Bendera Merah Putih /IST

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Merdeka! Pekiknya terasa di dada. Menggetarkan dan masuk ke setiap nurani anak bangsa. Saat itu. Iya, saat itu Saat dimana rakyat menjelma jadi pejuang. Berjuang untuk nasib bangsa dan anak cucu di masa depan.

Itulah jejak para pahlawan. Darah dan nyawa jadi taruhan. Ketulusan dan integritas hal utama yang mereka pertahankan. Sampai akhirnya, ujung usia memanggil mereka. Tapi, warisan kemerdekaan telah terhidang.

Merdeka! Terdengar, tapi tak lagi menggetarkan. Jelas suaranya, tapi samar maknanya. Lantang, tapi tak lebih dari sekedar slogan. Itulah kata “Merdeka” hari ini. Bukan lagi untuk melawan penjajah. Tapi seringkali untuk membungkam anak bangsa yang meneriakkan kebenaran.

Merdeka! Dor! Satu persatu mayat tumbang. Ada mahasiswa. Ada remaja yang sedang belajar menemukan demokrasi di lapangan. Ada pemuda yang tak lagi punya harapan, karena tak bisa pulang dan tak ditemukan.

Merdeka! Mulut para penipu negara tak kalah fasih melafazkan. Hilang segan dan rasa malu telah terbungkam. Gemerlap nafsu tampak transparan menguasai setiap kebijakan.

Ada panggung depan, ada panggung belakang. Kata “Merdeka” mesti makna sama, tapi beda tekanan. Panggung belakang lebih mengerikan dari panggung depan. Itulah dramaturgi para preman.

Di atas panggung politik, para penipu berteriak merdeka. Diam-diam, di panggung belakang mereka merampok dan habiskan kekayaan negara. Supaya legal, aturan dimanipulasinya. Kadang mengatasnamakan pinjaman. Di balik hutang, permainan upeti dijadikan lahan.

Mereka kerahkan para petugas. Petugas ini petugas itu. Ada yang rapi dan berseragam. Tak sedikit yang berpakaian preman. Sebagian dibekali aturan. Sebagian yang lain berperan menyandera dan menekan.

Merdeka! Kata sama, tapi punya getaran yang berbeda. Bergantung siapa yang meneriakkan. Mereka pahlawan, atau gerombolan para preman. Diucapkan demi bangsa, atau untuk memenuhi ambisi dan keserakahan.

Preman-preman itu terus bergentayangan di negeri ini. Memburu dan berebut warisan kemerdekaan. Siapa yang tak ikut, beramai-ramai akan disingkirkan.

Ada preman besar, ada preman kecil. Preman kakap dan preman teri. Preman kelas berdasi, sampai preman upeti. Bergantung peran dan bagian.

Preman besar isinya para pemodal. Kerjanya membeli suara dan mengendalikan para boneka. Para boneka tak lagi sempat berpikir negara dan bangsa. Karena habis waktu dan sibuk membenahi kursi dan dasi.

Setiap 17 Agustus mereka pura-pura teriak merdeka. Padahal rakyat semakin miskin, terpuruk dan menderita. Ah, dasar boneka!

Jakarta, 17 Agustus 2020