisikan sebagai kendala. Representasi muswil terganggu.
Berbalik dengan narasi publikasi. Bahwa, DPC dan jenjang di bawahnya sebagai “ujung tombak”. Bagi pemenangan dan perolehan suara pemilu. Tapi ragu, dalam proses suksesi internal. Nyaris tak bunyi. Mengapa dilahirkan, kalau tidak diasuh dan diberi makan?! Dengan kata lain, kompleksitas ikhwal infrastruktur partai. Selebihnya papan nama pun tak ada. Bila demikian, mengapa tidak sekalian DPC di”istirahat”kan. Bagai senandung, “pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku…”. Struktur cukup sampai tingkat kabupaten/kota. Jenjang DPC diubah menjadi korcam (koordinator kecamatan), pun bukan lagi representasi musyawarah. Demi efisiwnsi. Bisa juga, meninjau kembali kepesertaan musyawarah di setiap jenjang kepengurusan. Semisal peserta muswil sebatas utusan DPD. Peserta musda cukup utusan DPC. Bila setuju, kali ini — giliran saya mengetukkan palu. Tok..!***
*) Deklarator PAN Jabar, 23 Oktober 1998.